Masukkan kata pencarian minimal 3 karakter
Searching.. Please Wait
    Pandit

    Livorno: Benteng Terakhir Komunisme di Italia

    - detikSport
    ist. ist.
    Jakarta - Awan hitam pekat membumbung tinggi di langit stadion Armando Pichi, Livorno, 24 April 2014. Suasana gelap tak karuan. Matahari enggan muncul, padahal jam masih menunjukan pukul satu siang. Kala itu Livorno sedang menjamu Lazio. Alam seolah menghendaki bahwa pertandingan ini bukanlah pertandingan sepakbola biasa.

    Gelap yang mencekam seolah menggambarkan kebencian Livorno pada Lazio. Begitupun sebaliknya. Ini bukanlah pertandingan antara 11 orang melawan 11 orang di lapangan, ada dua ideologi yang meresap dan selalu identik dengan dua klub ini. Dua ideologi yang sempat saling baku hantam selama perang dunia II: Komunisme versus Fasisme.

    Tak pernah ada yang memungkiri kefasisan fans Lazio. Mereka selalu membanggakan sejarah kedekatan mereka dengan 'El Duce' Benito Mussolini. Kebencian pada komunispun selalu diumbar. Sebagai seorang fans Lazio, saya sering mendengar Ultras Curva Nord menyanyikan lagu berjudul “Avanti Ragazzo di Buda”.

    Lagu ini adalah lagu anti komunis yang populer di kalangan kelompok ultra sayap kanan pada tahun 1956. Lirik lagunya berisikan dukungan terhadap perjuangan rakyat Hongaria melawan pemerintahan komunis Hongaria yang didukung Uni Soviet.

    Melawan Livorno, sambil mengangkat tangan kanan ala salam fasis, lagu ini didendangkan dengan keras oleh para Laziale. Sebagai balasan, pada laga itu fans Livorno membentangkan banner memakai aksarasirilik – aksara yang identik dengan Rusia, negara dimana komunisme lahir dan berkembang. Isi banner itu bertuliskan "Sons of whores fascist fans, fuck lazio and golden dawn" (catatan: golden dawn adalah partai beraliran neo-Nazi di Yunani yang selalu dibanggakan kelompok sayap kanan, termasuk Lazio).

    Livorno dan Komunisme

    Jika Liverpool mengawali laga kandang dengan menyanyikan lagu “You’ll Never Walk Alone”, maka Livorno memulainya dengan nyanyian “Bella Ciao”. Lagu ini adalah lagu resmi klub.

    Lagu ini adalah lagu heroik yang identik dengan kelompok kiri Italia. Kini “Bella Ciao” selalu dipadankan sebagai lagu perlawanan terhadap kaum kapitalis, borjuis, fasis dan kelompok anti-perang.

    “Bella Ciao” adalah lagu rakyatItalia yang berfungsi sebagai pembangkit semangat kaum partisan melawan penindasan kaum fasis Nazi dan Mussolini pada tahun 1942-1945.

    Pada masa itu, tak selamanya kaum partisan adalah komunis. Tapi kaum komunis di italia 100% bergabung menjadi partisan. Hampir separuh dari kaum partisan berideologi komunis. Mayoritas berbasis di provinsi Tuscan – sebuah tempat di mana para pemikir Reinassence lahir. Dari sekian banyak kota-kota besar seperti Firenze, Siena, Arezzo dll, Livorno adalah salah satu kota basis perlawanan terbesar terhadap kaum fasis.

    Di kota inilah komunisme lahir di Italia. Di Livorno pula Antonio Gramsci memantapkan rumusan teori hegemoni sembari membentuk Partai Komunis Italia.

    Doktor Sosiologi Olahraga Universitas Brighton, Mark Doidge, melakukan penelitian terhadap Ultras Livorno dan Komunisme ini. Dia melakukan riset panjang dengan hidup berada di tengah-tengah Ultras selama enam bulan lamanya.

    Dalam jurnalnya yang berjudul “The birthplace of Italian Communism: Political Identity and Action Amongst Livorno Fans” menjelaskan Marxisme dan Komunisme adalah dua hal signifikan yang berpengaruh banyak terhadap identitas fans Livorno. Sikap mereka yang kekiri-kirian inilah yang membuatmereka berbeda dengan klub-klub lain di Italia.

