Doni mengalami polio pada usia lima tahun. Dia tak bisa berjalan sampai akhirnya dia divonis difabel. Usianya yang masih terlalu kecil sehingga kondisi itu tak terlalu dihiraukannya. Dia masih polos untuk memikirkan soal masa depan dengan kondisinya tersebut.
Sampai dia beranjak dewasa, Doni mulai ada kekhawatiran. Dia takut tak bisa kerja. Dia juga galau untuk menjalani hidupnya. Tapi kemudian dia mencari cara untuk bisa menemukan bakatnya dari yayasan tempat ia bernaung selama ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi saya kecil masih polos tidak memikirkan kondisi masa depan. Saya kerjanya bagaimana? Setelah beranjak dewasa barulah saya berpikir, saya harus menemukan apa yang menjadi kemampuan dan kemauan saya. Salah satunya, karena saya dibesarkan di lingkungan yayasan, kemudian saya dikenalkan oleh guru saya kursi roda ini," katanya.
Menurut Doni, sejak duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar (SD) sebenarnya dia sudah dikenalkan soal olahraga kursi roda. Bahkan, dulu dia pernah menjadi bintang iklan layanan masyarakat.
![]() |
"Saya berakting jadi atlet balap kursi roda. Tapi saya tidak ngeh kalo itu olahraga untuk difabel dan ada ajangnya. Saya kira itu hanya proses buat iklan. Dan kemudian saya beranjak besar ternyata ada. Saya melihat berita ternyata ada," ujarnya menceritakan.
"Saya mencoba menekuninya sendiri. Kemudian saya belajar otodidak, setiap sore latihan di stadion. Usia 20-an saya mencoba bergabung berlatih dengan senior saya dan diajak bergabung oleh organisasi di sini. Kemudian saya dilatih oleh pelatih dan menjalankan progra," lanjut pria berusia 30 tahun ini.
Sebagai tes, Doni diturunkan di tingkat kabupaten di Solo. Saat itu dia belum berkesempatan menyumbang medali. Prestasinya masih kalah dari seniornya.
Kemudian pada 2010 prestasinya mulai muncul dia juara di beberapa turnamen dan dipanggil untuk pelatnas ASEAN Para Games 2011 dan meraih medali perak serta perunggu.
Baca juga: Begini Sistem Tiket Asian Para Games 2018 |
"Itu belum pakai kursi roda standar internasional seperti ini, jadi harus pake buat sendiri. Kami mencontoh gambar dari internet jadi nggak standar. Beratnya 20 kilo, dibandingkan dengan internasional ini beratnya cuma 7 kg jadi beda. Sempat dapat alat tapi itu dipakai event nasional saja. Baru lah 2014 kami dapatkan yang grade pertama."
Asian Para Games Kedua
Bagi Doni turun di Asian Para Games merupakan kali kedua. Saat di Incheon dia hanya meraih peringkat enam. Berjalannya waktu, dia dipanggil pelatnas kembali untuk ASEAN Para Games 2017 Malaysia dia mempersembahkan medali emas setelah mengalahkan lawannya di Asian Para Games empat tahun lalu.
"Alhamdullilah limit saya juga naik dan bisa bersaing dari atlet negara lain. Karena juara dunianya beradal dari Asia, jadi tak usah jauh-jauh ke Eropa. Jadi kalau kami atlet Indonesia bisa bersaing dengan Asia maka secara otomatis bisa menghadapi lawan dari Eropa dan Amerika latin," katanya.
Dia berharap di Asian Para Games 2018 bisa meraih podium.
"Entah juara, peringkat 2 atau 3 saya alhamdulillah karena mengingat lawan-lawan saya itu berat. Tapi saya nggak pesimis, tetap optimistis karena keberuntungan itu berpihak kepada semua orang. Semoga nanti dapat momen yang bagus," dia mengharapkan.
(mcy/mrp)