Dua pebulutangkis Indonesia, Agripinna Prima Rahmanto Putra dan Mia Mawarti, mengajukan banding atas hukuman yang diberikan BWF karena match fixing.
Diketahui, BWF telah memutuskan hukuman kepada delapan pebulutangkis Indonesia yang terlibat dalam pengaturan skor dan perjudian. Masing-masing mendapat hukuman yang beragam, mulai dari larangan berkegiatan bulutangkis hingga12 tahun dan denda hingga seumur hidup.
Tiga dari delapan yang dijatuhi hukuman akhirnya memutuskan bertemu dengan PP PBSI untuk meminta bantuan di Pelatnas, Cipayung, pada Senin (11/1/2021). Tiga pemain itu ialah Agripinna, Mia, dan Putri Sekartaji. Mereka diterima oleh Wakil Sekretaris Jenderal, Edi Sukarno S.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari hasil pertemuan, Agri dan Mia memutuskan untuk mengajukan banding ke pengadilan Arbitrase Olahraga (CAS) di Swiss. Sementara Mia tidak. Alasannya, mereka merasa tidak melakukan rekayasa hasil pertandingan maupun berjudi.
Merespons hal itu, Edi mengatakan PBSI tidak akan lepas tangan soal kasus tersebut. Apalagi si pemain meminta perlindungan.
"Karena mereka masih sebagai warga PBSI, maka ketika mereka meminta bantuan dan perlindungan, tentu kita bantu dan dampingi," sebut Eddy, dalM rilis PBSI.
Memori banding tersebut, menurut Eddy, akan dikirim ke Swiss usai ditandatangani pemain.
Agri sendiri mengaku hanya menjadi korban. Pasalnya, dia tidak pernah melakukan pengaturan skor saat di turnamen Vietnam Terbuka 2017 seperti yang dituduhkan.
Menurut dia, saat itu ia hanya mentraktir Hendra Tandjaya makan di restoran cepat saji apabila Dionysius Hayom Rumbaka yang dijagokannya memenangi pertandingan melawan Hashiru Shimono asal Jepang yang saat itu tengah bertanding.
Namun, pilihan Agri tersebut oleh Hendra dimasukkan ke rekening perjudian online yang dimiliki Hendra yang kemudian menjerat Agri.
Sampai akhirnya, BWF memvonisnya dengan hukuman enam tahun tidak boleh berkecimpung di bulutangkis dan denda 3.000 dolar AS.
"Kesalahan saya adalah karena tidak melaporkan terjadinya perjudian tersebut ke BWF. Namun sebagai pemain, saya pun tidak mengetahui kalau tidak melapor itu adalah melanggar Etik BWF. Saya pun tidak tahu harus melapor ke siapa, yang saya tahu, pelanggaran Etik BWF itu hanya soal perjudian saja," tutur Agripinna.
Sementara untuk kasus Mia, dia dituduh karena menyetujui dan menerima uang sebesar Rp 10 juta dari hasil perjudian, tidak melaporkan terjadi perjudian kepada BWF, dan tidak hadir dalam wawancara atau undangan investigasi oleh BWF. Atas kesalahannya itu, Mia diskorsing 10 tahun tidak boleh terlibat dalam pertandingan dan denda 10.000 dolar AS.
"Terhadap hukuman itu, saya mengajukan banding agar Pengadilan CAS membatalkan keputusan BWF," ujar Mia yang kini membela klub Semen Baturaja, Palembang.
(mcy/cas)