Olimpiade: 'American Dream' Indonesia Harus Dikejar dari Sekarang

Olimpiade: 'American Dream' Indonesia Harus Dikejar dari Sekarang

Lucas Aditya - Sport
Kamis, 15 Agu 2024 15:50 WIB
Presiden Joko Widodo menerima atlet peraih medali Olimpiade Paris 2024 di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (15/8/2024). Jokowi menyerahkan bonus kepada mereka.
Persiapan untuk berprestasi di Olimpiade 2028 harus dimulai dari sekarang. (Foto: Grandyos Zafna)
Jakarta -

Olimpiade 2024 ditandai Indonesia dengan dua raihan emas. Kini, fokus kontingen Merah-Putih harus dialihkan ke Los Angeles 2028. Ambisi Indonesia untuk mewujudkan 'American Dream' harus dimulai dari sekarang.

Istilah American Dream muncul dalam buku 'Epic of America' pada tahun 1931. Istilah itu biasa menjadi inspirasi para imigran yang mengadu nasib di negeri Paman Sam untuk meraih kesuksesan.

Mimpi besar sudah diungkap Indonesia menatap Olimpiade 2024. Chef de Mission Indonesia di Olimpiade Paris, Anindya Bakrie, sudah sering mengungkap keinginan untuk masuk 20 besar klasemen medali Olimpiade. Hal itu sejalan dengan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON) yang dicanangkan oleh Pemerintah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dimulai pada 2021, tujuan akhir DBON adalah untuk menembus posisi lima besar pada Olimpiade 2044. Butuh banyak usaha untuk mewujudkan ambisi Indonesia yang tertuang dalam DBON itu. Tapi, apakah mimpi itu realistis?

Olimpiade 2024 Memang Raih Dua Emas, tapi...

ADVERTISEMENT
Veddriq LeonardoVeddriq Leonardo meraih emas di Olimpiade 2024. Foto: REUTERS

Dua emas sukses diraih oleh kontingen Indonesia di Olimpiade 2024. Veddriq Leonardo (panjat tebing speed putra) dan Rizki Juniansyah (angkat besi kelas 73 kilogram putra) menjadi penyumbang emas untuk Indonesia.

Ada satu medali lagi yang diraih Indonesia di Olimpiade 2024. Cabor bulutangkis mampu menyabet perunggu nomor tunggal putri atas nama Gregoria Mariska Tunjung.

Raihan itu meleset dari yang ditargetkan pada kontingen Indonesia di Olimpiade 2024. Indonesia diharapkan bisa menembus posisi 30 besar, nyatanya finis di posisi ke-39.

Pencapaian dua emas ini memang menyamai prestasi terbaik Indonsia di Olimpiade yang didapat saat Olimpiade 1992 di Barcelona. Kala itu, Indonesia meraih dua emas dari cabor bulutangkis, atas nama Susy Susanti dan Alan Budikusuma. Sementara ini, dua emas dalam satu gelaran Olimpiade masih menjadi prestasi terbaik Indonesia.

Untuk bisa menembus posisi 20 besar klasemen medali Olimpiade, Indonesia harus meraih empat medali emas. Brasil, kontingen yang ada di posisi ke-20, meraih tiga emas, tujuh perak, dan 10 perunggu.

"Ini tentu menjadi bahan untuk menjadi evaluasi. Karena melihat dari kesiapan kontingen Indonesia, pada awalnya bisa meraih target meraih posisi 30 dunia dengan asumsi meraih minimal dua medali emas," kata Djoko Pekik Irianto, Guru Besar FIK UNY Yogyakarta, saat berbincang dengan detikSport, Kamis (15/8/2024), via Whatsapp.

"Tentu kita apresiasi kontingen Indonesia yang menorehkan prestasi lumayan baik. Kenapa saya katakan lumayan baik karena ada peningkatan jumlah medali emas, dari sebelumnya-sebelumnya hanya satu medali emas kecuali pada saat 1992 Barcelona kita mendapat medali emas pertama dari bulutangkis," kata dia menambahkan.

Cabor Sumber Medali Indonesia di Olimpiade Terbatas

Dalam sepanjang sejarah Olimpiade, Indonesia sudah mengumpulkan 40 medali. Rinciannya, ada 10 emas yang diraih tim Merah-Putih, sisanya ada 14 perak, dan 16 perunggu.

