Bagaimana Mola melihat MMA sebagai cabang potensial untuk dibina?
MMA menjadi olahraga yang pertumbuhannya paling pesat di dunia sekaran. Tadinya kami bermain di sepakbola, tapi kalau di sepakbola, kami tidak pernah bisa memiliki area itu. Setiap tiga tahun hak siarnya dilelang, siapa yang bayar paling mahal dia yang dapat, dan kita gak pernah punya identitas di situ.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian kami berpikir, cabang olahraga apa sih, yang membuat kita punya pegangan. Kebetulan Fox bubar, dan hak siar UFC dilepas. Begitu kami pegang, pas tahun terakhir Liga Inggris juga, ternyata kami lihat, tumbuhnya bareng. Bahkan ada beberapa partai yang jumlah penontonnya sama, gak beda jauh dengan Liga Inggris.
Kemudian ada Road To UFC, Jeka menang di situ. Kemudian kalau ingat zaman dulu ada Ellyas Pical, Chris John, terus zaman Muhammad Ali, yang kalau tanding kita pasti nonton bareng. Saya sadar bahwa figur petarung bisa mengerakkan emosi masyakat, apalagi jika dia bisa merepresentasikan indonesia.
Nah misal di UFC bisa ada juara atau orang Indonesia yang prestasinya bagus, pasti se-Indonesia bisa ikut bangga. Dan jika kita run di situ, Mola menjadi rumahnya UFC, di mana makin banyak petarung Indonesia, pasti makin banyak orang indonesia nonton. Komitmen kami lahirnya di situ.
Apakah Jeka contoh sukses Mola mengembangkan MMA?
Saya berharap begitu, dan kami gak sendiri. Kami kerjasama dengan KOBI. Untuk bisa berkembang di dunia MMA, MMA harus hidup juga. Harus ada atlet yang mau masuk ke MMA. Kami cuma mau membantu akselerasi pertumbuhan dan kesejahteraan atletnya.
Logikanya begini, jika Jeka bisa ke UFC, otomatis pemasukan Jeka sekali bertarung melebihi pemasukan pesepakbola yang paling tinggi. Kontraknya sekali bertarung 25 ribu dolar AS, menang 50 ribu dolar AS, hampir 800 juta. Itu baru sekali bertarung.
Setahun bisa tiga-empat kali bertarung, berarti kalau dia bisa menang mendapat Rp 2,4 miliar pemasukannya. Itu baru kontrak dasar. Kalau dia bisa masuk level top 10, sekali bertarung bisa 3-4 miliar, belum kalau, kalau menang Rp 8 miliar. Kalau dia menang setahun, berarti pemasukannya bisa Rp 24 miliar, itu masih baru top 10, belum juara. Kalau melihat kesejahteraan bisa seperti itu, harapan kita makin banyak petarung indonesia yang serius menekuni dunia MMA.
Kalau tadinya ada yang berpikir pemasukannya seberapa sih kalau jadi petarung? Maka dengan adanya kami, harapannya kami bisa mengakselerasi kesejahteraan mereka juga. Kami langsung menyambungkan mereka ke dunia internasional. Lewat Mola, kita buat Fight Academy, yang bisa promosi ke level internasional di bawah UFC, misal main di Cage Warriors, Bellator MMA, dari situ bisa ke UFC. Kebetulan Mola punya hubungan dekat dengan UFC berkat kontrak hak siar sampai 2029.
Bisa dibilang Mola lebih berperan ketimbang stakeholder MMA di Indonesia?
Sebelumnya kami tahu adanya One Pride dari KOBI, terus ada event lain. One Pride berperan memberikan wadah untuk bertarung secara profesional, dan KOBI organisasinya.
Lebih dari itu belum ada yang mau membangun infrastukturnya. Kami punya pengalaman di sepakbola. Di sepakbola coba membantu, tapi tersandung kendala terbesar ketika membangun di usia muda, begitu pemainnya lewat usia pembinaan, kalau dia kembali ke Indonesia, membangun infrastuktur senegara ya bagaimana caranya? Terlalu besar pekerjaannya.
Sementara MMA, kami hanya memberikan jalur buat satu orang. Kalau dia petarung yang bagus, kami bantu jalurnya. Kami bangunkan sasana di luar negeri, di mana mereka bisa bersaing dan berkembang, kemudian saat promosi, ya sudah ada programnya. Kompetisinya udah ada, kalau dia bisa masuk ke Bellator, Cage Warrior, bahkan masuk ke UFC, ya selesai, itu puncaknya, tinggal bagaimana dia berkembang.
Kami hanya perlu menyediakan fasilitas elite di Amerika, atau di Eropa misalnya. Mereka bisa berlatih di satu tempat, bisa menampung 50 orang, sampai pensiun bisa lah, kalau sepakbola, bagaimana?
Jadi ya itu, pertama lebih mudah, kemudian ada pula masukan dari pelatih/promotor internasional, yang bilang Indonesia punya potensi. Katanya, petarung Indonesia 'bahan mentahnya' saja sudah melebihi petarung luar negeri.
Jeka di usia 20 tahunan misalnya, rekor bertarungnya saja udah ratusan. Itu kelebihan sendiri, dan itu yang kami lihat. Mereka bilang, Jeka kalau dipoles serius di Amerika atau Eropa, bukan tak mungkin masuk top 10 UFC. Lalu kemudian seperti kemarin kami gelar uji coba di Bali, dari 30 petarung, dia bilang pasti ada 6-7 petarung yang bisa masuk ke ufc, dengan pembinaan yang benar.