Memberikan bonus kepada atlet berprestasi memang sudah semestinya. Tapi nominal yang jauh lebih besar ketimbang bonus untuk para peraih medali di ajang internasional memunculkan dilematis. Selain itu, perbedaan mencolok janji masing-masing daerah berpotensi memunculkan atlet kutu loncat. Daerah yang menawarkan bonus paling besar menjadi incaran para atlet. Mau diakui atau tidak ada bahaya laten yang mengintai di balik manisnya gelimangan bonus PON.
Fenomena itu bukan sekali ini saja muncul tapi sudah menjadi tradisi. Maklum, dalam pelaksanaannya tak semua daerah bisa mengucurkan dana pembinaan olahraga secara konsisten.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Maka, mau tak mau atlet cari pendapatan lain di luar profesinya untuk menghidupi diri-sendiri dan bisa tetap berlatih. Makanya pula, tak sedikit atlet-atlet yang aji mumpung dengan memanfaatkan pemerintah daerah yang jor-joran menjelang PON. Mereka memilih provinsi yang menawarkan fasilitas latihan, uang saku, dan bonus besar. Meskipun dalam pelaksanaannya mutasi atlet tak lancar melulu. Bahkan, ada kasus atlet tak bisa tanding karena terganjal masalah transfer daerah itu.
Di antara kontestan PON, pemerintah DKI Jakarta yang memberikan janji paling menggiurkan. Mereka menjanjikan bonus kepada peraih emas PON Jabar 2016 yang dihelat mulai 17-29 September sebesar Rp 1 miliar. Tidak ada penjelasan lebih rinci untuk para penerima bonus. Misalnya apakah Rp 1 miliar itu untuk mengapresiasi per keping emas atau per atlet. Sebab, cabang olahraga yang dipertandingan bermacam-macam, ada yang tunggal, ganda, trio, beregu, dan tim.
Padahal referensi pembagian bonus dari sebuah ajang olahraga amat mudah didapatkan lewat mesin pencari google. Jerman misalnya secara detail mengatur besaran bonus kepada atlet olimpiade yang berprestasi. Bukan cuma mereka yang dapat medali, tapi sampai para perempatfinalis untuk cabang-cabang olahraga yang mempunyai popularitas tinggi di level dunia. Juga bagaimana mereka membagi bonus kepada nomor tunggal, duo, trio, beregu, dan tim.
Bahkan, jika ditilik nominalnya saja sudah terlalu 'wow'. Nominal itu seperlima dari yang didapatkan atlet peraih medali emas olimpiade atau setengah dari perak olimpiade 2016.
Apalagi jika menilik nominal bonus peraih emas Asian Games 2014 Incheon. Anda bakal geleng-geleng kepala sembari mengatakan, "Pantas atlet lebih senang tampil di PON. Dengan pesaing yang lebih ringan, bonusnya lebih besar,". Bisa jadi Anda tak sendirian bergumam.
Ya, penyumbang emas Asian Games Korea Selatan itu diberi bonus oleh pemerintah Rp 400 juta. Untuk level SEA Games, atlet penyumbang emas diganjar bonus 'cuma' senilai Rp 200 juta. Bisa dibayangkan betapa berbahayanya bonus-bonus itu dalam pencapaian prestasi Indonesia di level internasional?
![]() |
Dengan nominal itu DKI memang menjadi daerah yang menjanjikan bonus paling besar di antara kontestan PON lainnya. Tuan rumah Jawa Barat tak menyebut secara detail nominal bonus yang ditawarkan kepada peraih medali. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan hanya menyebut Jabar yang turun dengan kekuatan paling besar, 1.945 atlet, ada bonus dan target juara umum.
Pengumuman satu daerah biasanya sukses membuat panas telinga petinggi KONI dan pemerintah provinsi lain. Lagipula, muncul ketakutan atlet yang jadi lumbung emas bakal dibajak oleh daerah yang punya iming-iming bonus lebih besar. Seperti Gubernur Papua Lukas Enembe yang tak mau kalah dalam memberikan bonus PON dari DKI. Papua mengirimkan 304 atlet yang turun dalam 34 cabor dari 44 cabor yang dipertandingkan.
Sumatera Selatan punya cara lain. Pemerintah provinsi Sumsesl menjanjikan bonus berupa apartemen di athlete village Asian Games 2018 kepada peraih medali PON. Setelah perhelatan asian Games kelar, apartemen yang kini tengah dibangun itu memang akan dilelang. Nah, di antaranya ada jatah untuk para peraih medali. Jawa Timur juga menjanjikan Rp 250 juta buat para peraih emas, Sumatera Barat Rp 200 juta, begitu pula Riau yang memberikan iming-iming Rp 200 juta.
Janji yang menyenangkan tapi ternyata menyimpan buntut yang cukup panjang dan rumit.
Dengan adanya besaran yang amat jomplang satu daerah dengan yang lainnya dan berbuntut pada sportivitas, apakah tidak sebaiknya ada regulasi yang mengatur besaran bonus kepada atlet sesuai level persaingannya, bukan sekadar kemampuan masing-masing daerah?
(fem/din)