"Awalnya kita pikir Australia yang dekat, tapi pertimbangannya iklim balapan BMX dan tipe super cross track lebih banyak dan kompetitor lebih banyak di sana (San Diego)," kata sang pelatih, Dadang Purnomo, saat ditemui detikcom akhir pekan lalu di Sirkuit Internasional BMX Muncar, Banyuwangi.
Tak hanya soal lebih banyak trek latihan dan persaingan, adaptasi dan jetlag akibat perbedaan waktu pun jadi pertimbangan San Diego jadi pilihan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Efektif sejak Februari Toni digembleng di Sirkuit BMX Muncar Banyuwangi untuk mematangkan tekniknya. Meski mengaku pesimistis dengan trek super cross, Dadang menggeber kekuatan fisik dan memaksimalkan teknik.
"Di masa sekarang kami fokus ke pematangan teknis. Speed juga. Yang terpenting saat ini kompetisi untuk melengkapi sisa waktu saat ini. Kalau di Brasil tipe trek super cross dan di Indonesia belum ada, dan kita tetap bertahan di Banyuwangi dan memanfaatkan line pro section kita. Jadi jalur kedua ini saya rasa masih bisa kita maksimalkan karena rata-rata kelemahan kita ada di situ," papar pelatih berusia 42 tahun itu.
![]() |
Dadang kemudian menjelaskan beberapa perbedaan trek yang akan dihadapi oleh Toni di Olimpiade nanti. Salah satunya soal starting hill di mana Indonesia hanya memiliki ketinggian sekitar 5 meter, sedangkan di super cross mencapai 8 meter.
"Otomatis nanti di sana speed-nya lebih tinggi, kemudian jump cukup besar dan panjang. Ketiga, teknikal kalau jump di sini smooth, tapi di sana justru mematikan stiff (menukik) sehingga membutuhkan teknik khusus, karena dengan speed tinggi pebalap akan lebih sulit," bebernya.
Menyadari tantangan tersebut, Toni memilih tetap fokus berkonsentrasi untuk latihan. Dia ingin mematangkan skill-nya dan berusaha memberikan yang terbaik untuk Indonesia.
"Saya fokus ke latihan teknik untuk mempertajam skill. Semoga dengan perbedaan itu nggak kesulitan jadi bisa menguasai. Target medali pasti pengen, tapi bersaing dulu," kata Toni.
(ams/a2s)












