    Ini adalah ekses dari produk sejarah dan konteks politik yang bapak-kakek-diri mereka alami. Hegemonik kaum Demokrat Kristen katolik pasca perang dunia, ditambah dengan gejolak politik di tahun 1960-an menyebabkan politisasi lazim terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Italia.

    Dan pada masa-masa itulah ultras Livorno tumbuh dari subkultur yang terpolitisasi. Sejak 1980-an telah terjadi pergeseran, dengan kelompok-kelompok ultras lebih cenderung bergerak ke sayap ke kanan. Kondisi politik dan ekonomi yang pelik, serta mulai membanjirnya kaum imigran, membuat banyak bermunculan benih-benih kelompok ultra-nasionalis itu. Yel-yel dan banner rasisme mulai melonjak tajam.

    Livorno memilih menjadi klub Italia yang tegas mempertahankan identitas Komunis. Mereka mencoba menarik sejarah lokal untuk menempatkan diri mereka dalam kancah politik ultras.

    Sebagai seorang pakar sosiologi, Mark Doidge mengatakan sepakbola adalah ruang untuk mengartikulasikan identitas lokal dan menempatkan identitas ini dalam praktek kehidupan sehari-hari, menjadi cara pandang mereka terhadap diri mereka sendiri dan interaksi mereka dengan orang lain.

    Pada akhirnya hal ini berimbas pada penentuan saingan, sekutu, dan tindakan yang harus mereka lakukan.

    Implikasi komunis yang dianut fans Livornoini tercermin dari sikap anti-fasis, anti-rasis, dan protes politik yang tak jemu mereka lakukan kepada pemerintah entah itu lewat chant-chant, koreografi ataupun berdemonstrasi di jalanan.

    Mereka tak segan untuk membuat koreografi memperingati hari ulang tahun Stalin dan Fidel Castro di stadion Artemio Di Franchi. Bendera palu arit dan gambar Che Guevara adalah hal yang lazim ditemui di kota Livorno. Merekapun tak takut menyanyikan chant-chant yang meledek Berlusconi sebagai pedofil atau mencaci partai Forza Italia sebagai partai korup.

    Ketika 19 tentara Italia tewas dalam sebuah aksi bom bunuh diri di Irak tahun 2003 lalu, dan federasi meminta semua pertandingan melakukan mengheningkan cipta, fans Livorno berisik dan bersiul. Tak terhitung kerugian denda yang didapat klub atas ulah fans ini. Nasionalisme Livorno memang sering dipertanyakan. Tapi mereka seolah abai dan tak peduli.

    Mencermati Livorno adalah suatu hal yang unik. Mengingat komunisme yang melekat dalam diri mereka adalah identitas lokal yang memiliki sejarah yang panjang. Kondisi ini berbeda dengan tim-tim kiri lain yang mengikat kelokalan mereka dalam simbol-simbol komunisme. Bukan sebaliknya.
     
    John Foot, dalam buku Calcio: A History of Italian Football membahas Livorno dalam sub-bab tersendiri. Kekirian fans Livorno memang tak terkira. Identitas itu terstruktur dalam rute perjalanan mereka saat menjalani laga tandang. Ketika iring-iringan itu mencapai persimpangan, sang pemimpin akan bertanya "ke arah mana?" dan tanggapan semua orang adalah berteriak "ke kiri, selalu ke kiri"

    Kadar kekirian Livorno tak perlu dipertanyakan lagi. Media kiri Inggris sekelas Guardian tak segan untuk memberi judul berita cukup berani saat menuliskan berita kemenangan Livorno atas AC Milan pada tahun 2005 “Livorno Keep The Red Flag Flying High” – penyebutan The Red Flag tentu saja merujuk pada komunisme yang identik dengan bendera merah dan simbol palu arit.

    Untuk menambah kesangaran, secara gamblang Guardian menyebut tim yang Livorno kalahkan sebagai klub “anjing piaraan kapitalis” si Berlusconi” (lapdog capitalists).

    Sikap politik ini yang kadang merembet dalam soal kebijakan klub. Tahun 2013 lalu, untuk memperkuat kedalaman skuat Livorno hendak ditawari untuk merekrut Tomasso Rocchi- yang kala itu sedang berada dalam status free transfer. Namun, Rocchi adalah seorang legenda di Lazio. Delapan tahun karirnya dihabiskan bersama Gli Aquilloti,sehingga ia telah menjadi seorang Laziale.
     
