Terbang Bebaslah, Garuda...

Yanu Arifin - detikSport
Rabu, 29 Des 2021 18:50 WIB
Terbanglah tinggi Timnas Indonesia, skuad Garuda! (Foto: dok. PSSI)
Jakarta -

Final. Sebuah tempat terakhir dari sebuah perjalanan. Harapannya, tentu selesai dengan indah. Serasa semua beban yang terpancang, lepas dengan sendirinya.

Bagaimana jika beban itu tetap menempel? Enggan pergi, bahkan begitu kuat menggelayut? Satu-satunya cara adalah memaksanya lepas.

Mampukah hal itu dilakukan Garuda, saat tampil di final Piala AFF 2020?

******

Timnas Indonesia secara heroik melaju sampai final Piala AFF 2020. Dipenuhi pemain muda, pasukan Shin Tae-yong tampil apik sejak fase grup, semifinal, dan kini menjejak final.

Timnas Indonesia tergabung di Grup B, bersama Vietnam, Malaysia, Kamboja, dan Laos. Hasilnya, tim Merah Putih meraih tiga kemenangan dan sekali imbang.

Indonesia tampil trengginas di fase grup. Mengalahkan Kamboja 4-2, melumat Laos 5-1, dan menekuk rival berat Malaysia 4-1. Adapun hasil imbang 0-0 diraih dari Vietnam, yang sudah dianggap memuaskan mengingat Vietnam adalah juara bertahan turnamen.

Di semifinal, permainan apik Indonesia berlanjut. Setelah meredam tuan rumah Singapura 0-0 di leg pertama, skuad Garuda menang 4-2 di leg kedua, untuk merebut tiket final.

Di final, Indonesia sudah ditunggu Thailand. The War Elephant--julukan Thailand, juga tak kalah apik sepanjang turnamen.

Thailand menyapu bersih fase grup dengan meraih empat kemenangan. Singapura, Filipina, Myanmar, dan Timor Leste dilibas anak asuh Alexandre Polking.

Di semifinal, Thailand kemudian menyingkirkan Vietnam. Menang 2-0 di leg pertama, tim tersukses di AFF itu menahan imbang 0-0 di leg kedua.

Pertemuan Indonesia vs Thailand di final Piala AFF ini akan menjadi yang keempat kalinya. Sebelumnya di tiga final AFF, Indonesia selalu kalah, dengan terakhir ditelan pada 2016.

Di Piala AFF 2020, Indonesia punya modal besar untuk mengubah sejarah. Meraih titel juara Asia Tenggara untuk pertama kalinya bukannya mustahil diraih.

Kualitas dimiliki, dari pemain dan pelatih sekaliber Shin Tae-yong--yang membawa Korea Selatan ke Piala Dunia 2018. Permainan juga menarik, di mana Indonesia mampu menjadi tim tersubur di Piala AFF 2020 dengan bikin 18 gol.

Masalahnya cuma satu, mental dan 'beban' yang mungkin masih menggelayut di tubuh Garuda.

*****

Timnas Indonesia lolos ke final Piala AFF dengan skuad muda. Foto: AP/Suhaimi Abdullah

Rata-rata usia skuad yang dibawa Shin Tae-yong ke Piala AFF masih muda, yakni 23,8 tahun. Pelatih 51 tahun itu memenuhi timnya dengan pemain yang masih berusia di kisaran 20 tahunan.

Sebut saja Elkan Baggott dan Ramai Rumakiek (19 tahun), Rachmat Irianto dan Asnawi Mangkualam (22 tahun), Alfeandra Dewangga, Rizky Ridho, dan Pratama Arhan (20 tahun).

Pemain-pemain muda itu bahkan baru saja merasakan atmosfer Piala AFF level senior untuk pertama kalinya. Namun, matangnya penampilan mereka terlihat matang sepanjang turnamen.

"Tidak ada rahasia khusus, tetapi karena para pemain masih sangat muda, jadi kemauannya juga sangat baik dan sangat tinggi, sangat bekerja keras, saya hanya memanfaatkannya saja. Kemudian sambil sharing juga, apa yang kami butuhkan dalam lapangan," kata Shin Tae-yong, dalam wawancara live bersama CNN TV.

"Dan juga para pemain memang hampir cukup umur, usianya 27 sampai 22 tahun, pengalamannya jelas makin akan bertambah, dan percaya dirinya juga makin bertambah."

"Kalau begitu pastinya, kami akan menjadi tim yang tidak mudah kalah dari tim Asia Tenggara lainnya. Jadi saya mohon kepada para fans Indonesia, walau kami ada salah di dalam satu pertandingan, tolong dukungan sepenuhnya," katanya.

