Sepang & Sentul, Saudara Beda Nasib

Sepang & Sentul, Saudara Beda Nasib

- Sport
Rabu, 23 Mar 2005 07:00 WIB
Jakarta - Sirkuit Sepang, Malaysia dan sirkuit Sentul, Indonesia ternyata memiliki banyak kesamaan. Namun mengapa hanya Malaysia yang sukses menggelar GP Formula 1?GP Malaysia telah selesai akhir pekan lalu, dan terbukti tim Renault kembali membuat kejutan dengan menjadi juara lewat Fernando Alonso.Lepas dari masalah kompetisi Formula 1, detikcom yang meliput langsung GP Malaysia memiliki cerita menarik untuk dibagikan dengan pembaca budiman.Tahun ini adalah untuk ketujuh kalinya berturut-turut Sepang menggelar kompetisi Formula1. Namun suasana semarak tetap terlihat dimana-mana. Iklan-iklan GP Malaysia sangat banyak terpampang sejak tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur (KLIA) hingga di sepanjang jalan-jalan kota.Banyak sekali hal yang kita temukan dan membuat kita lupa sedang berada di negara orang. Mulai dari tutur bahasa Melayu yang tidak terlalu sulit untuk dimengerti, macetnya jalanan layaknya kota Jakarta hingga orang-orang yang menyeberang jalan seenaknya.Ketika berada di sirkuit Sepang, kita baru tersadar tidak sedang berada di Indonesia. Terpampang di depan mata bagaimana negara yang memiliki latar belakang budaya yang tidak jauh beda dengan kita, tetapi mampu melakukan sesuatu yang hanya dilakukan oleh 19 negara di dunia.Kenyataan ini membuat kita bertanya-tanya, mengapa Indonesia tidak bisa menggelar F1 seperti Malaysia? Padahal kita punya sirkuit Sentul yang dibangunberdasarkan standar FIA, sejak tahun 1993 atau lebih cepat enam tahun dibandingkan Malaysia.Latar belakang keberadaan kedua sirkuit ini juga tidak jauh berbeda, karena diprakarsai oleh anak mantan pemimpin tertinggi pemerintahan masing-masing. Sepang oleh Dato' Mokhzani Tun Dr Mahatir, sementara Sentul oleh Hutomo Mandala Putra.Lantas apa yang menyebabkan nasib kedua sirkuit berbeda? Sepintas alasan yang terlihat sangat jelas yakni peran perusahaan nasional. GP Malaysia sejak awal didukung penuh oleh perusahaan minyak Malaysia, Petronas. Nama resmi GP Malaysia pun sebenarnya adalah Petronas Malaysian Grand Prix. Namun bukankah Indonesia juga memiliki perusahaan minyak bernama Pertamina? Tidak hanya perusahaan nasional yang terlibat, Malaysia juga menggunakan pembalapnya sendiri yakni Alex Young sejak musim 2001. Meski hanya selama dua tahun, setidaknya Malaysia telah mencatatkan sejarah sebagai negara Asia Tenggara pertama yang memiliki pembalap F1.Kembali lagi ke Indonesia, bukankah kita juga memilikipembalap yang memiliki potensi seperti Ananda Mikola? Prestasi Mikola bahkan masih di atas Alex Yoong saat masih di F3. Namun lagi-lagi, mengapa?Indonesia sebenarnya memiliki kesempatan emas saat mendapat kepercayaan FIA menyelenggarakan GP 500cc tahun 1996. Namun kepercayaan tersebut hanya dua tahunmampu kita pertahankan. Bukannya meningkat ke GP F1, Sentul malah dihapus dari agenda GP 500cc.Sentul tadinya sempat banjir kegiatan internasional seperti Enduro Race, Formula Brabhram dan Asia, Touring, Drag Race hingga Superbaike World Championship. Namun mulai tahun 2000, Sentul bisa dikatakan sepi.Pemerintah kita bukannya tidak memiliki perhatian terhadap Sentul. Tahun 2001 dikeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No.560/MPP/2001, yang menghimbau industri otomotif seperti Mercedez Benz, Suzuki serta Opel untuk menggunakan Sentul sebagai tempat melakukan test drive. Langkah ini hingga sekarang kelihatannya mampu menutupi biaya perawatan Sentul, tetapi sampai berapa lama?Tahun depan India direncanakan akan menjadi tuan rumah baru GP F1. Untuk mengarah ke sana, India telahmempromosikan pembalapnya Narain Karthikeyan yang musim ini bergabung bersama tim Jordan. Semakin sulit dimengerti, mengapa negara yang disebut-sebut lebih miskin dari Indonesia itu mampu melangkah lebih jauh?Sebanyak 19 sirkuit yang diagendakan FIA (Federasi Otomotif Internasonal) bersama Bos FOM (Formula One Management) Bernie Ecclestone, merupakan agenda terpadat sepanjang sejarah F1. Tentunya akan sangat sulit bagi negara baru untuk masuk kalender F1 di musim-musim mendatang. Namun demikian tidak ada kata terlambat untuk maju. Jika tidak berusaha, maka selamanya nasib sirkuit kebanggaan kita itu tidak akan pernah sebaik saudaranya, Sepang. (lom/)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads