Kalau Anda datang ke Kompleks Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta dari jalan Gatot Soebroto berjalanlah melewati jalan pintu satu. Maka, kira-kira sekitar 1,5 kilometer, tidak lebih dari 15 menit berjalan kaki, di sebelah kanan sampailah Anda ke kompleks lapangan tenis.
Di sana Anda akan menjumpai satu lapangan tenis indoor yang mulai kusam, dua center court, dan 18 lapangan outdoor dengan 12 claycourt dan enam hardcourt. Ada satu ruang sempit di area tennis indoor itu yang digunakan untuk kantor PP Pelti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Sayangnya rekor-rekor itu bikin geleng-geleng kepala saking buruknya. Angelique Widjaja dan Yayuk Basuki, dua mantan petenis top nasional, sampai tak bisa berkata-kata setelah melihat hasil tim putri dalam gelaran Piala Fed tahun ini.
Tampil dalam kejuaraan tenis Piala Fed Grup II Zona Asia-Oceania 2016, Jessy Rompies dkk. hanya finis di urutan kelima. Itu menjadi raihan terburuk sepanjang sejarah bagi tenis putri Indonesia. Ditambah untuk pertama kalinya srikandi-srikandi Merah Putih dikalahkan Malaysia dan Singapura.
Menilik skuat yang ada juga patut dipertanyakan. Pelti menurunkan petenis-petenis yang di antaranya sudah tak aktif menjadi pemain. Lavinia 'Vivin' Tananta sudah beralih profesi sebagai pelatih. Ayu juga sudah istirahat cukup lama usai menikah. Entah karena tak mempunyai stok lagi atau Pelti yang enggan lebih jeli melihat potensi petenis-petenis muda yang ada di tanah air.
Cuma itu? Tidak!
Pada persaingan di Piala Davis, Christopher Rungkat dkk. juga dipermalukan Vietnam di hadapan publik Solo. Laga itu terjadi dalam duel pada Grup II Zona Asia Oceania bulan Maret tahun ini. Hingga mereka harus menjalani laga hidup mati dengan Sri Lanka agar terhindar dari degradasi di Solo bulan Juli nanti.
![]() |
Saking buruknya penampilan Christopher dkk. sampai muncul candaan bernada sarkas: mungkin PP Pelti lebih senang tim Davis main di Zona III atau IV agar tak perlu menjalani pertandingan home and away tapi cuma turnamen di satu negara? Bukankah itu lebih murah buat pengurus?
Sebelumnya Indonesia membuat sejarah buruk di SEA Games 2015 Singapura. Untuk pertama kalinya, tim tenis Merah Putih pulang tanpa membawa medali satupun dari ajang tersebut.
Selain itu, PP Pelti ternyata membuat keputusan-keputusan konyol dalam banyak hal. Di antaranya yang mengemuka adalah menjalankan training camp di Republik Ceko saat winter.
Kabarnya ketika menjalani latihan di Singapura sebagai persiapan menghadapi Davis Cup, pelatih lupa membawa bola.
Kalau percaya dengan kalimat: 'hasil tak pernah mengkhianati usaha', maka bisa jadi rentetan hasil-hasil buruk itu adalah akumulasi kekonyolan-kekonyolan yang dibuat barisan pengurus PP Pelti periode saat ini.
Ketua Umum PP Pelti, Wibowo Suseno Wirjawan yang lebih dikenal dengan Maman Wirjawan yang memimpin roda organisasi 2012-2017, membuat keputusan yang paling gampang untuk menetralkan sorotan masyarakat: memecat pelatih tim Davis, Roy Terik, setelah kegagalan tim Indonesia di Solo itu.
Ya, cuma pelatih. Maman tidak merombak kabinet atau setidaknya mengevaluasi siapa yang memilih Roy Terik sebagai pelatih.
Maman yang merupakan kakak Ketua Umum PP PBSI, Gita Wirjawan, menyebut buruknya sistem olahraga di Indonesia yang juga dianut PP Pelti--dengan membebankan sebuah organisasi kepada individu, yakni ketua umum--menjadi penyebab utama. "Ini sebuah kesalahan struktural yang diamini semua pihak," kata Maman dalam obrolan dengan detikSport.
Maman malah menyelipkan curhatan seolah dia merasa 'diperas' setelah menjadi ketua umum PP Pelti saat dimintai pertanggungjawaban atas hasil-hasil kurang sip itu oleh pewarta.
Beratnya biaya sewa kantor di area GBK, iuran tahunan sebagai anggota ITF, dan dana ini itu yang membebani organisasi (dan kantong pribadinya). Padahal dari mana pemasukan cabang olahraga tenis yang tak meloloskan atlet ke Olimpiade? Dengan stok atlet yang ada (Christopher Rungkat cedera) ke Asian Games saja susah. Begitu sebagian dari curhatan Maman.
PP Pelti seolah memilih kalau prestasi buruk itu wajar adanya dengan pemerintah yang tak membantu itu. Mereka mmilih untuk merobohkan bangunan megah yang pernah dibangun oleh Yayuk Basuki, Bonit Wiryawan, juga Angelique Widjaja, Wynne Prakusya, dan Romana Tedjakusuma.
![]() |
Kalau buruknya prestasi-prestasi itu tak membuat PP Pelti merasa tengah berada dalam situasi genting, tapi tidak dengan keteledoran kali ini. Yakni, ketika mereka membuat kesalahan dengan menandatangani tanda setuju alih fungsi kompleks tenis di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta menjadi stadion bisbol sebagai salah satu persiapan Asian Games 2018.
Saat belum tahu ada pejabat teras PP Pelti yang teken tanda setuju, beberapa komentar menyindir PP Pelti. "Mungkin PP Pelti sudah tidak maksimal memanfaatkan lapangan-lapangan itu, makanya dialihfungsikan menjadi stadion bisbol. Prestasinya kan juga tidak kelihatan."
Tapi, ternyata dalam perjalanannya PP Pelti keberatan dengan apa yang sudah disetujui itu. Mereka amat terganggu dan terlihat 'hidup' lagi dengan situasi itu.
PP Pelti pun mulai menggandeng mantan-mantan pemain, termasuk Yayuk, untuk menolak pembangunan stadion bisbol di tanah mereka. Hingga kemudian Kemenpora dan PPK GBK bersedia menuna alih fungsi lapangan tenis itu.
Semoga saja PP Pelti tidak cuma 'hidup' saat heboh masalah alih fungsi lapangan tenis menjadi stadion bisbol. Tapi, kehebohan itu bisa menjadi alarm kencang yang membangunkan PP Pelti untuk berjuang mempertahankan 'tanah dan bangunan' mereka. Tugas Maman Wirjawan dkk. untuk membuktikan bahwa mereka belum mati dari sisi prestasi.
(fem/nds)