Shin Tae-yong memang mempersiapkan tim memang untuk 10 tahun ke depan. Saat ini, ia mengaku tak mengkhawatirkan kualitas pemainnya, yang sudah banyak teruji.

Hanya saja, Shin Tae-yong berkali-kali berbicara soal mental bertanding jelang melawan Thailand. Ia meminta pemainnya tampil berani dan punya mental yang kuat.

"Sejak pertandingan pertama penyisihan grup sudah menyiapkan dengan baik masalah mental. Sama dengan sebelumnya, di final akan mempersiapkan mental yang kuat dalam suasana yang baik. Itu yang akan dibawa sampai final ini," kata Shin dalam jumpa pers virtualnya, Selasa (28/12/2021).

Bicara mental, berarti bicara soal faktor non-teknis permainan. Masalah di luar taktik, di luar lapangan permainan, yang harusnya diatasi para pemain.

Bagaimana caranya? Satu-satunya cara adalah melupakannya sejenak, selama 2 x 90 menit di dua leg pertandingan. Kalau perlu, menyingkirkannya secara paksa.

*****

Melawan Thailand, banyak yang membanding-bandingkan kualitas pengembangan sepakbolanya. Bicara kualitas pemain, sudah tentu berangkat dari tata kelola sepakbola yang baik.

Sistem kompetisi yang terjadwal rapi tiap tahun, keuangan yang lebih mapan, dan fasilitas yang memadai membuat pemain Thailand bisa dibuat begitu profesional.

Rata-rata, gaji pemain Thailand bisa mencapai 3-5 ribu dollar per bulan. Itu pun hitungan pada 2017. Saat ini, gajinya bisa saja bertambah besar.

Bagaimana di Indonesia? Bagaimana mengelola liga yang profesional, jika para pemainnya saja tidak atau belum diperlakukan profesional?

Ambil contoh dari kasus yang belakangan ini kerap terlihat. Ribut-ribut di Liga 3 antarpemain dan pemain vs wasit masih terjadi. Wasit babak belur menjadi pemandangan jamak di media sosial belakangan ini.

Pesepakbola di level Liga 3 biasanya digaji 3-4 juta per bulan. Masih lebih kecil dari profesi lain. Itu pun ditunggak, dan kasusnya bisa mandek lama, sampai kompetisi baru mau bergulir.

Begitu juga isu pengaturan skor. Liga 2, yang sedang menjadi primadona karena kedatangan pemilik klub dari kalangan selebritis dan pejabat, juga tak lepas dari isu pengaturan skor.

Bicara masalah sepakbola Indonesia memang tak ada habisnya [karena memang tak pernah serius mau diselesaikan]. Jadi, begitu saja dulu contohnya.

Jika mau ditarik lebih luas, bangsa Indonesia sendiri masih terus 'berusaha lebih baik'. Kasus korupsi masih merajalela, demokrasi-nya terus diuji lewat pembungkaman kebebasan berpendapat, masalah lingkungan yang lama-lama mencekik, hingga isu politik elektoral yang terlampau elite untuk bisa diikuti masyarakat awam.

Masalah-masalah itu bisa saja menjadi beban pikiran buat Timnas Indonesia, yang akan berlaga di final Piala AFF nanti? Meminta para pemain muda menanggung beban itu, agar bangsa yang 'sedang sakit' ini sedikit tersenyum, bukankah terlampau kelewatan?

******

Maka sudah sebaiknya Timnas Indonesia, yang akan berlaga di final Piala AFF, menganggapnya sebagai angin lalu. Kalau perlu, anggap saja para pemain bukan bagian dari semua masalah di atas.

Bermainlah tanpa rasa beban di lapangan. Hanya ada 2 x 90 menit waktu yang ada, yang bisa dimanfaatkan untuk berekspresi di lapangan hijau.

Jika masih ada beban yang terus mendompleng, singkirkan saja. Jika ada yang memanfaatkan momen, ditentang saja.

Misal, ada yang menyelipkan gambar wajah di poster nonton bareng final Piala AFF 2020, tinggal robek saja. Dijadikan meme juga boleh.

Jika ada yang nekat masuk ke ruang ganti Timnas Indonesia di final Piala AFF 2020? Ya tinggal usir saja.

Anggap saja kalian bukan milik siapa-siapa. Kalian bebas. Independen. Bermainlah di final untuk diri sendiri. Untuk kebanggaan diri sendiri, ya minimal untuk keluarga masing-masing yang dicintai.

Lupakan kami sejenak, beban yang terus masih menggelayut. Kalau bisa, lepaskan saja.

Terbang bebaslah, Garuda. Mumpung kalian bertanding tidak memakai bendera Indonesia, kan?

***

Penulis merupakan jurnalis detikSport, biasa beredar di Twitter dengan akun @arifinyanu.




(yna/cas)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork