Jika Anda mencari literasi tentang kultur masyarakat Jepang, akan banyak sekali ditemukan referensi yang merujuk pada kebiasaan orang Jepang yang tidak egois dan lebih mementingkan kebersamaan. Hasil pekerjaan di sana, misalnya, biasanya dilihat dari tim kerja kelompok, ketimbang secara individual.
Di dunia olahraga, 'Ekiden' merupakan bentuk perwujudan budaya kebersamaan dalam masyarakat Jepang. Ekiden adalah lomba lari berantai (estafet), umumnya untuk jarak jauh, yang diikuti oleh sejumlah pelari yang tergabung dalam sebuah tim. Sebagai penanda, setiap pelari memakai tasuki (selempang), untuk dioper ke pelari berikutnya. Begitu seterusnya hingga pelari terakhir.
Dari begitu banyak event ekiden di Jepang, yang paling populer adalah Hakone ekiden, yang diklaim sebagai lomba lari estafet paling "menguras tenaga" di dunia. Event ini berlangsung selama dua hari, dari tengah kota Tokyo menuju kaki gunung Fuji, dan kembali ke Tokyo. Total jarak yang ditempuh sekitar 218 kilometer. Satu tim terdiri dari 10 pelari, yang berasal dari 20 universitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejarah ekiden sendiri berasal dari sebuah tradisi di masa lampau, merujuk pada sistem transportasi dan komunikasi Jepang di era 1600 sampai 1800-an. Kala itu, pola pengiriman dilakukan secara berantai, dari satu "stasiun" ke "stasiun" berikutnya -- eki berarti 'stasiun', den = pengiriman.
Menurut kisah, ekiden pertama diselenggarakan pada tahun 1917, disponsori harian Yomiuri Shimbun. Lomba lari estafet ni berlangsung selama tiga hari, menempuh total jarak 508 km yang membentang di antara Kyoto dan Tokyo. Event itu diadakan untuk memperingati momen perpindahan ibukota Jepang dari Kyoto ke Tokyo pada tahun 1868.
Sejak itu lari ekiden menjadi bagian dari tradisi masyarakat Jepang. Usai Perang Dunia II, misalnya, banyak perusahaan besar membentuk tim-tim olahraga untuk membantu memulihkan moral para pekerja mereka dari trauma pasca pengeboman Hiroshima dan Nagasaki di tahun 1945. Sejarah mencatat, kebersamaan rakyat Jepang adalah motor penggerak utama yang membuat Negeri Sakura ini bisa cepat bangkit dari kehancuran tersebut.
Tradisi ekiden pula yang kemudian melahirkan pelari-pelari jarak jauh (maraton) yang tangguh. Dilansir Independent, di tahun 1966, dari 17 atlet maraton terbaik dunia, 15 di antaranya adalah atlet-atlet (putra) Jepang. Hingga kini, Jepang termasuk negara terkuat untuk lari jarak jauh -- selain beberapa negara Afrika seperti Kenya dan Ethiopia.
Puma Disc Relay Carnival
Hari Selasa (5/4) lalu detiksport berkesempatan menyaksikan sebuah event ekiden di kota Osaka, tepatnya di Yanmar Stadium, Nagai. Event ini diadakan oleh produsen apparel asal Jerman, dengan tajuk Puma Disc Relay Carnival, yang berlangsung dari pukul 5 sore sampai 9 malam.
Sekitar 300-an orang berpartisipasi dalam event tersebut, mayoritas remaja usia sekolah menengah atas. Meski bertaraf lokal, ada atmosfer tersendiri yang terbangun dari event ini. Ada pancaran antusiasme yang sangat besar dari anak-anak muda itu, walaupun itu bukanlah hari libur, dan besok pagi mereka harus tetap beraktivitas ke sekolah maupun tempat bekerja.


Dari keterangan sejumlah peserta, mereka membentuk tim -- satu tim terdiri dari 4 orang -- dari beragam kelompok. Ada yang sesama teman sekolah, teman main, teman kerja, anggota klub lari, dan lain-lain.
#TURNITON ! demikian slogan event tersebut -- selaras dengan filosofi hidup orang-orang Jepang yang sudah sangat terkenal itu: gambaru (berusaha/berjuang sampai penghabisan).
"Kami ingin merasakan dan mengambil pengalaman tersendiri, yang baru, dengan event ekiden ini di Jepang. Apalagi olahraga lari semakin hari semakin digemari oleh masyarakat Indonesia," ujar Fajar Nugraha, Excecutive Marketing PUMA Indonesia.


Lomba dibagi dua jenis: estafet 4 x 1,3 km dan 4 x 100 meter. Untuk yang pertama, setiap pelari berlari sampai ke luar trek stadion sebelum melahap 400 meter terakhir di dalam stadion. Pelari pertama mengoper selempang berwarna hijau kepada dua pelari berikutnya, sedangkan pelari terakhir bersiap dengan tasuki warna kuning.
Sebelum lomba setiap tim telah menyiapkan strategi, terutama siapa yang dianggap pas menjadi pelari pertama dan seterusnya, berdasarkan karakter dan kemampuan masing-masing.
Pada setiap pergantian pelari, rekan-rekan setim yang henti-hentinya saling memberi semangat. Riuh rendah suara mereka terdengar di dalam stadion. Semangat kebersamaan itu begitu terpancar pada masing-masing peserta. Seusai lomba mereka berkumpul berdasarkan timnya, saling melakukan tos, dan juga bersenda gurau.
Pada akhirnya, kemenangan mungkin tidak mesti selalu nomor satu, karena kebersamaan tetaplah yang paling penting, sebab kebersamaan itu sangatlah menyenangkan.


(a2s/fem)