Inge bukan dari kalangan atlet elite di cabang olahraga thriatlon. Dia merupakan penghobi yang menyukai lomba yang menantang seperti full thriatlon.
Dari sekadar senang-senang, Inge ketagihan dengan gelar-gelar juara dari berbagai lomba yang diikuti. Sebuah raihan besar didapatkan wanita kelahiran 6 Juni 1980 itu sebagai juara kelompok usia 35-39 tahun lomba Ironman Taiwan 2016 pada 2 Oktober 2016.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inge yang ditemui di kawasan FX Sudirman, pada Kamis (16/3/2017) menceritakan kisahnya sampai akhirnya bisa mendapat kesempatan itu.
Inge sama sekali tak berpikir akan menjadi peserta, ya sekadar peserta pada lomba-lomba triathlon. Dia punya asma sejak kecil. Namun, justru dari asma itu pula Inge mulai giat berolahraga.
"Saya itu waktu kecil lahir prematur (7 bulan) dan saat baru lahir itu langsung masuk inkubator. Hampir setiap bulan keluar masuk rumah sakit karena asma. Nah, karena saking seringnya akhirnya dokter menyarankan untuk saya belajar berenang supaya asmanya berkurang. Katanya kan bisa nyembuhin dengan cara itu," ungkap Inge mengawali cerita.
Pada usia 4 tahun, Inge pun mulai belajar renang, tiga tahun berlalu dia masuk klub dan mengikuti berbagai lomba di kejuaraan renang antar klub. Pada usianya yang ke-9, Inge yang membela klub Kusuma Harapan, berhasil menjuarai lomba antar klub se-DKI Jakarta.
Tak hanya renang, oleh orang tuanya Inge juga dimasukkan ke klub lari, bernama Meteor. Bukan lari, dia justru tertarik dengan lompat jauh dan lompat jangkit, sementara untuk lari estafet dia mejadi peserta sebagai penggembira.
Ketertarikannya dibuktinya dengan seringnya dia meraih tiga besar di berbagai event. Salah satunya, Kejuaraan Nasional, di mana saat itu Inge yang masih duduk dibangku Sekolah Menengah Atas mewakili DKI Jakarta.
Memasuki usia 16 tahun, Inge mendapat tantangan lomba dari rekan-rekannya. Inge diajak teman-temannya untuk mencoba triathlon. Saat itu ajang yang diikuti adalah Batam Triathlon 1996.
"Waktu itu memang triathlon belum eksis. Orang tidak ada yang tahu, bahkan konsepnya. Saat diajak saya cuma berpikir 'oh, saya bisa sepeda dan lari'. Akhirnya pas coba tidak sangkaa juga jarak yang dilombakan lumayan banget untuk pemula. Jarak sepeda itu 60 km dan lari juga 10 km," kata Inge.
Meski kaget dengan konsepnya, tak membuat Inge kapok. Dua tahun belalu, Inge yang merantau ke Beijing akibat krisis moneter pada tahun 1998 mulai mencoba perlombaan lainnya di negeri orang.
"Ke Beijing saya hanya sendiri, orangtua tidak ikut karena adik kan masih kecil. Tapi di sana saya masih sempat ikut klub negara sana yang tidak punya nama. Memang beda sistem dan belajar, tapi minimal saya bisa belajar mental karena program latihan di sana cukup keras."
Selama 1,5 tahun di Beijing, Inge memutuskan untuk kuliah di University of California, Berkeley, jurusan teknik kimia. "Sama dengan di Beijing, di Amerika saya juga kerap ikut lomba. Tapi hanya sebatas junior college championship," kata anak kedua dari dua bersaudara ini.
Lulus tahun 2005, Inge melanjutkan hidup dengan bekerja di perusahaan Inggris, di Shanghai. Dia memulai karirnya dari nol, dari yang belum digaji hingga akhirnya mendapat posisi operation manager. Namun, namanya Inge, dia tak bisa melepas sisi keatletannya. selama di Shanghai, lewat ajakan teman, beragam lomba lari dia ikuti. Dimulai mulai 5K, 10K, maraton, half maraton, hingga full maraton.
Salah satunya, saat dia mengikuti triathlon di Shanghai. Saat itu dia harus melewati 1,5 km untuk renang, 40 km bersepeda, dan 10 km lari. Hasinya, Inge meraih runner up dengan catatan waktu 2 jam 36 menit, sementara juaranya diambil atlet Denmark Chatrina Wilson.
Satu momentum yang juga turut mendongkrak keseriusannya di ajang triathlon adalah saat ibunya, Lauw Ie Ting, didiagnosa kangker payudara. Saat itu, Inge pun memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan meninggalkan pekerjaannya,
"Saat itu dokter mendiagnosis sisa hidup mama hanya dua minggu lagi. Di situ saya langsung berpikir, bagaimana kalau saya yang ada di posisi itu dan hanya punya waktu dua minggu untuk hidup. Tentu harus melakukan kegiatan yang saya suka. Jangan sampai ada penyesalan," ungkapnya.
Inge pun rutin menjalani hobinya. Berbagai lomba dari yang level rendah sampai tinggi pun dia ikuti. Beruntung, keluarganya mendukung penuh. "Ayah dukung penuh banget. malah sempat tanya juga, sudah capek belum. Kalau belum lanjutkan saja, Mereka tahu aku orangnya tidak setengah-setengah dalam menjalani sesuatu atau sekadar ikut tren. Makanya mereka dukung 100 persen," ungkapnya.
"Ini bukan sekadar hobi. Tetapi ada tantangan dan belajar untuk disiplin, saya juga belajar bekerja keras, dan saya sangat menikmatinya. Saya juga tidak tahu sampai kapan," ujarnya kemudian tertawa.
(mcy/fem)