Jakarta - Tak seperti biasanya,
Piala Super Spanyol kini digelar di
Arab Saudi. Momen itu diduga menjadi cara Negara Minyak tersebut melakukan Sportswashing.
Federasi Sepakbola Spanyol (RFEF) bekerja sama dengan Arab Saudi untuk menggelar Piala Super Spanyol. Kontrak tiga tahun, sejak 2020 hingga 2022, diumumkan pada pertengahan November 2019. Dikutip dari
Sports Illustrated, RFEF akan mendapat uang 120 juta euro dari Arab Saudi. Angka tersebut setara dengan Rp 1,8 triliun.
Kerjasama kedua pihak tidak sebatas pada perhelatan Piala Super Spanyol. Spanyol kabarnya akan dapat bantuan dari Arab Saudi untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia 2030, yang mereka ajukan bersama Portugal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Piala Super Spanyol pun sudah menggelar dua pertandingan semifinal di Stadion King Abdullah Sport City, 9-10 Januari 2020. Pertama ketika
Real Madrid mengalahkan
Valencia 3-1, kemudian saat
Barcelona ditekuk
Atletico Madrid 2-3.
Hadirnya Piala Super Spanyol membuat di Arab Saudi menambah banyak list turnamen bergengsi di gelar di negaranya. Sebelumnya, ada ajang
Formula E pada 23 November 2019, dan duel tinju kelas berat antara
Anthony Joshua vs Andy Ruiz pada 7 Desember 2019.
Arab Saudi DiprotesPertandingan Valencia vs Real Madrid digelar di Jeddah, Kamis (9/1/2020) dini hari WIB. Laga itu bertepatan dengan 600 harinya pemerintah Arab Saudi menahan aktivis perempuan, Loujain al-Hathloul dipenjara.
Bersamaan dengan kick off Valencia vs Real Madrid, di jarak 6.600 kilometer lebih, sejumlah aktivis dari
Amnesty International menggelar protes di depan Kedutaan Besar Arab Saudi di Madrid, Spanyol. Mereka memprotes gelaran Piala Super Spanyol.
Dilansir dari
CNN International, 11 orang, pria dan wanita, berpose layaknya berfoto sebelum bertanding. Mereka mengenakan kaus berwarna kuning yang isinya mendesak agar Loujain dibebaskan.
Spanduk bertuliskan 'Ayo gabung bersama kami," juga dibentangkan.
Loujain sebelumnya ditangkap pemerintah Arab Saudi pada 2018. Ia, bersama beberapa aktivis Arab Saudi lainnya, ditangkap terkait desakan perempuan diberi hak menyetir kendaraan sendiri.
Aturan itu kemudian digolkan, namun Loujain tetap ditahan dengan tuduhan perlawanan terhadap kerajaan dan dianggap berhubungan dengan pihak asing, dalam hal ini jurnalis dan diplomat asing.
Belum sampai di situ, Walid Al-Hatloul, saudara pria Loujain, menjelaskan sepupunya mendapat siksaan dan pelecehan seksual. Pemerintah Arab Saudi tidak merespons tuduhan itu.
"Selama beberapa dekade di Arab Saudi, perempuan menjadi subjek hukum yang merepresi, yang memberlakukan pembatasan pada hak untuk bepergian secara mandiri, bekerja atau belajar, yang membatasi berbagai aspek kehidupan mereka," tulis pernyataan Amnesty International.
Sportswashing
Apa yang dilakukan Arab Saudi diduga bentuk
Sportswashing, atau menutup-nutupi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia lewat ajang olahraga. Hal yang juga sempat diduga dilakukan oleh Azerbaijan, ketika menjadi tuan rumah final Liga Europa 2018/2019.
Atas hal itu, kecaman menggelar Piala Super Spanyol di Arab cukup masif. Stasiun televisi Spanyol, TVE, bahkan memboikot sebagai bentuk protesnya.
Media-media Spanyol juga mengecam gelaran Piala Super Spanyol, dan mengklaim tidak banyak penonton yang datang. Surat kabar El Mundo bahkan mengklaim, cuma 1.076 tiket terjual dari alokasi 12 ribu tiket.
Bahkan presiden LaLiga,
Javier Tebas, menilai keputusan ini tidak tepat. Ia juga tidak setuju Piala Super Spanyol digelar di Arab, saat kasus pelanggaran HAM masih terus terjadi.
Namun, Piala Super Spanyol pada akhirnya tetap digelar di Arab Saudi. Pelatih Barcelona,
Ernesto Valverde, menilai ini cuma kepentingan bisnis. Barcelona sendiri menilai tidak mau dikaitkan dengan masalah ini, seraya menegaskan tetap menjunjung tinggi HAM.
"Kami bukan yang mengatur kompetisi, ini diselenggarakan Federasi Sepakbola Spanyol. Kami finalis Copa del Rey dan pemenang Liga Spanyol, jadi kami harus berpartisipasi bersama dengan tiga tim lainnya. Kami sadar telah terjadi insiden sebelumnya," kata pejabat Barcelona kepada CNN.
Felix Jakens, Kepala Kampanye Amnesty International Inggris mengatakan kepada AFP beberapa waktu lalu, berharap ada pemain top yang mau bersuara soal pelanggaran Arab Saudi lewat sepakbola. Ia berharap sosok seperti Lionel Messi bisa membuka mata khalayak banyak soal apa yang terjadi di Arab Saudi.
"Meskipun pemerintah Saudi lebih memilih dunia untuk fokus pada kemewahan dan kemewahan acara prestisius seperti Barcelona melawan Atletico, efek Sportswash dapat dilawan jika figur berpengaruh siap untuk menghadapi situasi hak asasi manusia," ujar Jakens.
"Jika seorang pemain seperti Lionel Messi mengatakan sesuatu tentang pemenjaraan yang keterlaluan pada aktivis hak-hak perempuan Saudi Loujain al-Hathloul, misalnya, ini akan menjadi pengingat penting bagi pemerintah Saudi bahwa tindakan keras mereka yang mengerikan tidak akan tidak diperhatikan," serunya.