Persimpangan Jalan Arbeloa

Persimpangan Jalan Arbeloa

Anwar Saragih - Sepakbola
Kamis, 12 Mei 2016 12:55 WIB
Foto: Getty Images
Jakarta - Di persimpangan kita menyadari bahwa ujung jalan tak hanya satu. Tak seperti lari marathon yang saat kita memulai kita sudah tahu ke mana kita akan finis dan mengakhiri.

Tak harus seperti George, laki-laki tua yang telah menginjak 80 tahun namun tetap tabah, tulus dan sepenuh hati mencintai istrinya, Anne, perempuan renta lumpuh di film Amour besutan sutradara Mikhael Heneke. Juga tak harus seperti Ryan Giggs, Paul Scholes, Paolo Maldini, Franco Baresi atau Carles Puyol yang selama hidupnya hanya menghabiskan waktunya di satu klub sepak bola yang dicintainya.

Ada masanya kita tidak harus menyelesaikan sesuatu sampai garis finis karena ketidakmampuan. Tidak harus memiliki apa yang kita cintai karena keterbatasan. Juga tak harus bertahan di satu klub yang kita cintai sementara klub itu sudah merasa tak membutuhkan kita. Sekarang tinggal menunggu waktu sejauh mana kita akan mampu berjuang, sejauh mana kita akan mampu bertahan dan sejauh mana kita akan ikhlas untuk sesuatu yang kita cintai. Namun, cinta mengajarkan kita bahwa segala sesuatunya harus mengenal batas dan batas itulah yang kita ukur hingga hari ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Suasana mendadak haru kala Real Madrid memainkan pertandingan kandangnya melawan Valencia di Santiago Bernabeu, pada hari Minggu, 8 Mei 2016. Laga tersebut merupakan laga terakhir Madrid di kandang musim ini. Madrid sendiri masih berjuang dalam perebutan gelar La Liga setelah sebelumnya sempat tertinggal 12 poin dari pemimpin klasemen Barcelona.

Namun, sampai pekan ke-37 La Liga, Madrid berhasil memangkasnya hingga hanya berjarak 1 poin. Laga tersebut juga merupakan laga terakhir Alvaro Arbeloa di Bernabeu setelah sehari sebelum pertandingan mengumumkan untuk tak melanjutkan karier sepakbolanya di Madrid.

Arbeloa adalah pemain belakang dengan kemampuan olah bolanya tanpa skill yang luar biasa dan nyaris "biasa saja". Namun, Pertandingan tersebut sangat spesial mengingat apa yang pernah dilakukan Arbeloa tidak hanya di dalam lapangan, tapi juga di luar lapangan.

Sesaat sebelum pertandingan dimulai, banyak Madridista meyakini bahwa Arbeloa akan bermain hari itu. Banyak pula yang percaya Zinedine Zidane akan memberinya kesempatan bermain untuk terakhir kalinya di Bernabeu sebagai starter. Alasannya: dedikasinya untuk klub selama ini. Namun, kenyataannya justru terbalik. Tak ada nama Arbeloa di starting XI Los Blancos hari itu.

Di posisi yang biasa ia tempati, ada Danilo. Di posisi bek kiri, juga sudah diisi oleh Marcelo. Juga di posisi bek tengah, sudah diisi Raphael Varane dan Sergio Ramos. Suasana tampak biasa saja sampai menit ke-79, saat Madrid sudah mengganti dua pemainnya. Tinggal satu kesempatan lagi untuk mengganti pemain, dan apakah kesempatan itu tak ada juga untuk Arbeloa?
Β 
Namun, garis nasib berkata lain. Arbeloa akhirnya masuk menggantikan Cristiano Ronaldo di pertandingan itu. Suasana pecah. Banner raksasa yang berbentuk jersey bertuliskan nomor punggung 17 dan nama Arbeloa dikibarkan. Ramos, sebagai kapten, juga tak tinggal diam. Ia mengapresiasi Arbeloa dengan melepas ban kaptennya, lalu menyerahkannya pada Arbeloa.

