Keputusan Li Na gantung raket masih menyisakan sederet kisah. Kali ini, perempuan 32 tahun itu mengungkapkan siapa saja orang-orang yang mempunyai pengaruh besar kepada karier tenisnya.
Li Na mengumumkan menutup karier tenisnya pada 19 September ini. Dia merasa kondisi badan tak sanggup untuk bersaing dalam turnamen level atas. Menjadi pebisnis adalah rencana Li Na ke depan.
Kendati berpamitan dengan meneteskan air mata, Li Na mengaku keputusan itu sudah bulat. Dia yakin tak akan menyesali pilihan itu. Sebab, dia merasa sudah memberikan upaya maksimal dalam menjalani karier di tenis. Apalagi jika kenanganan dia tentang kebencian kepada tenis di masa lalu menguar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua tahun kemudian, salah satu pelatih akademi tenis, Xia Xiyao, melihat Li Na mempunyai lengan yang kuat. Dia pun menyarankan agar Li Na beralih ke tenis. Modal dari bulutangkis menjadi nilai plus bagi Li Na. Li Na tak bisa menolak. Meski pada kenyataannya, Li Na tak pernah menyukai tenis. Dia tetap rindu memainkan bulutangkis.
Tapi, ada satu momen krusial yang akhirnya mengubah pendirian Li Na. ketika usianya 14 tahun, Li Na merasakan kesedihan tak terkira. Ayahnya meninggal dunia karena sakit kardiovaskular. Air mata kehilangan yang mendalam itu diiringi bayangan kesulitan finansial dalam keluarganya.
"Saya berpikir, sebagai perempuan yang sudah besar, kamu harus menjaga bisa menjaga ibu. Saat ayah meninggal saya cuma bisa mikir: satu-satunya peluang adalah kamu harus menjadi pemain yang oke," ucap Li Na seperti dikutip AFP.
Dia pun mengubur kebencian kepada tenis. Sebaliknya dia berlatih mati-matian demi sang ibu, Li Yanping.
"Aku tak pernah bilang yang sebenarnya kepada ibuku apa yang aku rasakan, bahwa ketika itu aku tak menyukai tenis. Yang selalu aku katakan kepada dia: 'Aku menyukai tenis. Aku akan terus menekuni ini," kata perempuan kelahiran Wuhan itu.
"Aku rasa aku tumbuh seperti kebanyakan anak-anak perempuan, tapi aku benar-benar berubah ketika ayahku meninggal dunia. Dialah matahari dalam hidupku dan aku bisa menjadi seperti ini karena dia," ucap perempuan masuk jajaran 100 sosok dunia berpengaruh versi majalah Times.
Tak lama sejak tekad itu dikukuhkan, Li Na sukses menembus timnas tenis China. Dia pun mulai menjajaki tenis profesional. Keputusan besar diambil dengan mendobrak sistem kuno olahraga China. Li Na pun berteru dengan federasi tenis dan media setempat. Suatu kali dia sempat meninggalkan tenis dan masuk bangku kuliah tapi akhirnya kembali ke lapangan.
Beruntung, ada satu sosok penting lain yang berpengaruh besar kepada karier Li Na. Dia sang pelatih Carlos Rodriguez, pelatih asal Argentina yang pernah membesut Justine Henin.
"Dia pernah menanyakan kepadaku, 'Kamu ini pemain yang oke atau seorang juara yang hebat'. Aku bilang, 'Bukankah itu hal yang sama?. Kenapa?'. Kemudian dia jawab, 'Tidak, itu tak sama. Seorang juara harus menjadi juara di manapun, tak hanya di atas lapangan," beber Li Na.
Pertanyaan dan jawaban sang pelatih membuat Li Na makin memahami apay ang dikejar dia. Li Na ingin membuktikan diri bukan sekadar jadi pemain berkualitas. Tapi dia adalah seorang juara.
Kegigihan itu membawa Li Na menjadi petenis tunggal putri terbaik di AsiaDia menjadi petenis pertama Asia yang menjadi juara Grand Slam. Li Na mengoleksi dua titel Grand Slam, Prancis Terbuka 2011 dan Australia Terbuka tahun ini.
Wajar jika publik berduka atas keputusan itu. Dia tak hanya menjadi inspirator China tapi juga dunia. Petenis Rusia Maria Sharapova menyatakan apresiasi mendalam kepada dia.
"Ini sungguh kehilangan besar tenis dunia secara umum dan khususnya China di mana Li Na mempunyai pengaruh yang besar selama bertahun-tahun," kata Sharapova.
"Dia bisa menatap perjalanan kariernya dengan senyum di wajah. Saya rasa setiap orang bangga atas pencapaian dia," jelas dia.
(fem/din)











































