Usai diambilnya keputusan untuk membongkar kompleks stadion tenis di GBK dan mengalih fungsikannya menjadi lapangan bisbol, hubungan antara PP Pelti dengan pemerintah dalam hal ini PPK GBK menjadi tidak terlalu baik.
Masing-masing pihak kukuh dengan pandangannya. PP Pelti menganggap jika hampir seluruh lapangan tenis dibongkar, maka otomatis PP Pelti tidak akan bisa lagi menggelar event olahraga, tak terkecuali Davis Cup. Untuk diketahui dalam peraturan ITF, tuan rumah paling minimal tersedia empat lapangan. Sedangkan, pemerintah hanya menyisakan tiga dari 21 lapangan di kompleks stadion tenis yang tersedia saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Padahal sebelumnya, PP Pelti telah menyetujui alih fungsi tersebut. Pada 5 April 2016, Wakil Sekjen PP Pelti Goenawan Tedjo menandatangani surat tersebut.
"Yang jelas kami tidak ingin ada tempat olahraga yang hilang. Tetapi jika lahannya terbatas, tempatnya terbatas, ya pasti harus ada skala prioritas dong. Nah, yang tidak ada tempat itu bisbol untuk standar internasional. Sedangkan tenis, sudah pasti akan digelar di Palembang. Kualifikasi dan final di sana. Jadi bagaimana, mau tidak mau bisbol dikasih tempat. Satu-satunya tempat memang di tenis itu," kata Direktur Utama PPK GBK, Winarto, saat dihubungi detikSport, Selasa (22/11/2016). menjelaskan.
"Selain itu, kami juga tetap perbaiki, kok, tenis itu untuk center court. Kalau GBK luasnya dua kali lipat mungkin semuanya bisa tertampung lah," lanjut dia.
Sebelumnya, Ketua Umum PP Pelti Wibowo Suseno Wirjawan berharap pada mediasi nanti, pemerintah dapat menyetujui soal usulannya untuk menyisakan delapan lapangan dari 21 lapangan yang tersedia.
"Tentu kalau masih bisa akan kami lakukan. Wong, saya itu sampai pelototin bisbolnya, supaya jangan sampai dia berlebihan. Biasalah cabor itu kan inginnya mumpung. Kami kan spesifikasinya adalah sekadar memenuhi standar internasional yang ditetapkan dulu. Minimal itu. Kalau masih ada tersisa tentu kami senang-senang saja. Wong saya suka main tenis kok."
"Poinnya kami akan cari titik temu nanti. Selagi masih ada tempat kenapa harus dibongkar? bongkar kan juga harus pakai biaya juga. Tapi sampai saat ini memang yang masih dimungkinkan adalah menyisakan tiga (lapangan) saja," ungkap Winarto.
Lagi pula, beber Winarto, jika masalah menggelar pertandingan internasional kan tidak harus semuanya digelar di Jakarta. Jika kota lain juga bisa maju, kenapa tidak. "Kemarin Davis Cup saja di Solo. Kita melihat kacamata nasional. Kalau ada kota yang bisa maju, kenapa tidak? tidak semuanya dinominasi Jakarta semua. Supaya daerah juga lebih baik," katanya.
Begitu soal sisa tiga lapangan yang tersisa. Winarto menampik jika lapangan itu pada masa akan datang hanya akan jadi sia-sia. Menurutnya, lapangan itu bisa digunakan untuk rutinitas masyarakat pecinta tenis.
"Kegiatan tenis ini fokusnya ke masyarakat hari-hari. Kalau untuk pertandingan kan berapa tahun sekali. Begitu dengan Asian Games, kami juga pikirkan untuk hari-hari. Asian Games kan dua minggu saja, jangan sampai setelah itu akan jadi terbengkalai. Kita harus memikirkan juga untuk masa akan datang. Makanya lapangannya dibuat multifungsi juga," simpulnya. (mcy/din)











































