Final yang tak disangka-sangka. Tim Uber Indonesia berangkat dengan status partisipan karena hanya menjadi unggulan kelima pada daftar seeding. Tak ada beban khusus yang dipatok PP PBSI kepada tim yang didampingi Susi Susanti sebagai manajer itu.
Tim Thomas-lah yang digadang-gadang untuk jadi juara. Status ungggulan kedua melambungkan harapan publik dan internal PBSI.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memori manis itu terekam baik dalam ingatan Susi setelah berselang lima tahun lamanya. "Tak sedikit yang mempertanyakan kenapa saya mau menerima tugas sebagai manajer. Mereka bilang: bahkan seorang malaikat pun tak bisa membawa tim Uber ini sampai ke final," kata Susi.
Susi bergeming. Keputusannya tak bisa diganggu gugat. Istri Alan Budikusuma itu bertekad membuat tim putri Indonesia tidak seburuk penilaian publik.
Susi pun meninggalkan sejenak kesibukan bisnis dan mengurangi waktu untuk keluarga. Waktunya lebih banyak dihabiskan di pelatnas Cipayung selama persiapan. Kemudian menjadi total bersama tim Uber di Hotel Sultan dan Istora saat kejuaraan bergulir.
Kerja keras dan keyakinan itu membuahkan hasil. "Tim Uber yang menyelamatkan muka Indonesia sebagai tuan rumah. Istora seakan mau rubuh dengan teriakan suporter," kata Susi.
Sejak event itu, demam bulutangkis mulai menggejala kembali. Memang tidak ada data rinci yang menyebutnya. Namun, meningkatnya jumlah penjualan peralatan olahraga yang dimiliki Susi dan Haryanto Arbi—keduanya eks pemain bultagkis yang kemudian memproduksi apparel bulutangkis—menyebut ada kenaikan.
"Dengan adanya prestasi, popularitas bulutangkis turut terdongkrak. Itu otomatis," kata Arbi yang mempunyai merk Flypower itu. "Mereka melihat dan merasakan langsung efek dari hasil positif tim Indonesia," imbuh pemain yang identik dengan smas 100 watt itu.
Fakta itu terekam di masa jaya Arbi. Saat Indonesia berada pada masa keemasan popularitas bulutangkis juga turut terkerek. Tak hanya menjadi santapan pada acara nonton bareng, bulutangkis juga dimainkan di garasi, pinggir jalan, dan area publik lainnya.
Bahkan, sedikit orang tua yang menuntun putra putrinya memilih bulutangkis profesi di masa datang. Para orang tua itu juga seakan kompak memberikan nama anak seperti para pemain idolanya.
Hendra Setiawan, Tontowi Ahmad, dan Gloria Emanuelle Widjaja adalah sedikit pemain yang mendunia lantaran keinginan sang ayah agar mereka mengikuti jejak pemain idola.
Demam bulutangkis juga muncul kembali dua tahun. Anak-anak dan orang-orang tua Desa Salandaka, Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah menjadi gemar bermain bulutangkis. Gelar juara yang dibawa Owi—sapaan karib Tontowi Ahmad—dari All England pada 2012 menjadi pemantik.
Lapangan bulutangkis di depan kediaman orang tua Owi tak pernah sepi sejak sore hingga malam hari. Seolah-olah semua ingin menjadi The Next Owi!
====
* Ayo dukung gerakan #AngkatRaketmu . Website: angkatraketmu.com Twitter: @AngkatRaketmu
(fem/a2s)