Pebulutangkis Guatemala, Kevin Cordon, mencuri perhatian publik Tanah Air setelah berhasil menjejak semifinal Olimpiade Tokyo 2020. Apalagi, pelatihnya asal Indonesia.
Tapi siapa sangka, di balik keberhasilannya ada pelatih hebat, Muamar Qadafi, asal Indonesia. Qadafi setia mendampingi Cordon di tiap laga yang dijalani.
Termasuk di penampilan terakhir Kevin Cordon saat menghadapi tunggal putra Denmark, Viktor Axelsen. Qadafi kerap memotivasi pemain berusia 34 tahun itu agar tampil lebih baik.
Meskipun akhirnya Cordon kalah dua gim 18-21, 11-21 dari Axelsen, tapi keberhasilan Qadafi mengantarkan Cordon sampai babak empat besar patut diapresiasi.
![]() |
Bagaimanapun Muamar Qadafi dan Cordon mencetak sejarah untuk negaranya sebagai pebulutangkis yang sukses di Olimpiade Tokyo 2020. Hal itu pun turut diakui Kepala bidang Hubungan Internasional PBSI, Bambang Roedyanto.
Dalam akun Twitternya, Roedy, begitu ia karib disapa, menuliskan pesannya.
"Kevin Cordon menjadi pemain pertama dari PanAm Continental ke Quarterfinal. Dia dilatih pelatih dari Indonesia. Kalau tidak salah namanya Khadafi," kata Bambang.
Sayangnya, memang tidak banyak informasi yang bisa didapat dari Muamar Qadafi.
![]() |
Jauh sebelum penampilan impresif tersebut, Kevin Cordon juga menceritakan bagaimana ia mendapat gemblengan dari Qadafi yang berasal dari Solo sampai akhirnya mampu lolos ke Olimpiade Tokyo 2020.
Pemain berusia 34 tahun itu mengatakan mendapat sumber daya yang besar untuk dapat melalui setiap tantangan.
"Tidak mudah bagi kami untuk bisa sampai ke sini (Olimpiade) karena sulit untuk mendapatkan uang untuk bisa mengikuti turnamen. Saya tahu ada hal-hal yang lebih penting di Guatemala, seperti orang miskin membutuhkan makanan (untuk bertahan hidup). Tapi bukan berarti turnamen bulutangkis adalah segalanya," kata Cordon dalam laman BWF.
"Saya berasal dari kota kecil dan bulutangkis mengubah hidup saya. Apa yang saya lakukan dibulutangkis juga membantu keluarga saya. Dengan yang yang saya dapatkan dari federasi dan ini mendukung mereka."
"Dalam melakoni latihan pun sulit. Teman-teman banyak membantu saya. Sebagian besar pelatihan yang diberikan kepada saya ialah tiga lawan satu dan saya berlatih keras untuk itu."
"Kini setelah bertahun-tahun saya menyadari bahwa jika Anda membandingkan Guatemala dengan negara-negara lain di Asia atau Eropa, perbedaannya sangat besar. Tapi kami punya satu hal, yaitu bermain dengan hati," tegasnya.
Tonton juga Video: Head to Head Greysia/Apriyani Vs Chen/Jia