Di tengah keterpurukan prestasi olahraga, Indonesia dengan pede (percaya diri) mengajukan diri menjadi tuan rumah Asian Games 2018. Apa yang harus dilakukan menteri olahraga di pemerintahan yang baru?
Dengan ambisi sebesar itu -- apalagi dunia olahraga saat ini sudah jauh lebih "canggih" dibanding tahun 1962, ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games edisi IV --, tentu tidak sembarang dukungan yang harus diberikan pemerintah. Menjadi tuan rumah sebuah event internasional besar bukan semata-mata soal kesiapan dana, tapi juga ketepatan dan keberanian mengambil kebijakan-kebijakan terkait banyak hal dan pihak.
Dengan tantangan itu, tentu saja peran menteri olahraga sangat dibutuhkan -- setidaknya, otoritas negara yang mengurusi dunia olahraga di tanah air. Apalagi sudah cukup lama dunia olahraga kita (baca: prestasi) begitu-begitu saja.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Begitu pula di Olimpiade. Di London 2012, untuk pertama kalinya sejak 1992, tradisi Indonesia meraih medali emas berhenti. Cabang olahraga andalan nomor satu, bulutangkis, gagal meneruskan tradisi penting itu. Kontingen "Merah Putih" bahkan terlibat skandal "tak niat main" di nomor ganda putri.
Di cabang paling populer, sepakbola, juga belum ada prestasi lagi sejak SEA Games 1991. Pengelolanya, PSSI, malahan pernah menghabiskan waktu hampir dua tahun (2011-2013) hanya untuk berebut kekuasaan.
Fenomena "dualisme" PSSI dan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) kemudian memelopori "tren" di lembaga-lembaga yang mengurusi olahraga di tanah air, seperti yang terjadi di induk cabang tenis meja, hoki, golf, berkuda, (balap) sepeda. Begitu pula dengan lembaga penyelesaian sengketa (arbitrase) olahraga, yang mengenal dua nama: BAORI (Badan Arbitrase Olahraga Indonesia (BAORI) dan BAKI (Badan Arbitrase Keolahragaan Indonesia).
Segala dualisme menjadi salah satu akibat dari perebutan panggung olahraga di antara Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) dan Komite Olimpiade Indonesia (KOI). Contohnya ya itu: BAKI dibentuk KOI, BAORI adalah bentukan KONI.
Banyaknya tangan yang mengurusi olahraga disebut Menpora saat ini, Roy Suryo, sebagai sebuah masalah yang penting untuk diselesaikan. Jika tidak, risikonya jelas: pembinaan dan pengembangan prestasi yang menjadi tanggung jawab lembaga-lembaga tersebut, bisa terganggu.
"Di bidang olahraga tangannya banyak. Kita tahu, selain pemerintah ada PRIMA (Program Indonesia Emas. Sebelumnya ada PAL/Program Atlet AndalanβRed). Di luar pemerintah, KONI-KOI yang dulu bersatu, sekarang seperti dua sisi mata uang, masing-masing ingin ke luar sendiri," tutur Roy dalam wawancara dengan detiksport di beberapa waktu lalu.
"Jujur harus saya akui, harus ada yang dipersatukan. Kalau tidak, ini repot. Harus ada regulasi supaya mereka tidak overlap. Ke depan, pemerintah (dan Komisi X DPR RI) harus persatukan kembali. Itu salah satu faktor krusial supaya tidak terjadi banyak tangan.
"Sekarang ini setiap orang merasa berkepentingan mengurus A sampai Z. Menurut saya, aturan dasarnya sih sudah ada, tinggal dipertajam saja, dan ditegakkan. Misalnya Permen (Peraturan Menteri) soal KONI-KOI itu, supaya mereka tidak saling berebut panggung," papar Roy.

Bukan rahasia umum lagi kalau mengurus olahraga pun kerapkali dijadikan peluang mencari uang oleh yang semestinya mengurusi itu. Sering atlet mengeluh bahwa bayaran yang dia terima tidak sesuai dengan nominal di awal.
"Ya gitu, kadang-kadang bayaran saya jumlahnya lebih sedikit dari yang telah ditetapkan. Saya tidak tahu kenapa dipotong, dan dipotongnya oleh siapa. Tapi mau gimana lagi, daripada terus telat, ya diterima sajalah," ungkap seorang atlet kepada detiksport, yang tidak mau namanya disebutkan itu.
Menurut sumber lain detiksport di Kemenpora, aroma duit di dunia olahraga Indonesia begitu "semerbak", dan itu sudah berlangsung sangat lama. Ia mencontohkan gagasan BUMN untuk menjadi bapak asuh dunia olahraga di tanah air.
"Mereka sebenarnya mau dan bisa kok. Tapi kenapa selama ini kebanyakan BUMN itu lebih memilih jadi bapak asuh langsung buat atlet, dan bukannya kepada (induk) olahraga tertentu, itu karena kalau diserahkan ke institusi, uangnya bisa dikorupsi," ucapnya.
Kasus korupsi yang muncul dari penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) 2012 di Riau, yang menyeret banyak pejabat termasuk gubernurnya, Rusli Zainal, menunjukkan bahwa olahraga juga rawan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan di luar kepentingan olahraga itu sendiri.
Dus, masalah olahraga kita bahkan sudah ada di dalam institusi-institusinya, sedangkan merekalah yang bertanggung jawab secara langsung untuk memberi arah (direction) untuk menghidupkan olahraga. Padahal, selain itu seabrek masalah lain juga menanti untuk dibenahi. Pembinaan (sejak usia dini), kesejahteraan atlet, sarana dan infastruktur olahraga, juga istilah yang belakangan terdengar keren: sport science -- terkesan dari waktu ke waktu hanya ramai sebagai wacana dan "niat baik" belaka.
