Dia menunggu Syuci di dekat kolam pendinginan setelah atletnya berhasil menjadi yang tercepat di nomor 100 meter gaya dada S14.
Seusai meladeni pewarta, Syuci berjalan menuju pelatihnya dan memberikan sebuah pelukan hangat. Suasana haru pun tercipta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ya, jika melihat fisik Syuci, sekilas dia tidak seperti atlet penyandang disabilitas. Anggota tubuhnya lengkap. Namun siapa sangka dia merupakan atlet penyandang tuna grahita atau keterbatasan kecerdasan.
"Kalau menurut fisik dia itu sempurna tapi kalau untuk intelektualnya, IQ nya di bawah rata-rata. Dia itu di bawah 75. Makanya dia masuk di klasifikasi S14," kata Bhima.
Penanganan atlet tuna grahita sendiri diakuinya susah-susah gampang. Tak mudah lantaran butuh kesabaran untuk terus mengingatkan.
"Penanganan sebetulnya seperti atlet normal karena dia kan secara fisik sama utuh tidak ada yang kurang. Cuma kami lebih sering mengingatkan dan menegur ketika dia salah. Jadi tidak bisa dilepas begitu aja. Jadi harus diulang-ulang terus sampai dia ngerti, diulang lagi," Bhima menjelaskan.
"Terkadang bilang mengerti ternyata enggak. Ya, susahnya melatih tuna grahita seperti itu. Sering lupa. Dia cenderung lupa, daya ingatnya kurang. Jadi dapat instruksi apa, renang seperti apa kadang salah," sambung dia yang baru melatih Syuci pada 2017 ini.
Nah, kata Bhima, biasanya hal-hal seperti itu terjadi saat pelatih memasang program berat dengan banyak variasi. Jika sudah demikian dia harus banyak pengulangan.
Selain itu, cara berkomunikasinya pun diungkapkan Bhima tidak seperti biasanya. Dia harus menggunakan bahasa paling mudah agar cepat dimengerti.
Sebagai contoh, katanya, saat pertandingan untuk Asian Para Games ini. Syuci kebetulan ikut di lima nomor. Dari dua nomor yang diikuti, Syuci sudah menyumbang medali perunggu nomor 200 meter gaya bebas putri dan 100 meter gaa dada S14.
"Saya bilang kalau gaya dada 25 meter awal bagus. Strateginya beda penyisihan sama final. Saya hati-hati sekali kalau bicara dengannya karena jika salah ngomong salah pengertian," lanjut Bhima.
"Kami pakai bahasa yang paling mudah dimengerti oleh dia. Lomba itu cepat-cepatan sampai. Saya seperti bicara dengan anak kecil karena kalau pelan ya kalah. Namanya lomba itu kencang. Tapi semakin kencang, kencang. Makanya tadi saya pesannya cuma satu jangan sampe dia (atlet Jepang) ada di depan kamu," dia mengungkapkan.
(mcy/rin)