Seisi stadion bergemuruh mengingat ini hari terakhirnya bermain di Bernabeu. Sesaat setelah pertandingan berakhir, seluruh pemain yang ada di lapangan juga di bangku cadangan berlari mengangkat-angkat Arbeloa layaknya Legenda yang telah memberikan segalanya buat klub.
Β 
Pertandingan terakhirnya di Madrid nyaris sempurna. Lebih sempurna dari perpisahan dengan Iker Casillas yang berujung air mata di meja konferensi pers yang penuh kepedihan. Lebih meriah dari perpisahan Roberto Carlos kala Madrid memenangi gelar juara ke-30 di tahun 2007. Lebih disorot dari perpisahan Raul, Zidane, hingga Ruud van Nistelrooy yang pamit nyaris seperti orang biasa tanpa kontribusi yang bergelimpah.

Legenda akan pergi dan kenangannya tak akan terhenti. Arbeloa akhirnya menemui persimpangan jalan dalam hidupnya bahwa akhirnya dia harus meninggalkan Madrid.



Jiwa Spartan

Sejak kematian Juanito Maravilla 24 tahun yang lalu, Madrid nyaris minim sosok yang mempertahankan klub ini dengan setulus hati, sampai mati hingga mengajarkan nilai-nilai Madridismo sepenuh jiwa. Hingga Arbeloa menjadi jawaban atas apa yang dibutuhkan Madrid selama ini. Membela pemain, pasang badan untuk pelatih, menghargai fans, hingga menjadi jembatan perekat klub dengan ultras sur, fans garis keras Madrid yang selama ini memiliki hubungan buruk dengan manajemen klub. Dua puluh menit setelah laga melawan Valencia berakhir, banner raksasa berbentuk jersey Arbeloa masih dibentangkan di tribun.
Β 
Berada di Madrid sejak tahun 2001, saat dia masih berumur 18 tahun, membuat Arbeloa sangat memahami kondisi, ambisi, dan ekspektasi Madrid. Saat itu adalah masa di mana Florentino Perez sedang gencar-gencarnya membangun skuat Galacticos. Setelah mendatangkan Luis Figo (2000), Zidane (2001), Ronaldo Nazario (2002), David Beckham (2003), Michael Owen (2004), hingga Robinho (2005), kondisi tim Madrid berubah drastis.

Ada Istilah Zidanes untuk menyebut pemain-pemain bintang tersebut. Ada pula istilah Pavones untuk menyebut pemain-pemain non-bintang didikan akademi Madrid seperti Francisco Pavon, Guti, Alvaro Meija, hingga Ivan Helguera. Pergaulan pemain, baik di dalam dan luar lapangan, disebut terbelah dengan istilah itu.

Sejak itu pula Madrid menjadi sekumpulan pemain yang ikonik dan "berhasil" membelah fans dengan istilah Ikerista (fans Casillas), Raulista (fans Raul), Zidanes (fans Zidane) dan sebagainya. Itulah juga yang menjadi alasan utama di era Galacticos jilid I prestasi Madrid jauh dari standar yang diinginkan.

Tahun 2006 adalah masa di mana Arbeloa harus meninggalkan Madrid. Tiga tahun lamanya Arbeloa meninggalkan Madrid; satu tahun di Deportivo La Coruna (2006-2007) dan 2 tahun di Liverpool (2007-2009) hingga akhirnya kembali pada musim panas 2009, saat Florentino Perez kembali membangun Los Galaticos jilid II dengan mendatangkan pemain bintang juga.

Arbeloa yang malang-melintang di luar Madrid selama 3 tahun mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang bagaimana phobia yang akan dihadapi Madrid ke depannya. Sejak saat itu pula Arbeloa selalu menunjukkan identitasnya, tidak hanya sebagai seorang pemain Madrid, tetapi juga sebagai Madridista yang selalu siap untuk keutuhan tim.

