GP F1 2004, Masihkah Menarik?
Kamis, 02 Sep 2004 08:10 WIB
Jakarta - Kejadian dua tahun lalu sudah terulang lagi tahun ini. Michael Schumacher dipastikan tampil sebagai juara dunia sebelum kompetisi rampung sepenuhnya.Pada musim 2002 Schumi merengkuh titel kelimanya di seri ke-11 di Magnycours (Prancis) di bulan Juli. Ketika itu balapan masih tersisa enam seri lagi. Kenyataan itu oleh sebagian besar publik F1 dianggap sebagai racun yang mematikan karena betul-betul membosankan.Setelah otoritas F1 membuat beberapa peraturan baru, di musim 2003 balapan kembali kompetitif, bahkan sangat ketat. Schumi memang juara lagi, tapi gelar itu didapat di seri terakhir.Tak heran publik F1 lebih optimistis dengan balapan musim 2004. Mereka yakin Kimi Raikkonen, Fernando Alonso, Juan Pablo Montoya, dan lain-lain sudah lebih siap buat menandingi Schumi. Tapi, uh, semuanya meleset. Ferrari dan Schumi kembali dominan. Disimak dari statistiknya, yang dihasilkan Schumi musim ini bahkan lebih fenomenal ketimbang musim 2002. Ia dipastikan meraih titel ketujuhnya pada seri ke-14 dari 18 seri terjadwal, setelah memenangi 12 seri.Pertanyaannya adalah, apa enaknya menonton sebuah pertandingan yang juaranya sudah ketahuan? Apakah ini merupakan preseden buruk terutama bagi fans F1 di Cina, yang salah satu kotanya, Shanghai, akan menggelar seri ke-16 akhir bulan ini?Shanghai boleh iri pada Sakhir karena GP Bahrain ditempatkan di awal musim sehingga tingkat persaingan masih tinggi. Sedangkan Shanghai, istilahnya mereka hanya jadi tuan rumah “partai hiburan”. Padahal ini adalah kali pertama Cina mengelar grand prix Formula 1.Rasanya tidak juga. Lebih tepatnya, “jangan dipikirin”. Biarlah kondisi ini menjadi pikiran para petaruh karena bandar-bandar pasti ogah membuka bursa dengan pertanyaan apakah Schumi bakal naik podium teratas lagi atau tidak. Artinya, kita masih punya beberapa alasan untuk menyimak GP F1 sampai tuntas. Lagipula, kalau tidak sabar, kenapa tidak sejak seri ke-10, misalnya, fans F1 mencoret agendanya dari menonton balapan ini. Toh sejak memenangi lima seri di awal musim, firasat kita sudah mengatakan Schumi bakal jadi raja lagi.Di situlah letak perbedaannya. Dua tahun lalu orang betul-betul muak pada dominasi “Si Kuda Jingkrak” dan joki utamanya itu. Tapi tahun ini dominasi itu tampaknya tidak terlalu disumpahserapahi. Agaknya F1mania mulai bisa menerima kehebatan orang lain, seraya membodoh-bodohi tim-tim lain yang tak mampu melakukan apa yang telah dilakukan orang lain.Setidaknya ada empat alasan kenapa fans belum harus berpaling dari tontonan F1 di empat seri terakhir nanti (GP Italia, Cina, Jepang, Brasil). Pertama, masih ada dua pembalap yang bakal tampil habis-habisan. Rubens Barrichello dan Jenson Button akan memperebutkan tropi runner up.Kedua, ini akan jadi test case pembalap lain buat mengalahkan Schumi. Musim ini baru Kimi dan Jarno Trulli yang bisa melakukannya. Mengalahkan seorang juara dunia, apalagi yang bernama Michael Schumacher, pasti jadi impian para pembalap, tak peduli jika motivasi Schumi tak tinggi lagi.Ketiga, momen balapan itu sendiri. Pasti tetap jadi hiburan bermutu jika jalannya balapan di Monte Carlo, Hockenheim, atau Spa bisa terjadi lagi di Imola, Shanghai, Suzuka, atau Interlagos.Keempat, jiwa entertainment Schumi patut ditunggu. Mungkin ada baiknya Schumi sedikit “mengerem” laju kebesarannya agar potensi pembalap-pembalap lain tidak melulu tertutup oleh ekspos media massa tentang kesuksesannya. Tapi itu sekadar sebuah pilihan yang amat wajar jika tidak diambil Schumi. Di musim 2002 ia masih tampil ngotot meskipun telah juara. Di enam seri terakhir Schumi juara tiga kali dan runner up tiga kali.So, greget F1 di sisa musim ini pasti sedikit menurun, tapi bagaimanapun balapan baru akan berhenti setelah garis finish terlewati. Cina pun tak perlu “minder” karena kebagian “partai hiburan”. Siapa tahu partai itu pada akhirnya benar-benar menghibur. (a2s/)