Semoga Ini Belum Senjakala Rafael Nadal

Semoga Ini Belum Senjakala Rafael Nadal

Andi Abdullah Sururi - Sport
Rabu, 20 Jan 2016 13:51 WIB
Semoga Ini Belum Senjakala Rafael Nadal
Foto-foto: Getty Images
Jakarta -

Jika Anda merindukan Rafael Nadal, maka rindukanlah dia sekarang. Mumpung umurnya baru akan kepala tiga, mumpung rambutnya masih gondrong walaupun mulai terlihat menipis.

Barangkali terlalu sentimentil jikalau secepat ini sudah membayangkan Nadal sedang menghampiri matahari di kaki langit sebelah barat. Faktor 'U'-kah? Tidak, tidak. Bahkan Roger Federer masih terlihat gagah di usianya yang sudah 34. Nadal? Dia baru 30 pas 3 Juni nanti.

Kalaulah sewaktu dia bertanding melawan Fernando Verdasco kemarin -- jika pesawat televisi Anda berkualitas HD-- kepalanya agak "transparan", mungkin memang helai-helai rambutnya mulai menipis, sebab apa, ya tidak tahu. Ada yang bilang, wajar. Orang barat konon terlihat lebih tua dari umurnya. Pesepakbola Chelsea, Diego Costa, adalah sampel paling gampang didapat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tapi ini memang bukan soal tampilan luar. Nadal tetap ngejreng, dari atas sampai bawah, dari ikat kepala sampai sepatunya yang bermerek Nike. Hijau, oranye, bahkan putih yang ia pakai pun selalu "metalik", termasuk kuning yang dia pilih untuk tampil di Australia Terbuka tahun ini -- betapapun singkat waktunya, karena dia takkan main lagi setelah kalah dari Verdasco.

Kekalahan itulah inti persoalannya. Untuk pertama kalinya, laki-laki asal Mallorca yang hanya menjadi kidal saat mengayuh raket itu–-karena Nadal menulis tetap dengan tangan kanan --, tersingkir di babak pertama Australia Terbuka.

Okelah, Nadal memang cuma satu kali jadi juara di Melbourne Park, di tahun 2009. Tapi selama 11 tahun mengikuti turnamen Grand Slam pembuka ini, baru kali ini ia sudah tumbang di pertandingan pertamanya.

Ia memang pernah juga satu kali tersingkir di babak pertama di turnamen Grand Slam, yakni di Wimbledon 2013, dari pemain yang niscaya Anda jarang mendengar namanya: Steve Darcis. Tapi, kekalahan itu bisa dianggap kesialan belaka, karena di tahun itu Nadal memborong 10 gelar, terbanyak kedua sepanjang kariernya, setelah mengumpulkan 11 titel di tahun 2005, atau di tahun kelima dia terjun ke jenjang pro.

Tapi lihatlah kemudian. Di 2014 Nadal hanya kebagian empat trofi (hanya satu Grand Slam: Prancis Terbuka), dan di tahun kemarin cuma tiga gelar yang diperoleh. Ketika terhenti di babak ketiga AS Terbuka 2015, Nadal untuk pertama kalinya Dallas 10 tahun berturut-turut, tidak memenangi satu pun turnamen Grand Slam.

Apakah semuanya baik-baik saja, Rafa? Tentu tidak. Bagi Anda yang selalu merindukan atlet yang relatif bebas gosip pribadi ini, salahkanlah semata-mata pada cedera yang telah menurunkan derajatnya. Nyaris dalam dua tahun terakhir ini Nadal dihantui oleh cedera di punggung dan pergelangan tangan. Jika Anda tidak terlalu meng-update tenis, mungkin Anda tidak "ngeh" kalau saat ini posisi Nadal adalah peringkat lima.

Ada optimisme lebih besar yang diucapkan Nadal di awal 2016, ketika dia merasa kondisinya terus membaik. Tanda-tandanya sih begitu. Di Doha Open dia berhasil mencapai final sebelum ditekuk Novak Djokovic dengan straight set. Nadal pun resmi dilewati Djokovic, karena dalam rekor 47 pertemuannya melawan petenis Serbia itu, ia kini kalah 24 kali. "Saya kalah dari pemain yang sempurna," kata dia waktu itu.

Tak ada yang meragukan kesempurnaan Djokovic saat ini. Tapi Verdasco pun tidak bermain sempurna saat mengalahkan dia kemarin. Bahkan unforced error yang dibuat Verdasco dua kali lipat lebih banyak daripada Nadal. Verdasco dinilai lebih piawai memainkan strategi dengan tidak terpancing untuk meladeni reli-reli Nadal.

Di sisi lain, pukulan-pukulan Nadal memang tetap terlihat powerfull -- dia disebut-sebut sebagai petenis paling powerfull, tangan kirinya selalu lurus mengayun dari belakang, sehingga bola akan terhantam sekeras-kerasnya. Tapi tetap ada yang kurang dari permainannya atas Verdasco, yang dari 16 pertemuan sebelumnya ia menang 14 kali. Nadal tampak kehilangan kecepatan.



Di masa puncaknya, Nadal selalu mengintimidasi lawan-lawannya dengan mengikis baseline mereka, sebelum menuntaskannya dengan pukulan yang klinis. Belakangan dia terlihat lebih rapuh saat menghadapi petenis-petenis berperingkat di bawahnya, yang selalu siap menyerang balik dirinya – seperti pula Verdasco.

"Tenis sedang sedikit berubah. Semua orang kini berusaha memukul semua bola. Tak bola yang bisa disiapkan jadi poin. Pada aspek ini, permainan ini telah menjadi sedikit lebih gila," demikian analisis Nadal.

"Saya sedang berlatih dengan sedikit beda, berusaha lebih agresif. Saya bisa bermain defensif maupun ofensif, tapi kalau nanggung, habislah saya."

Maka tantangan Nadal adalah sungguhkah dia sudah dalam kebugaran yang sempurna, setelah dua tahun bergelut sengit dengan kondisi fisik yang terus diusik cedera.

Anda penggemar Nadal tentu berharap ini bukankah tahun senjakala buat orang ini, karena toh musim 2016 barulah terbit. Masih ada belasan turnamen berikutnya yang bisa dilalui Nadal, termasuk di Rolland Garros yang selalu menjadi harapan terbesarnya, tempat di mana dia menjadi petenis paling sering menjuarai Prancis Terbuka (sebanyak sembilan kali), terbanyak dibandingkan kisah sukses dia menguasai Australia (1x) maupun Wimbledon (2x) dan Amerika (2x). Terkadang, seseorang hanya butuh ruang dan waktu tertentu saja untuk melanggengkan eksistensinya.

Semoga hari masih siang buat Nadal.



(a2s/fem)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads