Seperti tercantum pada namanya, Rood-Wit bukan hanya bermain bola, tapi juga bermain kriket. Berbeda dengan lahirnya sepakbola modern di Inggris di mana sepakbola rapat hubungannya dengan rugby, penyebaran sepakbola di luar Inggris lebih sering beririsan dengan olahraga kriket. Jejak dari fenomena itu masih bisa kita temukan dari beberapa nama klub sepakbola, ambil salah satu contohnya Genoa CFC. Singkatan “CFC” di situ berarti “Cricket and Football Club”.
Begitu juga yang terjadi di Asia, misalnya saja di India dan Hindia Belanda. Di dua wilayah itu, sepakbola juga disebarkan bersama dengan kriket. Khusus India, lagi-lagi dengan merujuk studi yang dilakukan Paul Dimeo, kriket muncul bersama dengan sepakbola, dan bukan rugby, lebih karena orang-orang Inggris merasa betapa rugby yang keras tak cocok dengan kebudayaan India yang akrab dengan ajaran ahimsa [doktrin anti-kekerasan].
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sepakbola akhirnya menemukan momentum penyebarannya dengan diawali oleh seorang anak sekolah HBS [Hollandsche Burgere School] Surabaya bernama John Edgar. 1894 menjadi tahun yang bersejarah bagi sepakbola Hindia Belanda. Di tahun itu, Edgar mendirikan sebuah kub sepakbola bernama “Victoria”, benar-benar klub sepakbola dan tak ada kaitannya dengan kriket. Edgar mendirikan Victoria pada 1 September 1894 bersama rekan-rekannya yang sama-sama bersekolah di Surabaya. Edgar sendiri yang menjadi kapten tim Victoria.
Diuraikan pada bab I sebuah buku kini yang cukup susah ditemukan, 40 Jaar Voetbal in Nedelandsch- Indie 1894-1934 [40 Tahun Sepakbola di Hindia Belanda] yang disusun W. Berretty, Edgar pertama kali mengenal sepakbola pada saat ia mengecap pendidikan di Singapura, sebelum akhirnya melanjutkan pendidikannya di Surabaya. Bola sepak yang pertama kali digunakan Edgar dan kawan-kawannya pun dipesan langsung dari Singapura.
Sepakbola ala Anak-anak Sekolah
Sesaat setelah pendirian klub sepakbola pertama ini, para siswa-siswa HBS segera melanjutkannya dengan berlatih secara rutin. Setiap minggu pagi mereka berlatih di Missigit-plein. Pada saat itu, animo untuk bermain sepakbola terbilang tidak begitu besar, karena tidak adanya penyemangat selain dari John Edgar sendiri. Kurangnya animo ini antara lain bisa dicontohkan dengan tidak adanya klub lain yang dapat dijadikan “lawan” bertanding. Sepakbola dimainkan satu sama lain secara terpisah, jadi tidak ada 22 orang dalam satu pertandingan sepakbola pada masa itu.

Perlu diketahui juga, memasuki abad 20, sekolah-sekolah itu juga mulai bisa diakses oleh anak- anak kaum bumiputera, bukan hanya anak-anak Eropa saja. Dari sinilah nantinya persentuhan kaum bumiputera dengan sepakbola terjadi dengan lebih intensif.
Kelak, hampir 30 tahun setelah Edgar mendirikan Victoria, tokoh penting pergerakan nasional yang nantinya menjadi Perdana Menteri pertama Indonesia, Soetan Sjahrir, juga sangat aktif bermain bola bersama rekan-rekannya di AMS [setara dengan SMA] di Bandung.
Selain main bola bersama klub lokal dari daerah Pungkur, dia lebih sering main bola bersama klub LUNO [Laat U Niet Overwinnen]. Dikisahkan oleh penulis biografinya yang paling otoritatif, Rudolf Mrazek, Sjahrir dan kawan-kawannya itu bahkan membuat semacam toko koperasi yang menjual barang kerajinan dan merchandise yang hasilnya digunakan untuk membiayai perpustakaan, teater dan tentu saja klub sepakbola mereka.
Ini juga paralel dengan apa yang terjadi di tanah asal sepakbola modern, Inggris. Buku 100 Years of Football: The FIFA Centennial Book, yang diterbitkan langsung dan resmi oleh FIFA, mendedikasikan salah satu bagiannya untuk mengabadikan peranan sekolah dan murid-muridnya dalam pertumbuhan sepakbola modern. Dalam sub-bab berjudul “Schoolboy Football” [hal. 25], FIFA mengakui peranan mereka ini.
“Sepakbola tertanam kuat dalam kultur kelas pekerja dan itu ditampilkan dalam tempat yang penting di sekolah. Banyak guru memainkannya di sekolah dan perguruan tinggi dan sepakbola jadi cara sederhana, menyenangkan dan tidak merugikan bagi aktivitas fisik murid-murid yang merupakan anak dari orang tua kelas pekerja. …Sampai akhirnya, pada 1906, Departemen Pendidikan Inggris menyetujui untuk secara formal memasukan sepakbola dalam kurikulum sekolah dasar negeri.” [hal. 25]
Aspek “menyenangkan dan tidak merugikan bagi aktivitas murid-murid” itu pula yang diakui oleh John Edgar, dkk., di klub Victoria itu. Pada sebuah foto dari tahun 1894 yang berhasil kami dapatkan, yang mengabadikan John Edgar dan rekan-rekannya di klub Victoria sedang mengenakan seragam dan sepatu bola, terdapat caption dengan beberapa pucuk kalimat yang menggambarkan betapa kesenangan adalah unsur penting kenapa mereka menyenangi sepakbola.
Di situ disebutkan betapa mereka seringkali mendapatkan undangan pertandingan resmi, tapi itu tak akan membuat mereka lupa betapa dasar olahraga yang mereka hayati adalah kesenangan. Kalimat penutup caption itu berbunyi: olahraga untuk kesenengan dan kesenangan untuk olahraga.
Sepakbola dalam Politik Pendidikan
Apa yang dilakukan oleh Edgar dan rekan-rekannya di sekolah HBS atau Sjahrir di AMS, menjadi cerminan betapa pentingnya peranan pendidikan dalam penyebaran olahraga modern di Indonesia.
RN Bayu Aji, yang menulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola [2010, hal. 54], menjelaskan fenomena itu dalam konteks politik etis pemerintah kolonial yang menitikberatkan pada aspek pendidikan. Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda mulai tingkat menengah dan tinggi seperti MULO, HBS, AMS telah mengajarkan olahraga seperti atletik, sepakbola dan bola keranjang.
Tetapi perlu juga dicatat, politik etis dalam bidang pendidikan itu dirancang sedemikian rupa bukan hanya untuk memajukan kaum bumiputera tapi juga memastikan kemajuan itu berguna bagi kepentingan kolonial. Jika diringkas, formulanya begini: “Kamu boleh maju, tapi jangan melewati batas.”
Maka selain memberikan kecakapan membaca, menulis, berhitung dan bahasa asing, pendidikan di masa kolonial juga dengan canggih memasukkan nilai-nilai yang bisa melanggengkan sistem kolonial. Bagaimana pendidikan, politik kolonial, olahraga dan sepakbola saling beririsan di Hindia Belanda
sempat digambarkan Pramoedya Ananta Toer dalam magnum opus-nya, Bumi Manusia.
Pada bagian awal karya besarnya itu, Pram menggambarkan bagaimana anak-anak HBS Surabaya, tempat sang tokoh utama Minke bersekolah, berpesta dan bermain dalam perayaan penobatan Wilhelmina menjadi Ratu Belanda. Digambarkan oleh Pram, pada 7 September 1898 [di Belanda masih 6 September], anak-anak HBS berpesta dengan memainkan berbagai permainan, terutama sepakbola. Peringatan peristiwa ini selalu direproduksi oleh pemerintah kolonial sebagai bagian dari upaya menginternalisasi sejarah mereka ke dalam ingatan rakyat terjajah.
Kendati Bumi Manusia adalah karya sastra, tapi Pram dengan plastisnya menampilkan Minke –sang bumiputera yang menjadi protagonis novel—sebagai anak sekolahan yang nyaris selalu menghindar tiap kali diajak berbicara dan bermain sepakbola. Dia cenderung minder dalam urusan fisikal, apalagi jika sudah berurusan dengan duet “rasis” Robert Suurhoff dan Robert Mellema. Duo Robert itu digambarkan Pram sangat menyukai sepakbola. Mereka bukan hanya senang bermain, tapi amat bersemangat membicarakan sepakbola. Dalam sebuah adegan, Minke diajak oleh si cantik nan ringkih Annelies [adik Robert Mellema] untuk menghindari sepakbola. Keduanya saling jatuh cinta dan sama-sama tak menyukai sepakbola.
“Keminderan” Minke untuk bermain/membicarakan sepakbola bisa dibaca sebagai isyarat Pram perihal upaya orang-orang Eropa menegakkan supremasinya sampai ke area fisikal. Dan sepakbola, terutama di awal pertumbuhannya di Hindia Belanda, memang jadi ajang paling meyakinkan guna mempertontonkan supremasi kulit putih itu. Bukan kebetulan juga jika latar waktu novel Bumi Manusia memang sekitar akhir abad-19 dan awal abad-20 – suatu periode yang sejauh saya tahu belum mencatatkan keberadaan kaum bumiputera sebagai pemain bola yang aktif. Masih sebatas menjadi penonton yang terkagum-kagum.
Kelak di tahun 1932, seorang pengurus NIVB [federasi sepakbola untuk orang Eropa] dengan terus terang mencoba melanggengkan supremasi fisikal itu dengan melarang wartawan yang kulitnya berwarna [Tionghoa, Jawa atau Melayu] untuk meliput kompetisi NIVB yang diselenggarakan di Surabaya pada Mei 1932. Larangan itu menimbulkan perlawanan, terutama dari pers Tionghoa, dan menimbulkan “kerusuhan” yang sampai membuat MH Thamrin di Volksraad ikut turun tangan.
Di sini kita bisa kembali kepada Soetan Sjahrir, orang dengan postur kecil dan itulah sebabnya masyhur dengan sebutan “Bung Kecil”. Supremasi kulit putih sampai ke urusan fisik itu tak berhasil membuatnya “minder” sebagaimana terjadi pada Minke. Hampir semua kesaksian tentang bagaimana Sjahrir main bola selalu menggambarkannya sebagai pesepakbola yang gesit, lincah, cerdik dan tak kenal rasa takut --bahkan walau lawan-lawannya adalah orang-orang Eropa dengan fisik yang jauh lebih kekar.

Inilah yang menjadi latar belakang kenapa pada 1937, 1 dekade setelah Sjahrir menyelesaikan AMS-nya, Soeratin membacakan pidato berjudul "Loekisan Djiwa PSSI: Mendidik Ra'jat dengan Perantaraan Voetbalsport". Salah satu kalimat Soeratin yang paling termasyhur --seperti diceritakan Maladi--berbunyi: "Kalau di lapangan sepakbola kita bisa mengalahkan Belanda, kelak di lapangan politik pun kita bisa mengalahkan Belanda."
Sjahrir sudah memberi contoh hampir seabad silam. Lalu kenapa para komentator sepakbola kita masih saja menyebut perkara postur dan tinggi badan tiap kali berusaha menjelaskan kekalahan timnas Indonesia?
===
* Akun twitter penulis: @zenrs dari @panditfootball
Baca artikel sebelumnya:
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 1): Nusantara Bermain Bola
Genealogi Sepakbola Indonesia (Bagian 2): Sepakbola dan Kolonialisme
Politik sebagai Panglima Sepakbola Indonesia
(roz/a2s)