    "Saya menyukai Rocchi, tetapi dia seorang Laziale dan jadi suatu hal mustahil untuk mengontraknya. Kami menginginkan Rocchi, tapi kami memutuskan untuk mencari penggantinya. Ini memang keputusan gila, tapi ketahuilah inilah sepakbola," Ucap Presiden Livorno, Aldo Spinelli.
    Campanilismo yang terwujud dalam diri Lucarelli.

    The Livornese – masyarakat Livorno memiliki afinitas yang kuat dengan kota mereka, dan ini adalah khas masyarakat Italia pada umumnya. Istilah bahasa Italia untuk menggambarkan kedekatan ini adalah campanilismo. Secara gamblang campanilismo mengidentifikasi keterikatan keanggotaan masyarakat dengan sebuah ruang. Sebuah afinitas yang tak melulu soal fisik, tapi lebih menyangkut psikologis.
     
    Dalam sepakbola hal itu akan terwujud dalam tim dan pemain lokal.

    Di Livorno kesepakatan ideal itu hadir dalam sosok Cristiano Lucarelli. Pemain ini disukai karena melambangkan karakter “The Livornese” yang identik sebagai manusia komunal yang suka mencari teman, bersahabat, dan terbuka secara politik.



    Ironisnya, kefanatikan penggemar Livorno kepada Lucarelli takkan terjadi tanpa adanya globalisasi. Migrasi secara besar-besaran membuat kehadiran pemain lokal memiliki makna yang lebih kuat ketimbang masa lalu.
     
    Imbasnya, sarat keterikatan identitas itu kadang bergeser ke standar yang lebih mudah: tak mesti pemain itu lahir dan besar di kota itu. Namun, bagi masyarakat Livorno, Lucarelli adalah kesempurnaan. Simbol maskulinitas anak muda di atas tribun. Dia tak hanya mengingatkan diri sebagai pemain lokal saja, dia pun mengaitkan dirinya dengan ideologi dan sikap politik yang dilakukan para penggemarnya.

    Secara terang-terangan, Lucarelli mengakui dirinya bahwa dirinya seorang komunis dan bangga dengan perbedaan itu. Sangat amat jarang ada pemain yang serupa dengan dia. Jikapun ada, pemain bertipikal seperti ini pasti akan jadi legenda dan dipuja-puja di klub dia berasal. Nama-nama seperti Paolo Di Canio, Javier Zanetti dan Socrates adalah salah satu contoh selain Lucarelli.

    Tak hanya sekedar berteman, Lucarelli adalah anggota dari kelompok ultras Brigate Autonome Livornesi (BAL). Layaknya seorang fans yang fanatik, dia merajah tubuhnya dengan tatto logo klub Livorno, serta mengambil nomor punggung “99” untuk mencerminkan tanggal pembentukan kelompok ultras yang berdiri pada tahun 1999.

    Saat merayakan selebrasi gol, dia gemar mengepalkan tangannya meninju langit layaknya seperti seorang kaum sosialis dan komunis. Diapun gemar melakukan protes terhadap penindasan yang dilakukan terhadap kaum kelas pekerja dan bangsa-bangsa terjajah seperti Palestina, Catalan, Basque dan Irlandia.
     
    Lucarelli adalah tanda kebangkitan identitas lokal di Italia. Sejarah dan tradisi memberikan pegangan yang nyata untuk membangun dan memperkuat identitas. Meski Uni Soviet telah bubar dan ideologi komunisme tenggelam di makan zaman, komunisme akan selalu hadir di Livorno.

    Mengutip ucapan Antonio Gramsci. ”Di Livorno, nasib kelas pekerja Italia akan selalu jadi bahan pembicaraan dan diskusi. Di Livorno, sebuah era baru dalam sejarah Italia akan dimulai.”

    Dan di Livorno, benteng terakhir komunisme akan terus dipertahankan.



    (din/nds)
    Kontak Informasi Detikcom
    Redaksi: redaksi[at]detik.com
    Media Partner: promosi[at]detik.com
    Iklan: sales[at]detik.com
    More About the Game