Haryanto Arbi adalah salah satu pemain tunggal putra terbaik yang pernah dimiliki tanah air. Tapi, ada luka mendalam yang dirasakan pria 43 tahun itu setiap kali Piala Sudirman bergulir.
Arbi menjadi salah satu pemain nasional ketika Indoensia memiliki pebulutangkis-pebulutangkis tunggal putra top dunia. Dia tumbuh bersama-sama Alan Budikusuma, Ardy B. Wiranata, Joko Supriyanto, dan Hermawan Susanto serta Hendrawan.
Prestasi Arbi di sektor perorangan ditahbiskan lewat titel di Kejuaraan Dunia pada tahun 1995 di Lusanne, Swiss. Juga dua medali emas Asian Games di tahun 1994 dari sektor tunggal putra dan beregu campuran. Arbi juga menjadi salah satu pemain yang berulang kali merasakan podium tertinggi Piala Thomas, 1994, 1996, dan 1998.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau mengenang Piala Sudirman itu layaknya mimpi buruk yang terus menghantui sampai sekarang. Kok bisa ya enggak pernah juara. Pokoknya mengecewakanlah," kata Arbi kepada detikSport.
"Saya sampai malas mengingatnya berapa kali saya tampil di Piala Sudirman. Padahal di kejuaraan Dunia-nya saya juara," ucap Arbi. Ya, masa itu Piala Sudirman masih dibarengkan dengan Kejuaraan Dunia. Setelah tampil pada beregu, para pemain langsung ditunggu nomor perorangan.
Menurut Arbi, format pertandingan di Piala Sudirman yang menyuguhkan semua nomor di bulutangkis memang sulit untuk dimenangkan. Sistem itu menuntut para kontestan memiliki kekuatan yang merata di semua sektor.
"Turnamen ini kan beregu campuran, hanya negara dengan kekuatan yang merata dan cerdik yang bisa memenangkannya. Setidaknya tiga nomor harus kuat," ujar pria asal Kudus, Jawa Tengah itu.
"Selama ini, kita hanya memunyai dua nomor yang benar-benar kuat, itu bikin susah. Kalau nomor andalan yang harus ambil poin terpeleset dan kalah, sudahlah hasilnya akan mudah diprediksi," jelas dia.
(fem/rin)