Tiga Piala dari Rijkaard Tidaklah Cukup

Tiga Piala dari Rijkaard Tidaklah Cukup

- Sepakbola
Jumat, 09 Mei 2008 10:58 WIB
Jakarta - Inilah risiko melatih tim besar. Jumlah tropi minim, pemecatan adalah hal yang biasa. Frank Rijkaard mengalami akhir cerita yang pahit di Nou Camp karena ia tak cukup memberi prestasi pada klub Catalan itu.

Barcelona adalah tim ketiga yang pernah ditukangi Rijkaard setelah timnas Belanda (1998-2000) dan Sparta Rotterdam (2001-2002). Secara prestasi, ia direkrut El Barca dalam reputasi yang tidak ideal sebagai seorang pelatih kepala/manajer.

Rijkaard mundur dari "Singa Belanda" setelah timnya tersingkir di babak semifinal Piala Eropa 2000. Ia juga dipecat Rotterdam karena klub profesional tertua di Belanda itu malah terdegradasi dari Eredivisie.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski begitu Rijkaard punya reputasi hebat sebagai pemain yang bergelimang medali bersama Ajax, AC Milan, dan timnas Belanda. Ia pun dibawa ke Spanyol, bersamaan dengan awal periode Joan Laporta sebagai presiden baru klub yang telah berusia 108 tahun itu.

Rijkaard masuk setelah Barca finish di urutan keenam La Liga musim 2002/2003, hasil warisan Louis van Gaal yang dilanjutkan Radomir Antic per Januari 2003. Ia ditopang oleh pemain baru yang kelak menjadi bintang utama Los Cules, Ronaldinho.

Awalnya polesan tangan Rijkaard tidak menarik. Fans sempat memintanya mundur terutama ketika Barca kalah dari Real Madrid di bulan Desember. Tapi Rijkaard adalah tipikal pelatih yang sedikit bicara banyak bekerja. Dengan dukungan Laporta, ia mampu memperbaiki kinerjanya dan menyelesaikan musim pertamanya di peringkat dua di bawah Valencia -- Real Madrid di urutan keempat.

Di musim berikutnya Rijkaard mulai stabil. Ia merombak skuad dengan pilar-pilar baru seperti Deco, Samuel Eto'o, Rafael Marquez, dan Edmilson. Hasilnya sungguh menawan. Barca menjadi tim yang amat memikat dengan gaya penyerangannya. Tropi juara pun berhasil mereka raih.

Musim 2005/2006 adalah puncak kehebatan pasukan Rijkaard. Banyak kalangan menilai mereka adalah tim terindah permainannya di musim ini. Gelar La Liga dan Liga Champions adalah bukti nyata betapa Carles Puyol dkk sangat enjoy ditangani orang Belanda itu.

Tapi roda kemudian bergulir ke bawah. Memasuki musim 2006/2007 Barca mulai "ketahuan" gayanya oleh tim-tim lawan. Mereka pun kehilangan semua piala yang direbutnya. Tapi Laporta masih bergeming pada Rijkaard, mungkin karena Barca hanya kalah dari Real Madrid di pekan terakhir liga musim lalu

Sialnya, musim ini Rijkaard tidak mampu membuat perubahan dari kegagalannya di musim sebelumnya. Materi pemain yang relatif tak berubah banyak sepertinya menjadi penyebab hilangnya permainan indah anak-anak Blaugranes, yang cenderung menjadi monoton.

Konflik interen satu per satu datang. Setelah sempat bersitegang dengan Eto'o gara-gara menolak dimainkan dari bangku cadangan, musim ini Barca terus diganggu oleh persoalan Ronaldinho, mulai dari tubuhnya yang melar, gaya hidupnya di luar lapangan, sampai permainannya yang menurun drastis.

Rijkaard sebenarnya bukan orang yang suka membeberkan keburukan dapur sendiri kepada publik, sebagaimana ia biasa menghindari psywar untuk menjelek-jelekkan tim/pelatih lawan. Ia selalu punya kalimat yang sopan dalam memberi gambaran masalah dalam timnya, maupun hubungannya dengan para pemain.

Tapi semua hal baik itu bukanlah ukuran utama seorang pelatih klub besar. Prestasi adalah selalu barometernya. Maka ketika musim ini Barca kembali tidak meraih satu pun gelar juara, kali ini Laporta tak ada pilihan lain kecuali memberhentikan Rijkaard. Buat Barcelona, persembahan tiga tropi dalam lima musim -- Piala Spanyol (2005 & 2006) boleh jadi tidak terlalu "dihitung" -- tidaklah cukup untuk Rikjaard meneruskan pekerjaannya di Catalan. Dan pekerjaan itu sudah diserahkan kepada anak kandung Barcelona, Josep Guardiola.

(a2s/roz)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads