Tim Thomas Jepang membuat kejutan lebih dulu. Dalam laga semifinal yang dilangsungkan Jumat (23/5/2014) lalu, Kenichi Tago dkk. mulus ke final dengan menumbangkan raksasa bulutangkis China dengan skor 3-0. Hasil tersebut menjadi capaian tersendiri buat Jepang karena bari sekali ini mereka berhasil menembus final.
Selangkah lagi trofi juara menjadi milik Jepang. Dalam partai final yang akan dilangsungkan Minggu (25/5/2014) sore WIB nanti mereka akan berjumpa dengan Malaysia, yang mengalahkan Indonesia di semifinal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut wawancara detikSport dengan Riony Mainaky, pelatih timnas Jepang yang berasal dari Indonesia:
Tanya (T): Berapa lama persiapan Jepang untuk menghadapi Piala Thomas Uber ini?
Jawab (J): Secara tim persiapan hanya dua pekan sebelum tiba di sini. Tapi para pemain selalu berlatih rutin bersama klub mereka masing-masing. Kami tinggal membentuk soliditas tim.
Β
T: Dalam dua pekan itu latihan lebh berfokus kepada fisik atau teknik?
J: Kalau dua pekan di Jepang kami kombinasikan fisik dan teknik. Setelah sampai di New Delhi latihan fisik sudah kami kurangi dan teknik dinaikkan.
Β
T: Target tim Jepang memang sampai sejauh ini?
J: Iya. Tim ini sudah kami siapkan untuk mencapai target final Tim Uber terlebih lagi, karena mereka menjadi seeded dua. Tim Thomas ditantang tim Uber, masak tidak bisa ikuti tim Uber? Tantangan itu bukan kali ini saja tapi sudah sejak lama karena tim Uber sudah pernah jadi juara.
Β
T: Kalau diperhatikan, tim pelatih Jepang campuran dari mana-mana. Apakah itu kunci suksesnya?
J: Park Joo Bong sebagai kepala pelatih yang jadi membentuk tim ini solid. Dia juga pintar memberikan masukan buat tim. Benar, tim ini diisi pelatih-pelatih dari negara yang berbeda-beda. Ada Joo Bong sebagai head coach-nya, saya menangani ganda putra dan Keita Matsunama di tunggal putra. Sato Soji di tunggal putri dan Li Kiking dari China yang mengurus ganda putri.
Β
T: Adakah faktor lain yang mendukung langkah besar Jepang?
J: Saya selalu tanamkan jangan punya rasa takut dan tulus dalam menjalan sesuatu. Kalau teknologi, terutama menyangkut latihan fisik, Jepang punya yang jauh lebih modern dari Indonesia. Tapi soal hati dan latihan βalamβ itu tetap harus dilatih. Kalau ada teknologi tapi feeling dan ketenangan serta nyali tidak diasah, semua itu tidak berguna.
Β
T: Disiplin dan tanggung jawab pemain termasuk juga?
J: Tentang disiplin tidak perlu dipikirkan lagi. Mereka sudah punya kultur disiplin, tahu apa kebutuhan masing-masing. Seprti menyangkut makan di sini. Para pemain membawa alat masak dan bahan sendiri sesuai kebutuhan. Tim memang menyediakan kebutuhan mereka dengan pesan makanan. Latihan juga begitu. Kami tak perlu maksa-maksa untuk datang latihan tepat waktu dll.
Β
T: Jadi memang tak ada kekurangan ya untuk tim yang dibawa ke sini?
J: Ehhmβ¦β¦para pemain ini kan karyawan perusahaan, mereka kurang punya keinginan untuk jadi juara. Kalah menang ya sudah. Tapi makin ke sini mereka makin ingin menjadi juara. Saya rasa sudah bagus.
Β
T: Jadi apa yang sering dibisikkan kepada pemain dari pelatih?
J: Harus punya mental juara. Jangan lupa untuk selalu cermat dengan kebutuhan pribadi. Saya tekankan kepada mereka agar mempunyai catatan tentang situasi pertandingan masing-masing. Juga kelebihan dan kekurangan lawan-lawan. Toh sebenarnya main di situ-situ juga dan lawan itu lagi, itu lagi. Jadi tahun depan kalau ada turnamen lagi tak perlu buang-buang waktu memetakan situasi.
Β
T: Apakah tidak terlalu repot untuk mem[erhatikan satu persatu seperti itu?
J: Kembali lagi ke kultur, Jepang itu sangat rapi.
Β
T: Kalau dulu Indonesia bisa bikin lima kali juara Piala Thomas beruntun kemudian China juga mengikuti. Dengan tim Jepang yang sekarang kira-kira berapa lama akan bertahan sukses ini?
J: Akan lama ya. Karena kami sudah menyiapkan para pemain muda. Pembinaan para pemain muda dikembangkan lewat sekolah-sekolah dan tidak ada habisnya.
SAJJAD HUSSAIN/AFP/Getty Images
(fem/din)











































