Wajah Ramona tetiba saja memerah. Air matanya pecah ketika menjelaskan kronologis obat yang dikonsumsi suaminya, Safrin Sihombing, atlet menembak dari Riau.
Namanya masuk sebagai satu di antara 14 atlet terbukti doping. Dalam sampel A yang diujikan pada di National Dope Testing Laboratory (NDTL) New Delhi, India, urine Safrin terbukti mengandung propranolol. Itu adalah obat beta-blocker dengan fungsi untuk menangani tekanan darah tinggi, detak jantung tak teratur, gemetar (tremor), dan kondisi lainnya. Propranolol juga digunakan untuk mencegah migrain dan nyeri dada (angina).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ramona mengakui memberikan obat tersebut karena Safrin saat itu mengeluh sakit kepala yang tidak tertahankan. Safrin memiliki rekam penyakit sinus sejak tahun 2000. Sempat menjalankan operasi pada tahun 2009, lima tahun kemudian penyakitnya kambuh hingga jelang PON.
Karena tidak kunjung sembuh, Ramona berinisiatif membeli obat ke apotek. Biasanya, Ramona selalu memberikan obat paracetamol, bodrex, piracetam. Di sebuah klinik, Ramona bertemu ibu-ibu yang menyarankan untuk memakai obat propranorolo.
"Suami saya memang tidak pernah tahu obat apa saja yang saya kasih. Dia tahunya itu obat sakit kepala, karena saya yang menyiapkan teh dan obat-obatnya. Karena obatnya banyak sekali," kata Ramona.
Total ada empat tablet yang diminum Safrin sepanjang 11-18 September 2016.
"Memang setelah minum obat itu langsung sembuh, setelah itu kambuh lagi, lalu minum kembali," ungkap Ramona.
Sampai tiba Safrin harus berangkat Bandung untuk menjalani pertandingan. Namun, obat ditinggal dirumah.
Ternyata keputusan membeli obat tanpa resep dokter itu berbuntut usai PON di Jawa Barat 2016. Nama pria yang pernah memperkuat Indonesia dalam Olimpiade Militer itu menjadi salah satu yang ada di dalam daftar atlet positif mengonsumsi doping.
"Saya sangat terpukul dan terkejut sekali ketika mendengar itu.Yang jelas apa yang saya alami ini membuat saya terkena sanksi sosial," kata Safrin.
"Saya sendiri merasa lucu karena saat 2016 saat menang di Olimpiade militer, sata pulang ke Lampung ada yang minta tanda taangan di bandara. Sekarang ketika saya pulang kampung justru dikenal dengan 'Oh, ini atlet yang kena doping itu ya. Jadi ini seperti berubah 360 derajat," ungkap dia.
Bagaimanapun dia menampik jika konsumsi obat tersebut meningkatkan perfomanya saat turun di nomor perorangan 25 meter.
"Justru saat itu saya sempat pusing juga. Pun jika mempengaruhi hasil rekornas saya itu skornya 583, tapi saat PON saya hanya berhasil 575 jadi kalau tidak disengaja tidak ada hubungannya sama sekali," ungkap dia.
Sementara itu, dokter kontingen Riau Ruswadi Munir, yang ikut mendampingi sidang atletnya, mengakui jika atletnya memang tidak berkoordinasi dengan obat-obatan yang diasup. Namun, hal itu dimaklumi karena sakit kepala yang dialami Safrin dinilai sudah sangat menyiksa.
"Ini mungkin karena kesakitan jadi langsung konsumsi. Saya pun tahunya belakangan setelah ada diumumkan. Kami cari dong dari mana obat ini bisa diasup. Barulah di sana istrinya sadar memberikan obat tersebut," tutur Ruswadi.
"Memang harusnya setiap obat yang diasup diberitahukan kepada kami supaya dikasih tahu apakah boleh atau tidak. Apalagi saya ini merupakan tim doping PON Riau," ungkap Ruswadi.
Dia menyerahkan keputusan akhir kepada Dewan Disiplin. Meski dia berharap hasil hearing dijadikan pertimbangan lebih bagi tim dewan.
"Kan ada pasal-pasalnya menurut saya perlu ditelaah. Dia itu atlet nasional, attitude baik, membela negara sampai internasional. Kalau selama ini raportnya tidak baik tentu akan terdeteksi, artinya itu akan menjadi perimbangan bagi tim dewan disiplin," ungkap Ruswadi.
(mcy/fem)