Contoh paling nyata menyangkut kesejahteraan atlet adalah bonus atlet yang selalu telat untuk dibayarkan. Celakanya lagi, hal itu terjadi berulang kali. Sudah bonus telat, uang saku dan biaya pelatnas Asian Games 2014 mandek terus. Adalah ironis besar apabila kita menuntut atlet untuk berlatih dan berjuang semaksimal mungkin, tapi di saat bersamaan hak-hak mereka tak segera dipenuhi. Soal gaji/bonus saja telatnya minta ampun, entah bagaimana pula pemerintah bisa mewujudkan wacana-wacana untuk menyejahterakan atlet, memberi dana pensiun untuk atlet, dan lain sebagainya.
Seperti negara ini yang butuh pemimpin yang bisa jadi teladan, begitu pula untuk figur yang nantinya akan mengurusi olahraga --entah apakah namanya tetap Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) atau Menteri Olahraga saja. Joko Widodo sebagai presiden terpilih, diharapkan bisa memilih sosok yang tepat untuk mengurus olahraga.
"Sekarang tinggal berharap Pak Jokowi memilih orang yang berlatar olahraga. Mantan atlet bagus, tapi memahami atau tidak manajemennya, itu juga penting," ucap pengamat olahraga Tommy Apriantono.
"Kalau memang seorang olahragawan dia harus punya pengalaman aktif di organisasi, bagaimana berhadapan dengan DPR. Akademisi oke, politikus yang paham olahraga juga tidak masalah. Di depan ada Asian Games yang mana kita menjadi calon kuat tuan rumah.
βSingkatnya, harus menguasai olahraga dan tidak kental politiknya, tidak hanya mencari popularitas. Berani berisiko," tambah pria yang juga dosen Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Mantan pebulutangkis nasional Taufik Hidayat tampaknya lelah dengan syaratnya aroma politik dalam olahraga. Pemilik medali emas Olimpiade 2004 Athena itu punya usulan ekstrim, mengganti nama kementerian itu.
"Kalau boleh jangan orang partai. Tapi embel-embel 'pemuda' dalam nama Menteri Pemuda dan Olahraga memang cukup berat. Kalau bisa sih lebih baik ganti nama: Menteri Olahraga," kata Taufik.
Namun, mantan Menpora Hayono Isman mempunyai pendapat berbeda. Pria yang kini duduk di Komisi I DPR RI itu menganggap sosok menteri olahraga juga jangan apolitis sama sekali.
"Menghadapi kondisi ini, Jokowi harus mendapatkan para pembantu yang matang dalam politik. Ingat, menteri itu jabatan politik walaupun bisa datang dari kalangan profesional. Tapi itu jabatan politik," beber Hayono.
"Sebagai jabatan politik para menteri akan berhadapan dengan DPR. Jadi, kalau pintar di satu bidang tertentu, tapi tidak punya kematangan politik, pasti akan sulit menghadapi DPR."
Roy Suryo pun memahami keinginan masyarakat supaya urusan olahraga saja tidak perlu kental aroma politiknya. Hanya saja, hal itu tidak bisa dihindari sepenuhnya karena banyak kebijakan kementerian olahraga, terutama yang menyangkut anggaran, harus bersentuhan langsung dan mendapat persetujuan dari DPR.
"Yang tidak boleh adalah politik itu akhirnya menentukan jalannya policy (kebijakan) di bidang olahraga. Tapi dia tetap harus mengerti politik, harus paham dan bisa mengendalikan politik. Dia paham supaya bisa mengendalikan, bukannya dikendalikan, supaya bisa seimbang antara legislatif dan eksekutif. Intinya adalah, memang jangan banyak politiknya, tapi kalau dia juga culun politik, habislah dia dikerjain gedung sebelah (DPR--Red)," cetus Roy, yang menjabat sebagai menpora sejak Januari 2013 itu.
Anggaran memang kerap menjadi masalah klasik di dunia olahraga Indonesia. Roy menuturkan, anggaran Kemenpora di tahun 2013 sebesar Rp 1,9 triliun. Dari jumlah itu, Rp 1,1 triliun dialokasikan untuk kepemudaan, sedangkan untuk keperluan olahraga prestasi hanya Rp 560 miliar. Anggaran tahun ini (2014) justru turun menjadi Rp 1,8 triliun.
"Angka 1,8 itu mungkin kelihatannya lumayan. Tapi faktanya yang 1,1 itu limpahan dari Kemendikbud, limpahan fungsi pendidikan, dan fungsi itu sebenarnya tidak boleh digunakan untuk fungsi olahraga secara langsung. Ironisnya, di Kemenkeu, fungsi keolahragaan itu tidak ada. Yang ada adalah fungsi pendidikan dan kebudayaan. Jadi, anggaran olahraga kita selama ini dijalankan dengan fungsi kebudayaan. Ini sangat ironis, kita bertanggung jawab soal prestasi dan event-event olahraga, tapi dengan anggaran yang sebenarnya bukan untuk fungsi itu. Undang Undangnya ya seperti itu," papar Roy.
Sangat banyak PR (pekerjaan rumah) buat menteri olahraga mendatang, terutama jika olahraga itu sendiri masih dianggap penting buat negara. Apabila olahraga selalu dipandang sebagai sebuah medium untuk membangun karakter masyarakat, yang menjunjung nilai-nilai sportivitas, kegigihan, kedisiplinan dan segala nilai positif lain dan bla-bla-bla, plus bisa mengangkat dan mengharumkan nama bangsa di dunia internasional, alangkah ironisnya jika negara sendiri tidak bisa memaksimalkan peranannya untuk mengurusi olahraga.

(fem/a2s)











































