[Baru-baru ini detiksport berkesempatan mengunjungi rumah orangtua Taufik Hidayat di Pangalengan, Kabupaten Bandung. Berikut ini penuturan kisah sang legenda bulutangkis Indonesia itu dari sang ayah.]
Taufik Hidayat yang masih bocah selalu bermimpi menjadi seorang bintang di lapangan hijau sepakbola. Tapi, larangan sang ayah membuyarkan niatan itu hingga membelokkan dia menjadi atlet lain.
Taufik terkejut di suatu petang itu. Papanya, Aris Haris, merebut bola sepak miliknya tepat ketika dia memasuki rumah. Di depan matanya, bola itu diiris menjadi dua. Tak ada harapan untuk bisa memainkan si kulit bundar itu lagi di kemudian hari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Taufik tidak melakukan protes dengan frontal. Dia diam saja dan tetap bermain bola dengan diam-diam. Urusan bola, Taufik nebeng milik teman. Bermodal nekat, dia tetap rajin datang ke lapangan.
“Saya tidak tahu kenapa Papa melarang main bola waktu itu. Sepertinya tidak suka sekali saya main bola, sampai-sampai Papa menjanjikan untuk membelikan sepeda asal saya meninggalkan sepakbola,” kenang Taufik.
Bagaimanapun larangan itu sedikit banyak mempengaruhi kontinyuitas Taufik ke lapangan bola. Eh, kesenangan lain didapatkan. Taufik mulai mengenal bulutangkis.

Teman-teman Aris bilang, anak laki-laki satu-satunya, si Taufik, jago bermain bulutangkis. Penasaran, dia pun berusaha menyaksikan dengan kepala sendiri penampilan Taufik. Dengan referensi dari hobi nonton pebulutangkis nasional tampil di ajang internasional yang ditayangkan TVRI kala itu, Aris pun sepakat: anaknya punya pukulan oke.
Dari temannya pula dia baru tahu kalau Taufik yang lahir pada 10 agustus 1981 itu sering kali memperbaiki senar raketnya sendiri, dan marah besar jika tak mendapatkan giliran bermain bulu tangkis.
“Wah ternyata anak saya bisa bulutangkis. Dia juga mampu mengalahkan para pemain yang lebih dewasa. Saya tak menyangkanya,” ucap Aris.
[Bersambung]
(fem/a2s)