Masa-Masa Berat Sony Setelah Tinggalkan Pelatnas PBSI

Masa-Masa Berat Sony Setelah Tinggalkan Pelatnas PBSI

Femi Diah - Sport
Kamis, 23 Feb 2017 14:30 WIB
Foto: AFP PHOTO/Saeed KHAN
Surabaya - Peresmian Sony Dwi Kuncoro Badminton Hall pada pertengahan Februari 2017 menjadi momentum penting dalam karier si pemilik. Setelah menjalani masa-masa sulit, Sony membuktikan dirinya belum habis.

Sony pernah menglamai masa-masa berat pada 2014. Arek Surabaya itu tak terpilih masuk skuat Piala Thomas, terdegradasi dari pelatnas bulutangkis, pulang ke Surabaya dan depresi.

Sony dicoret lantaran kerap menyerah dari cedera. Usianya yang sudah 30 tahun juga dinilai tak lagi berpotensi untuk berprestasi di level tinggi dunia yang kian menuntut permainan cepat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak bisa dimungkiri Sony kecewa berat dengan situasi yang tengah menderanya. Dia masih memiliki peringkat nasional yang oke waktu itu. Dia cuma kalah dari Tommy Sugiarto. Sony dan keluarga juga telah memiliki rumah tepat di sebelah asrama Cipayung, markas besar PBSI.

Istri Sony, Gading Safitri, menuturkan bagaimana terpuruknya Sony di tahun pertama setelah meninggalkan pelatnas, tempat yang sudah seperti rumah dalam 13 tahun terakhir. Sony bukan cuma meredup, tapi menghilang dari radar kala itu.

[Baca Juga: Sony Dwi Kuncoro Menaruh Kebanggaan dan Masa Depan di GOR Enam Lapangan]

"Dia menghilang karena sedang berada dalam proses adaptasi. Kami harus pulang balik Jakarta ke kampung halaman, Surabaya," kata Gading yang dihubungi detikSport, Kamis (23/2/2017).

"Setahun awal menjadi masa-masa berat yang harus kami hadapi. Situasi sangat berbeda sekali. Saat berada di pelatnas, jadwal latihan sudah tertata. Ibaratnya pemain hanya tahu latihan, istirahat, latihan dan istirahat.

"Sementara setelah menjadi pemain profesional semua harus diurus sendiri. Selain itu, masih ada tuntutan untuk bersosialisasi dengan masyarakat serta harus mengatur waktu untuk keluarga," tutur Gading.

Belum lagi tuntutan untuk berburu sponsor sendiri agar Sony memiliki tumpuan kuat saat mengikuti turnamen yang tersebar di berbagai negara. Klub lamanya, PB Suryanaga Surabaya tak sanggup membiayai kebutuhan itu. Maka, Sony pun harus sewa lapangan dan pengadaan shuttlecock sendiri.

'Menghilangnya' Sony bahkan sampai memunculkan spekulasi kalau dia bakal pensiun. Oran-orang bilang, Sony sudah tua.



Saat sponsor didapatkan, muncul masalah baru. Dalam klausul kontrak ada tuntutan Sony harus tampil di level Sirkuit Nasional. Sony khawatir dikalahkan pemain yang levelnya jaduh berada di bawahnya.

Di sisi lain, jika Sony tak segera comeback ke turnamen bisa jadi peringkatnya makin melorot. Maka, makin sulit bagi Sony untuk bisa mendapatkan tempat di level tinggi yang tentunya menjanjikan hadiah lebih besar. Sony bahkan sempat terlempar dari peringkat 100 dunia pada pertengahan tahun 2015.

Adalah mental Sony yang tak cukup kuat menanggung beban itu. Gading menyebut Sony sempat minder. Jadwal latihan memang dijalani tapi sekenanya.

"Awalnya gengsi, malu, ada beban, ada kekhawatiran bagaimana kalau kalah dari pemain yang levelnya jauh di bawah dia. Bayangkan pemain sekelas Sony sampai kesulitan untuk menjadi juara Sirnas. Tampil dua kali di awal Sirnas, dia kalah dua kali pula," tutur Gading.

"Itu masih ditambah dengan penyesuaian produk baru, juga terhadap situasi Sirnas itu sendiri, bagaimana dia merasa harus untuk selalu tampil bagus dan prima di Sirnas. Juga tuntutan sponsor dan penonton yang pastinya menyimpan ekspektasi lebih terhadap Sony," kenang perempuan yang dinikahi Sony pada 24 Juli 2009 itu.

Beruntung dalam perjalanannya, Sony bergabung dengan Tjakrindo Surabaya. Setidaknya dia menjadi lebih mudah mendapatkan lawan latih tanding dan tempat latihan.

Beruntung pula, Sony memiliki istri yang sanggup menyentuh lubuk hati Sony, mengungkit semangat Sony lagi. Pelan-pelan bersama Gading, Sony pun mulai menunjukkan passion-nya lagi di bulutangkis. Patah hatinya terhadap bulutangkis mulai sembuh.

Sony mulai mampu menjadi juara di Sirnas. Juga menjadi juara Indonesia Challenge 2015 dan Taiwan Terbuka Grand Prix di tahun yang sama. Hingga kemudian dia langsung meloncat dengan merebut gelar di Singapura Terbuka 2016.

Sony telah menunjukkan usia hanyalah angka. Juga cedera silih berganti yang membekapnya bukanlah halangan.

Sempat meredup lagi belakangan ini, Sony muncul ke permukaan saat meresmikan GOR miliknya. GOR yang dibangun dengan hasil keringatnya sendiri.



(fem/din)

Hide Ads