Bulutangkis, angkat besai, panahan, dan panjat tebing menjadi cabor yang menjadi sumber medali Indonesia. Medali yang diperebutkan dari cabor itu tak sebanyak cabor Olimpiade seperti atletik, senam atau renang.

Sementara ini, bulutangkis menjadi penyumbang emas paling banyak: delapan keping. Sementara itu, panjat tebing dan angkat besi masing-masing menyumbang satu keping.

Indonesia masih minim wakil di cabang yang banyak memperebutkan medali. Di cabor atletik, cuma ada Lalu Muhammad Zohri yang turun di nomor 100 meter putra. Di cabor senam, Rifda Irfanaluthfi yang menjadi wakilnya. Di Olimpiade, ada 48 nomor atletik yang bisa menjadi sumber medali dan gymnastic ada 18 medali.

Dalam rilisnya sebelum gelaran Olimpiade 2024, Djoko mengungkap analisisnya. Jumlah atlet Indonesia untuk mewujudkan target 30 besar klasemen Olimpiade 2024 masih kurang. Indonesia cuma mempunyai 29 wakil atlet pada Olimpiade 2024.

Gregoria Mariska Tunjung gagal melaju ke final cabor bulutangkis Olimpiade 2024. Dia kalah dari An Se-young 21-11, 13-21, dan 16-21. Duel berlangsung di Porte de La Chapelle Arena, Paris, Prancis, Minggu (4/8/2024).Gregoria Mariska Tunjung salah satu peraih medali di Olimpiade 2024. Foto: REUTERS/Hamad I Mohammed

"Untuk meraih prestasi tersebut, perlu didukung capaian indikator kuantitatif lainnya yakni jumlah atlet lolos Olympic, data empirik menunjukan untuk bisa menduduki peringkat 30 harus meloloskan minimal 60 atlet contoh: saat Olympic Tokyo, Iran lolos 65 atlet, Uzbekistan lolos 67 atlet," kata Djoko Pekik dalam keterangannya yang diterima detikSport beberapa waktu lalu.

Angkat besi dan panjat tebing sudah menunjukkan bahwa Indonesia bisa meraih emas dari luar bulutangkis. Hal itu diharapkan menjadi pemicu agar cabor-cabor lain bisa mengirimkan wakil lebih banyak ke ajang pesta olahraga sejagad.

"Keberhasilan dari angkat besi dan panjat tebing (di Olimpiade 2024) seharusnya bisa menjadi inspirasi cabor-cabor lain agar bisa mempunyai motivasi tambahan agar bisa mengirim atlet ke Olimpiade. Meski tidak linear dengan raihan medali, jumlah atlet yang ambil bagian di Olimpiade akan memperbesar peluang untuk meraih medali," kata Djoko Pekik kepada detikSport pada Kamis siang.

"Evaluasi menyeluruh harus kita gelar dengan jernih, dengan obyektif. Kita sudah mempunyai Desain Besar Olahraga Nasional, yang merupakan program jangka panjang menuju Indonesia Emas, di mana kita mempunyai keinginan, target untuk menduduki peringkat kelima pada 2044 pada Olimpiade."

"Kita harus melakukan pembinaan secara masif. Salah satu tolok ukur keberhasilan pembinaan akan dilihat seberapa banyak atlet Indonesia yang lolos ke Olimpiade. Seperti kita ketahui bahwa kelolosan atlet kita di Olimpiade belum cukup menggembirakan menurut saya. Mengapa? Olimpiade London kita hanya lolos 22 atlet dari tujuh sampai delapan cabang Olahraga. Demikian juga Olimpiade Rio de Janeiro hanya 28 atlet yang lolos, Olimpiade Tokyo pada 2021 juga cuma 28 yang lolos. Sedangkan Olimpiade Paris ada tambahan satu, menjadi 29 atlet yang lolos kualifikasi Olimpiade."

