Indonesia disingkirkan Thailand di perempatfinal Piala Uber 2018. Pada persaingan Thomas, Indonesia kandas di tangan China.
hasil Indonesia di Piala Thomas dan Uber itu tak sesuai target PP PBSI. Sebelum terbang ke Bangkok PBSI mematok target tim putra bisa juara sedangkan tim putri minimal mencapai semifinal.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerhati bulutangkis, Daryadi, menyoroti kinerja pelatih. Dia menyebut pelatih gagal membuat percepatan regenerasi dari seluruh sektor.
"Ya memang kalau untuk tampil di Piala Thomas memang harus siap semua. Paling tidak, kita punya kekuatan di tiga nomor yang betul-betul menjadi jaminan bahwa dia bisa menjadi andalan meraih poin," kata Daryadi, Senin (28/5/2018).
Daryadi menyebut, di Piala Thomas, Indonesia hanya memiliki satu poin kuat, ganda putra Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon. Sementara, skuat lain masih kalah menang menghadapi lawan yang selevel sesuai urutan partai yang dimainkan.
Baca Juga: Indonesia Gagal di Piala Thomas, Buruknya Fisik Tunggal Putra Disorot
Selain itu, dia menyesalkan sikap PBSI yang melulu menyalahkan pemain. Ada kontribusi pelatih dan pengurus dalam kegagalan itu.
"Coba perhatikan jika Susy Susanti (Kabidbinpres PBSI) bicara selalu evaluasinya pemain. Pelatih juga dievaluasi dong kalau mau fair. Sebab, bagaimana pun pemain jika bertarung itu persiapan segala macam yang menyiapkan adalah pelatih," ujar dia.
"Secara khusus, tunggal, baik putra maupun putri. Kalau ganda kan sudah teruji semua dan hasil ini kan tidak lepas dari peran pelatih," dia menambahkan.
"Ya seperti itu lah dan itu bukan kemauan dia. Ibaratnya, kalau memang butuh ayok. Tapi, harus melihat juga, jika melatih di luar dibayar mahal tapi di negeri sendiri tidak. Kalau negara lain berani bayar mahal kenapa kita tidak mau?" Daryadi menyebutkan.
Pengurus Harus Pikirkan Kesejahteraan Pelatih
Selain menyoroti kinerja pelatih, Daryadi juga menyentil pengurus. Bisa jadi PBSI tak mendapatkan pelatih berkualitas lantaran gaji yang ditawarkan tak disepakati.
"Tapi, harus melihat juga, jika melatih di luar dibayar mahal tapi di negeri sendiri tidak. Kalau negara lain berani bayar mahal kenapa kita tidak mau?" Daryadi menyebutkan.
"Kita negara bulutangkis katanya. Ya pelatih-pelatih itu juga manusia, berani keluar dan meninggalkan keluarganya itu untuk mencari masa depan, supaya ingin punya kehidupan, jadi harus dihargai," dia menambahkan.
"Toh mereka akan berpikir manusiawi dan berpikir untuk masa depan mereka. Kita pernah mendatangkan pelatih asing dari China, bayar tinggi kita mau, tapi gak ada hasilnya. Maksudnya, jika pelatih sendiri (Indonesia) saja bisa membuktikan bagus, kenapa tidak (diambil). Ya, katakan kurang-kurang sedikit dibandingkan luar negeri saya kira mereka mau. Jadi, itu yang saya lihat dan harus dikritisi adalah di pelatihnya. Jika tidak situasinya akan begini terus," dia menegaskan.
(mcy/fem)