"When you go into extra time, we're talking about drama. But when we reach the penalty shootout, it's a tragedy." -- Sepp Blatter
Di atas kertas, sepakan penalti mungkin sesuatu yang mudah. Namun di lapangan, kertas tak bisa bicara.
Frank de Boer barangkali akan selalu dihantui dua kali kegagalan --satu sepakan biasa dan satu lagi kala adu penalti-- menyarangkan bola ke gawang Fransesco Toldo di semifinal Euro 2000, yang memaksa negerinya tersingkir di kandang mereka sendiri. Atau mungkin suporter Indonesia yang hadir di Stadion Utama Gelora Bung Karno, saat final cabang sepakbola SEA Games 2011 tak akan pernah melupakan momen ketika Ferdinand Sinaga menepuk dahinya usai gagal mengarahkan si kulit bundar melewati Khairul Fahmi Che Mat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, penalti tetaplah penalti. Ia bertindak bagai waktu. Kepadanya kita tunduk, berharap-harap cemas, moga-moga keberuntungan menyebelahi mereka kali ini.
Sejarah mencatat bahwa enam final kejuaraan tertinggi antarklub Eropa sejak era Liga Champions dimulai pada tahun 1992, diselesaikan lewat eksekusi titik putih. Tentu masih segar di ingatan kita akan adu penalti monumental di Istanbul pada 2005 ketika Liverpool bersua Milan; atau wajah sendu yang diperlihatkan John Terry kala menyaksikan tembakan yang dikirimnya ke gawang Edwin Van Der Sar melebar ke sisi kanan gawang karena kakinya tergelincir di suatu malam kelam di Luzhniki pada 2008.
Pada tendangan penalti pulalah kita menyaksikan gol-gol cantik nan monumental. Untuk hal ini, baiklah ditanyakan pada Antonin Panenka, eksekutor masyhur Cekoslovakia yang sukses mengelabui Sepp Maier di final Piala Eropa 1976. Sampai hari ini, tendangannya abadi sebagai panenka penalty, di mana salah satu pengamalnya adalah Andrea Pirlo yang dengan tenang mengelabui Joe Hart yang kebingungan di perempatfinal Euro 2012.
Penalti bukan sesuatu yang mudah dikeluarkan begitu saja. Kecuali Anda wasit bayaran mafia, tentu bukan hal yang mudah untuk menentukan apakah terjadi pelanggaran di sebuah kotak persegi panjang 16 meter. Tanpa pelanggaran, penalti tak akan dijatuhkan. Ia seperti senjata sakti mandraguna yang hanya dikeluarkan ketika sang pendekar sudah benar-benar terjepit dan tak dapat berbuat apa-apa. Penalti melalui sebuah proses, dan karenanya ia merupakan sesuatu yang tak pernah bisa ditebak.

Jika sepakbola adalah drama, maka penalti adalah tokoh utamanya. Ia adalah nasib yang harus diterima setiap kubu yang berlaga. Penalti membantu membereskan remeh temeh sepakbola selama 90 menit dengan satu tendangan tegas lurus ke gawang . Ia berlaku bagai hakim tertinggi, yang memutuskan nasib sebuah tim hanya dengan jarak dua belas meter. Ia merupakan perwujudan dari ikhtiar, keberuntungan dan doa digabung jadi satu.
Penalti adalah semacam perwujudan amor fati. Ia disambut dengan gerutuan, namun kemudian diterima dengan pasrah dan dianggap sebagai hal baik yang memecahkan masalah. Penalti dicintai karena dibenci, sebab ia berfungsi layaknya maut: datang tak diduga, tak dapat ditebak dan langsung menembak dengan tegas.
====
* Oleh Ramzy Muliawan, seorang pelajar dan (pura-pura) penulis sepakbola. Suporter Semen Padang dan pengagum Juventus. Biasa berkicau di @ramzymuliawan
(a2s/din)