"Ini belum cukup menggembirakan, mengapa? Negara tetangga Thailand sudah mampu meloloskan 51 atlet. Tentu, menuju sukses di Olimpiade 2044 di mana kita berkeinginan duduk di peringkat lima, jumlah kelolosan itu harus semakin kita perbanyak. Karena apa, dari data statistik paling tidak tiga Olimpiade terakhir, sebuah negara bisa menduduki peringkat kelima setidaknya bisa meraih 15 sampai 16 medali emas. Dengan kelolosan jumlah atlet setidaknya 248 atau 250. Sehingga, kalau kelolosan kita sekarang baru 29 menuju kelolosan 250, 20 tahun lagi. Kemudian medali yang kita dapatkan dua medali emas dibandingkan 13 medali emas untuk peringkat lima itu kan masih jauh," kata pria yang menjadi Ketua Dewan Pakar Ikatan Sarjana Olahraga Indonesia dan Ketua KONI DIY itu menambahkan.

Prestasi di Olimpiade Butuh Dukungan Penuh Pemerintah dan Stakeholder Olahraga

Prestasi di Olimpiade cuma bisa dikejar dengan pembinaan yang berjenjang. Oleh karena itu, kerjasama semua pihak: pemerintah dan stakeholder olahraga, wajib dilakukan.

Saat ini anggaran olahraga di Indonesia cuma sekitar 0,03 persen dari APBN. Nilai anggaran itu sekitar Rp 2 triliun setiap tahunnya.

Anggaran untuk olahraga yang disalurkan lewat Kementerian Pemuda dan Olahraga itu masih jauh dari kata cukup untuk membina puluhan cabang olahraga yang ada di bawah Komite Olahraga Nasional Indonesia (Koni).

Dampaknya, sarana-prasarana penunjang latihan masih kurang memadai. Ada juga kurangnya keikutsertaan atlet di ajang internasional untuk bisa mengukur hasil latihan menghadapi pesaing-pesaing dari negara lain.

Atlet angkat besi Eko Yuli Irawan (tengah) mengikuti sesi latihan di Jakarta, Senin (20/5/2024). Latihan tersebut dalam rangka persiapan Olimpiade Paris 2024 yang diselenggarakan pada 26 Juli sampai 11 Agustus 2024. ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga/rwa.Atlet angkat besi Eko Yuli Irawan (tengah) mengikuti sesi latihan di Jakarta, Senin (20/5/2024). Latihan tersebut dalam rangka persiapan Olimpiade Paris 2024 yang diselenggarakan pada 26 Juli sampai 11 Agustus 2024. ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga/rwa. Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Sebagai contoh ada sarana latihan yang kurang. Sejak pemugaran Stadion Utama Gelora Bung Karno pada 2016, Indonesia belum mempunyai latihan terpusat untuk cabor-cabor. Cibubur Youth Athlete Training Center (CYATC), yang dimaksudkan untuk itu ditargetkan selesai pada Oktober 2024. Pembangunannya memakan waktu yang lama.

"Kesungguhan setiap stakeholder, semua maksud saya tidak sepihak ya. Utamanya federasi cabang olahraga, maksudnya PP/PB cabang olahraga dan jajarannya pada level sampai ke klub dan sebagainya. Kemudian pemerintah dalam hal ini Kemenpora, ada KONI, KOI, semuanya harus betul-betul incharge dan include menyiapkan para atlet menuju kualifikasi Olimpiade dulu agar dia lolos. Kesungguhan yang terprogram dengan menerapkan kerangka DBON secara sungguh-sungguh menjadi upaya pembinaan yang akan menghasilkan prestasi utamanya menuju 2044 membidik posisi lima besar Olimpiade," kata Djoko.

"Ini menjadi kewajiban kita semua, program DBON itu bagus tapi suportnya harus maksimal. Ya anggaran, ya sarana-prasarana, ya SDM, ya sistem manajemen latihan, itu harus di-top-up betul. Kalau masih ada keluhan itu yang segera harus kita urai," kata dia menambahkan.

Peraih emas cabor angkat besi, Rizki Juniansyah sudah mengusung misi meraih prestasi terbaik lagi di Olimpiade 2028. Kini, saatnya stake holder olahraga memberi dukungan maksimal untuk atlet 21 tahun itu dan semua atlet Indonesia yang bermimpi untuk berprestasi di Olimpiade.

Kesolidan semua stake holder bukan hanya saat selebrasi tetapi dimulai sejak persiapan adalah mutlak. Sehingga, 'American Dream' itu nyata, bukan sekadar angan-angan.


Hide Ads