Timnas Indonesia membuat kejutan tersendiri dengan melaju ke final AFF Suzuki Cup 2016, walaupun akhirnya harus puas jadi runner-up. Kegagalan itu jelas mengecewakan. Tapi menurut pengamat olahraga Tommy Apriantono, PSSI kepengurusan baru tak boleh lama-lama larut dalam kekecewaan karena kini harus mulai fokus untuk mengerjakan sejumlah PR yang sudah menunggu.
Salah satu PR buat PSSI itu adalah perbaikan fondasi dan penguatan sepakbola di level usia dini. Hal ini tak bisa dilakukan secara instan melainkan harus perlahan-lahan dengan berjenjang, sampai kemudian baru memperlihatkan hasil beberapa tahun mendatang.
"Pondasi di usia dini penting dan mau tidak mau harus kerjasama dengan Diknas. Karena yang punya anak usia itu adalah Kemendiknas. Tapi bukan model IPL karena itu kan turnamen. Tapi ini dibuat model Liga Sekolah. Jadi setiap hari Sabtu akan ada kompetisi di setiap sekolah. Tapi itu kan (hasilnya) butuh pengorbanan waktu, butuh 10-15 tahun," kata Tommy dalam perbincangan dengan detikSport.
Foto: Ilustrasi (Danone Nations Cup 2016) |
"Australia itu setelah mereka dibekukan, sekian tahun menutup diri untuk membina. Pun saat ini ada pemain profesionalnya itu baru sekarang tetapi itu pun belum terkenal karena mereka tidak mengutamakan kompetisi dalam negeri dulu, tetapi pembinaan. Mereka concern usia dini dan mengajak kerjasama dengan sekolah-sekolah," ujarnya.
"Insya Allah bisa. Taruhlah pemain ini dibina paling lambat usia 8 tahun. Yang diutamakan dari mereka adalah latihan individu dulu, jangan langsung kompetisi. Barulah setelah usia 12 atau 14 tahun bisa kompetisi. Pertandingan pun kan baru ada u-15, 16, u-17, lalu u-20, u-23. Jadi semuanya harus berjenjang. Tapi kalau sekarang ini, kan, coba lihat, di mana pembinaannya? Di Liga Nusantara, klub Persikota ambil pemainnya dari mantan pemain Persib, sekarang mana pembinaannya? Sayang kan," bebernya.
Selain pembinaan usia dini, Tommy juga memiliki harapan tersendiri agar aspek infrastruktur klub-klub di Tanah Air juga bisa digenjot jadi lebih baik lagi pada era kepengerusan PSSI saat ini. Aspek tersebut, sebutnya, penting dalam menciptakan iklim profesionalisme dalam persepakbolaan di Indonesia.
"Sebetulnya bukan klub-klub Indonesia yang punya infrasruktur, bisa dihitung, tapi saat verifikasi tingkat Asia saja tidak ada klub Indonesia yang lolos. Coba lihat Persib, sekarang homebase saja tidak punya. Persib itu kan punya Glenn Sugita. Homebasenya di mana? Ada tapi yang punya kan Pemkot. Harusnya kalau profesional punya sendiri dong. Punya tatanan, harus punya homebase. Masalah tempat bertanding? Oke kita (Persib) ada ada Stadion GBLA, Stadion Jalak Harupat. Tapi Persib latihannya di mana, nomaden kan?," katanya.
"Yang kedua, harus punya akademi. Akademi itu tidak mengambil dari punya orang tetapi membina, berjenjang dari U-12, U-16. Coba anaknya Zidane, itu kan sudah masuk U-18. Klubnya ada lapis A dan lapis B. Kalau cedera mereka disimpan dulu di lapis B. Kita mana? tidak punya," tutur Tommy.
Hal lain yang juga harus jadi fokus perhatian PSSI, masih dalam menciptakan persepakbolaan Indonesia yang lebih baik dan profesional, adalah perkara kontrak pemain.
"Sekarang di mana ada kontrak pemain per musim? Harusnya mereka berani mengontrak usia 20 tahun, kontrak lima tahun. Jadi ketika ada nilai jual, ya, bisa dijual. Tapi ini setiap tahun dikontrak. Itu yang saya bilang ada kekurangan di Joko Driyono, di situ. Ini kontrak per musim habis, pemain pasti larinya ke tarkam. Sekarang kalau cedera siapa yang rugi? Tak hanya pemain, tetapi negara juga rugi. Makanya itu yang harus diperhatikan jika profesional," sebut Tommy.
Foto: Rachman Haryanto |
"Satu yang perlu diperhatikan, sekolah dan olahraga sama pentingnya, jangan dikotomi. Kita ada kompetisi SSB, kenapa tidak sekarang antar sekolah," ucapnya.
(mcy/krs)












































Foto: Ilustrasi (Danone Nations Cup 2016)
Foto: Rachman Haryanto