Cerita dimulai di musim 2009-2010 saat Madrid yang dilatih Manuel Pellegrini mendapat kritik luar biasa dari media. Di musim itu, Madrid gagal di 16 besar Liga Champions dan gagal menjuarai Liga. Arbeloa kemudian melakukan konfrensi pers sendiri dengan memanggil para wartawan dan menyebut kondisi tim sangat baik dan pemain senang dilatih Pellegrini.

Meski akhirnya Pellegrini dipecat dan digantikan Jose Mourinho, namun apa yang dilakukan Arbeloa waktu itu sangat dikenang hingga hari ini.

Pada bulan Mei 2012, saat Madrid menjuarai liga untuk ke-32 kalinya. Isu kepindahan Gonzalo Higuain menguat. Saat itu Higuain sudah meminta setiap pemain, staf pelatih, hingga beberapa perwakilan Madridista, untuk menandatangani jersey-nya. Namun, ada kejutan di perayaan gelar Madrid di Cibeles pada saat itu. Arbeloa mengambil mikrofon dan bernyanyi: "Pipita quedate, Pipita quedate, Pipita quedate.." (Pipita --julukan Higuain-- Bertahanlah). Hingga akhirnya Higuain bertahan di musim itu dan baru meninggalkan Madrid di akhir musim 2012-2013.

Di bulan September 2012, kala Cristiano Ronaldo mencetak gol, waktu Madrid menang 3-0 atas Granada di La Liga, banyak spekulasi yang muncul saat itu, menyebutkan kalau Ronaldo tidak nyaman di Madrid, Ronaldo ingin pindah, hingga isu Ronaldo tidak dihargai Madrid. Arbeloa adalah orang pertama yang menemui Ronaldo dan memintanya terbuka untuk segala hal tentang Madrid.

Tak lama setelah itu, Arbeloa menulis dan mengunggah fotonya bersama Ronaldo di akun Twitter-nya: "I am here bro, with you, don't sad". Hingga akhirnya pada September 2013, Cristiano Ronaldo memperpanjang kontraknya hingga 2018.

Cerita berlanjut di perempatfinal Copa Del Rey pada Januari 2013, saat Messi dikabarkan menghina Istri Arbeloa, Carlota Luiz, yang kala itu sedang hamil dengan ejekan "Bobo" di parkiran Santiago Bernabeu. Arbeloa hanya tersenyum dan berkata, "Dia tak mau berkelahi dengan anak-anak."

Arbeloa selalu membela teman setimnya hingga dia disebut Spartan. Arbeloa hadir saat Madridista menyiuli nama Antonio Adan. Arbeloa tidak lari saat Diego Lopez mendapat kecaman dari Ikerista. Arbeloa juga yang mencoba menenangkan perang dingin Casillas dan Mourinho di akhir musim 2012-2013. Arbeloa memakai kaos "Live Forever" sebagai janjinya pada Madridista bernama Van Palomain yang tidak sempat melihat Madrid meraih La Decima karena lebih dulu tutup usia akibat kecelakaan kereta api. Arbeloa juga orang yang berdiri paling depan saat Gerard Pique mengejek Madrid dan siap "perang" di media sosial dengan Pique.

Masih banyak lagi perlakuan spesial yang dilakukan Arbeloa untuk Madrid. Itu juga salah satu alasan mengapa hingga hari ini dia masih bertahan di Madrid saat usianya sudah menginjak 33 tahun. Saat waktu bermain yang sanagt minim karena skill-nya dianggap biasa saja.

Namun, segala sesuatunya memang harus mengenal batas. Batas itu pulalah yang kita saksikan kala Arbeloa harus meninggalkan Madrid. Harus diakui ini akan menjadi momen yang berat untuk pemain, Madridista, dan klub. Namun, apa pun itu, jiwa Madridismo dan Spartan Arbeloa akan selalu hidup untuk Madrid.

Live Forever, Cap17an.



====

*Penulis adalah blogger sepakbola, juga menulis untuk beberapa suratkabar di Indonesia. Bisa dihubungi via akun Twitter @anwargigi.

(roz/krs)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads