Talenta saja tidak cukup untuk mengantar seorang pebalap berlaga F1. Driver juga membutuhkan dukungan sponsor kakap karena terjun ke balapan jet darat yang memang butuh dana sangat besar.
Gambaran nyata betapa besarnya dana yang dibutuhkan untuk masuk F1 bisa dilihat dari apa yang tengah dilakukan Rio Haryanto saat ini. Rio, yang empat tahun terakhir berlaga di GP2 dan menargetkan tampil di F1 musim depan, butuh dana 15 juta euro demi bisa dapat kursi di Tim Manor Marussia.
Rio butuh dana yang lebih besar jika ingin mengendarai mobil yang lebih kompetitif. Dia harus punya dana 25 juta euro untuk memperkuat Force India.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam setidaknya satu dekade terakhir sudah banyak 'pay driver' di F1. Salah satunya adalah Fernando Alonso, yang dikontrak Ferrari karena dia membawa serta Santander sebagai sponsor ke tim asal Italia itu. Di awal kariernya, Michael Schumacher dan Niki Lauda juga merupakan 'pay driver'.
Dengan bakat besar yang dipunya, ketiga pebalap tersebut kemudian berhasil menunjukkan kalau mereka lebih pantas dibayar (digaji) dan bukannya membayar.
Di 2011 Pastor Maldonado dapat dukungan dana 30 juta poundsterling setahun dari perusahaan minyak nasional di Venezuela, kesepakatan yang secara pribadi didukung oleh Presiden Hugo Chavez. Ada juga Sergio Perez yang di-support sepenuhnya oleh pemerintah Meksiko. Juan Manuel Fangio, pemilik lima gelar juara dunia, juga dapat dana dari Pemerintahan Juan Peron.
Meski dapat bayaran, bukan berarti tim mau menerima sembarangan pebalap. Tim-tim F1 menginginkan driver terbaik untuk bisa diturunkan dan bersaing sepanjang musim. Karena itulah hingga saat ini belum ada pebalap Asia yang sukses di F1. Meski sempat ada pebalap dari Malaysia, Jepang dan India, mereka semua masih jauh dari meraih poin, apalagi naik podium.
Maka tak mengherankan kalau tim asal Asia seperti Force India dan Lotus lebih memilih mengontrak pebalap Eropa.
Keberadaan 'pay driver' di F1 bukannya tidak memunculkan pertanyaan. Model bisnis seperti ini dapat kritik.
Namun karena mahalnya 'biaya hidup' mengikuti kompetisi F1 metode ini tetap terbuka sampai sekarang. Tim-tim yang tidak kaya membutuhkan pemasukan tambahan di samping dari sponsor dan hak siar yang sudah disepakati dengan Bernie Ecclestone.
Metode perekrutan kedua yang dilakukan oleh tim-tim F1 adalah lewat pemantauan bakat. Meski GP2 merupakan feeder resmi menuju balapan F1, faktanya ada beberapa ajang balap lain yang menjadi pintu masuk pebalap muda untuk bisa berlaga di ajang balap mobil paling bergengsi tersebut. Sejauh ini Formula Renault, Formula Tiga, Formula BMW, dan Formula Renault menjadi batu loncatan untuk menuju F1.
Mereka yang berprestasi di kompetisi-kompetisi tersebut punya kans besar untuk dipantau dan kemudian ditawari kontrak sebagai test driver atau langsung menjadi pebalap utama.
Ada juga perekrutan melalui program pengembangan pebalap. Di sini pebalap sudah dibimbing sejak usia dini oleh tim top dan terus diasah kemampuannya secara berjenjang. Tapi persaingan untuk mendapatkan tempat di program pengembangan ini sangatlah ketat.
Model perekrutan semacam ini sudah melahirkan banyak driver sukses. Termasuk di antaranya adalah Sebastian Vettel, Daniel Ricciardo dan Lewis Hamilton.
(din/mrp)