Jendi merupakan atlet renang dengan satu kaki. Naas bagi dia, kaki kirinya diamputasi dari pangkal paha.
"Waktu kecelakaan saya dalam kondisi sadar dan yang saya ingat perkataan dokter saat itu kaki tak mungkin diselamatkan lagi dan harus diamputasi. Kalau tidak diamputasi bisa mengancam keselamatan saya karena pada saat itu kondisi tubuh sudah kehabisan darah," Jendi mengisahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jendi yang saat itu berusia 11 tahun awalnya biasa saja dengan kondisi tersebut. Dia malah tak masalah punya satu kaki karena di pikirannya saat itu bisa menggunakan kaki palsu.
Sampai lulus Sekolah Menangah Pertama (SMP) dia baru menyadari bagaimana caranya bisa diterima masyarakat dengan kondisi ini. Belum lagi, psikologis orang tuanya yang semakin hari terpukul
"Saat itu saya tidak kepikiran bakal menjadi anak difabel. Di pikiran saya akan baik-baik saja. Tetapi, ketika melihat ke orang tua terpukul dengan keadaan saya itu. Saya sedih juga dan baru mulai tidak percaya diri justru saat menuju SMA."
"Saya merasa baru sadar 'oh, saya seperti ini sekarang. Ke depan akan seperti apa? Apakah saya bisa diterima masyarakat banyak atau begini terus. Tapi, dari situ saya termotivasi karena ingin memberikan yang terbaik untuk saya dan orang sekitar saya," ujarnya.
Jendi sempat hanya bisa menekuri nasib. Dia mulai berpikir ada keluarga besar dia yang pusing dengan masa depannya. Bahkan, melebihi dirinya sendiri.
Saat dalam masa perenungan itu, Jendi hanya ingin berenang. Sebab, renang sudah menjadi hobi. Dia melakukannya secara rutin untuk bersenang-senang.
![]() |
"Saya kepikiran renang karena saya merasa sudah punya bakat. Waktu kecil kan hobi renang. Alhamdullilah ada pelatih di Palembang. Bapak Dirman, dia punya klub renang Lumban Tirta, dari sana saya minta dimasukkan klub dan akhirnya bisa seperti sekarang," tuturnya.
"Pertama menjadi atlet itu 2009 tapi masih perenang biasa. Ikut perenang remaja dulu dan memang perlu tahap. Belum dapat medali apa-apa. Lamban laun untuk internasionalnya mulai 2013 di Myanmar Asean Para Games. Kalau Pekan Olahraga Paragamesnya dari 2012 karena prestasi bagus dan limit masuk makanya dipanggil pelatnas," dia menambahkan.
Kesempatan dan Kesetaraan
![]() |
Meski hidup dengan keterbatasan bagi atlet kelahiran Sugih Waras, 10 Juni 1991 ini, boleh jadi begitu bersyukur karena mendapat kesempatan sebagai atlet yang merupakan hobinya sejak kecil.
Dia juga saat ini sudah diangkat menjadi pegawai Dinas Pemuda dan Olahraga di Sumatera Selatan meski masih honorer. "Dulu saya belum sempat melamar. Tapi karena menjadi atlet saya diangkat menjadi Dispora Sumsel. Kemarin juga mendapat bonus PNS dari pemerintah setelah mendapat medali emas SEA Games 2017 Malaysia. Ya, semoga cepat direaliasasi," kata Jendi.
Tapi meski demikian Jendi berharap kesetaraan dan kesempatan yang didapatkannya bisa diberikan kepada penyandang disabilitas lainnya. Terutama kesetaraan untuk mendapat kesempatan bekerja maupun menggunakan fasilitas publik.
"Mungkin dari Undang-Undangnya sudah ada dari pemerintah tapi faktanya di lapangan banyak yang belum bisa menerima kami yang seperti ini. Ya harapannya ke depan lebih welcome lah. Tapi untuk olahraga, saat ini pemerintah sudah bagus. Artinya, sudah disamakan dengan olahraga normal. Sementara untuk aksesibilitas masih sangat kurang dan belum memenuhi standar seperti gedung dan jalan," harapnya.
(mcy/fem)