Menciptakan Atmosfer Lomba Lari ala Jepang

Laporan dari Osaka

Menciptakan Atmosfer Lomba Lari ala Jepang

Andi Abdullah Sururi - Sport
Jumat, 08 Apr 2016 20:41 WIB
Osaka -

Di Jepang, lari termasuk olahraga yang sudah sangat memasyarakat. Sebuah event lomba lari lokal pun dapat dikemas sedemikian rupa sehingga memancarkan atmosfer yang menarik.

Hari itu, Selasa (5/4/2016) lalu, ratusan orang berbaris di depan pintu utama Yanmar Stadium di Nagai, Osaka, Jepang. Mereka, yang kebanyakan remaja usia sekolah menengah atas, sedang mengantre pendaftaran event lari bertajuk Puma Disc Relay Carnival.

Waktu menunjukkan pukul 17.10. Warna langit mulai redup, hembusan angin cukup dingin dalam suhu 15-17 derajat celcius. Agak jauh di depan stadion, pohon-pohon sakura merekahkan kembang-kembang merah jambu. Jepang masih musim semi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ratusan remaja itu dengan tertib mendaftar ulang di meja panitia. Layaknya anak muda, canda tawa mereka menghiasi suasana. Dari meja, mereka masuk ke sebuah ruangan cukup luas, berfoto-foto, lalu melihat-lihat koleksi sepatu PUMA yang dipamerkan di sana, mulai dari yang pernah dipakai atlet lari gawang legendaris Colin Jackson saat memenangi kejuaraan dunia 1993, sampai sepatu lari yang jadi andalan manusia tercepat dunia saat ini, Usain Bolt.



Selepas "ruang pameran", secara bergelombang mereka memasuki areal stadion di mana lapangan hijau terhampar cantik, dikelilingi lintasan atletik berwarna merah bata. Inilah bagian utama Nagai Stadium, yang pernah dipakai untuk menghelat tiga pertandingan Piala Dunia 2002, termasuk laga perempatfinal antara Turki melawan Nigeria. Stadion itu merupakan markas klub Cerezo Osaka, yang saat ini bermain di divisi dua Liga Jepang (J2 League).

Lomba lari yang satu ini adalah estafet (relay), atau yang oleh masyarakat Jepang dikenal dengan istilah ekiden. [Baca: Mengenal Budaya Kebersamaan Masyarakat Jepang dalam Lomba Lari 'Ekiden']. Ada dua nomor yang dipertandingkan: 4 x 1,3 kilometer dan 4 x 100 meter.

Sebagai nomor estafet beregu, satu tim terdiri dari empat pelari -- dan harus ada minimal satu pelari wanita. Ada hampir 100 tim yang berpartisipasi dalam event ini, yang untuk mengikutinya tidak dipungut biaya.

Dengan usia peserta yang rata-rata anak 'ABG', walaupun ada pula dari kalangan dewasa dan atlet, sekilas event ini seperti sekadar "hiburan". Tapi sesungguhnya tidak juga. Acara tampak dikemas dengan serius, namun tetap menghadirkan nuansa yang "santai", tanpa mengesampingkan unsur perlombaan itu sendiri.

Selain latar musik, sejumlah kamera dan drone dioperasikan untuk menayangkan secara langsung apa yang terjadi di lapangan, melalui layar besar di dua sisi atas stadion. Setiap kali ada peserta yang disorot dan tampil di giant screen, suasana pun menjadi cair penuh tawa.

Acara dimulai dengan pemanasan bersama, dipimpin oleh seorang instruktur, yang sesekali menyisipi dengan lelucon-lelucon segar. Setelah itu pembawa acara menjelaskan aturan lomba, dan para peserta pun bersiap-siap untuk mengikutinya.



Setiap sesi berjalan sesuai waktu yang ditetapkan. Lomba dijadwalkan dimulai pukul 18.30, dan dilaksanakan tepat waktu. Dengan sorotan lampu-lampu stadion, di bawah langit yang mulai menggelap, lomba pun dimulai.





Para peserta terlihat sangat antusias. Setiap pelari sungguh berlari. Yang kencang berlari sangat kencang. Yang tidak kencang, tetap terlihat berusaha semampunya. Sementara itu rekan-rekan mereka terus bersorak-sorai memberi semangat dari pinggir lapangan, begitu pula dengan puluhan penonton di tribun.

Walaupun tidak besar dan bersifat "eksebisi", detiksport mendapati event ini unik dan menarik, karena atmosfernya tetap terbangun. Semua terlihat senang. Rasa-rasanya belum pernah ada di Indonesia event serupa, yang menampilkan nomor estafet tapi tetap melibatkan banyak orang di dalam sebuah gelanggang olahraga. Umumnya event lari massal yang masih menggejala di Indonesia hanya lari 5K, 10K, atau maraton. Padahal, event semacam ekiden tersebut bisa sekaligus menjadi ajang pencarian bakat pada talenta-talenta muda.

"Untuk urusan event organizing, Jepang memang nomor satu lah. Untuk event apapun, dari musik sampai olahraga. Khusus untuk event lari berantai ini, sepertinya menarik juga jika diadopsi ke Indonesia," cetus Fajar Nugraha, Executive Marketing PUMA Indonesia.





Selain peserta umum, juga diadakan sesi "selingan" berupa lomba lari 4 x 100 meter antarmedia peliput dari sejumlah negara. Ada tujuh tim yang berpartisipasi. Indonesia bergabung dengan perwakilan Singapura dan Malaysia, yang mengirim sprinter terbaiknya yang baru berusia 19 tahun, pemegang rekor di negaranya untuk nomor lari 100 meter, Badrul Hisham Manap.

"Menyenangkan. Saya dapat pengalaman baru di sini, karena ini baru pertama kali saya berkunjung ke Jepang, dan mereka sepertinya minat mereka pada olahraga lari sangatlah tinggi," ujar Badrul, satu-satunya figur Malaysia yang dikontrak Puma dari kalangan atlet.





* Foto-foto: dok. PUMA

(a2s/mfi)

Hide Ads