Perawakannya kecil. Wajahnya imut. Dia murah senyum dan tak pelit setiap kali diajak foto bareng atau selfie.
Namun kala sudah masuk gelanggang dan memainkan pedang, Lindswell akan jadi sosok yang berbeda. Matanya tajam. Nomor spesialisasinya memang cenderung pelan, namun arah pedangnya sulit diprediksi. Belum lagi kalau menimbang gerakan kaki yang begitu lentur dan selaras dengan sabetan pedangnya plus tuntutan musik iringan dan durasi waktu yang ditetapkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baru saja, Lindswell meraih emas PON dari nomor gabungan taijijian dan taijiquan. Pada usia 24 tahun, PON itu berpotensi menjadi PON terakhirnya. Kala tampil di Kejuaraan Dunia si Istora Senayan, jakarta, Lindswell sudah curhat kelenturan badannya mulai menurun. Dia juga mulai lebih gampang capek setelah menjalani latihan dua kali setiap harinya. Keluhan yang ternyat atak mengurangi dominasinya dalam persaingan nasional bukan?
Deretan sukses itu tak datang dengan sendirinya. Jika dirunut ke belakang dari siapa ilmu pedang itu diperolehnya?
Jika biasanya seorang atlet memilih profesi sebagai atlet karena idola atau keluarga. Nah, Lindswell adalah lewat jalur yang kedua. Adalah kakaknya, Iwan Kwok, yang mengenalkan Lindswell kepada wushu. Itupun dia tak langsung jatuh cinta. Lindswell butuh waktu dua tahun untuk serius menekuni olahraga yang berasal dari China tersebut.
"Awalnya memang sulit. Butuh waktu dua tahun untuk membujuk Lindswell sampai akhirnya mau ikut gabung. Jadi ketika saya mau latihan saya bujuk-bujuk dia dan ajak dia untuk ikut serta. Ya beruntungnya akhirnya dia mau dan menjadi seperti sekarang," kata Iwan dalam obrolan dengan detikSport, Senin (19/9/2016).
![]() |
Dengan torehan prestasi yang diraih Lindswell, Iwan pun tak menyimpan rasa bersalah sudah 'menjerusumkan' si adik ke olahraga wushu. Padahal dia tahu untuk menjadi pewushu berprestasi Lindswell harus bersedia menjalani latihan berat.
Bukan cuma tuntutan fisik yang prima, mental para pewushu--seperti juga atlet di cabang olahraga lain--juga diuji. Menjadi hal yang biasa sejak usia dini, para atlet berbakat sudah harus bergabung dengan latihan di ibukota provinsi. Kalau lolos ke pelatnas mereka bahkan biasanya harus hijrah ke Jakarta atau menjalani training camp di negara lain. Belum lagi jika kejenuhan mendera. Itu belum ditambah masalah-masalah klasik: uang saku telat, kejuaraan yang tak pasti dalam setahunnya, ataupun ketersediaan peralatan latihan. Selain itu, satu hal yang paling ditakutkan oleh atlet: cedera.
"Ya, pernah dia bilang mau berhenti. Itu terjadi dua tahun lalu. Mungkin karena jenuh latihan juga dan saat itu lututnya tengah cedera. Dokter menganjurkan dia untuk istirahat sementara jadwal tanding tidak bisa menunggu selama dia beristirahat," cerita Iwan.
Amat mengenal karakter sang adik memudahkan Iwan untuk menjaga motivasi Lindswell. Biasanya sih Iwan cuma meminta agar Lindswell bersabar.
"Makanya, sebenarnya peran saya itu hanya mendukung dari belakang ketika dia sudah capek, jenuh, atau ketika dia bertemu masalah dia curhat dan sebagainya. Saya banyak kasih masukan agar dia sabar dan bertahan. Karena ini bagian dari mengalahkan diri sendiri. Masalah prestasi dan selebihnya itu adalah perjuangan dia sendiri," ungkap dia.
Meski dekat secara emosi, Iwan mengaku di luar lapangan justru dia dan adiknya tidak terlalu sering bersama. Hal ini karena kesibukan dirinya yang menjadi salah satu pengurus di Pengurus Besar Wushu Indonesia (PB WI). Sementara LIndswell mempunyai jadwal padat.
"Tapi pas ketika ada masalah kami tetap bicara berdua."
Sering Disepelekan karena Profesi Kakak
![]() |
Lindswell merasa beruntung pernah dikenalkan wushu oleh sang kakak. Anggota keluarga lainnya juga amat mendukung karier dia.
Namun, karena sang kakak pula, dia kerap mendapatkan cibiran. Status Iwan sebagai salah satu pengurus di PB WI sebagai salah stau penyebabnya. Sudah begitu, Iwan adalah wasit untuk kompetisi nasional dan internasional.
"Ya, tidak dipungkiri misalnya kakaknya wasit sementara adiknya atlet, pasti ada cibiran ' Ah, dia menang karena ada kakaknya saja,'. Awalnya memang aku sedih, bahkan setiap kali memnang aku sering menangis. Soalnya aku mendapat kemenangan ini kan karena memang aku latihan dari kecil, jadi bukan karena ada kakak aku," ungkap Lindswell.
Beruntung keluarganya terus memberi motivasi khusus untuk Lindswell hingga akhirnya cibiran itu akhirnya hilang sendiri.
"Saat itu kakak cuma bilang, ya dibuktikan saja bahwa omongan orang-orang di luar tidak benar. Tunjukkan dengan prestasi. Sejak itu memang cibiran itu semakin lama hilang, dan pada 2013 saya sudah sampai pada tititk tidak menghiraukan omongan orang lagi. Jadi saat itu posisinya itu ada tujuh pertandingan yang aku ikuti, dan ketujuhnya itu aku dapat emas semua dan ini tak lepas dari dukungan orang-orang terdekat," ujar dia.
Di sepanjang kariernya mengikuti wushu, Lindswell tercatat mengoleksi 1 medali emas, 1 perak, dan 2 medali perunggu di Kejuaraan Nasional Junior periode 2005 -2008. Sedangkan level dunia, dara berusia 24 tahun ini juga mengoleksi empat medali emas di nomor taulo tajijian dan taijiquan, tiga medali perak, dan 1 perunggu periode 2009-2015.
Begitu untuk level multievent SEA Games, Lindswell berhasil menambah pundi-pundi medalinya. Dia meraih dua medali emas di SEA Games 2013 Myanmar dan SEA Games 2015 Singapura. Sayang di level Asian Games 2014 Incheon, Lindswell gagal dan hanya membawa pulang medali perak.
![]() |
"Ya memang harapan kami di setiap level kejuaraan itu bisa dilampui dengan menjadi yang terbaik ya. Jadi sudah sekian banyak single event dan multievent menjuarai, Lindswell hanya kurang koleksinya di Asian Games saja yang belum. Ya ini kita harapkanlah. Mudah-mudahan dengan doa bersama Lindswell masih bisa mempersembahkan yang terbaik," pungkas Iwan.
(mcy/fem)














































