Laura, 19 tahun, sudah memiliki sederet prestasi di kolam renang sejak kecil. Awalnya sih, Laura, yang masih berusia 6 tahun, berlatih renang dengan guru renang untuk terapi asma. Sempat takut dan menangis, lama-lama, Laura nyaman.
"Pengennya setiap hari nyemplung ke air. Kalau enggak renang rasanya ada yang kurang," kata Laura dalam wawancara One on One dengan detikSport.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rutin berlatih dan memiliki kecepatan membuka jalan bagi Laura untuk tampil di kejuaraan di lingkup kota. Waktu itu, dia masih menjadi siswa sekolah dasar.
Prestasi Laura berkembang. Dia bisa menembus persaingan antarkota. Laura meraih medali di ajang itu.
Kemudian, Laura berkesempatan untuk tampil di Pekan Olahraga Pelajar Daerah (POPDA) 2015 di Semarang mewakili Kalimantan Timur.
Di salah satu malam saat mengikuti POPDA itu, Laura, yang lahir di terpeleset di kamar mandi. Dia jatuh terduduk.
"Saat itu saya merasa enggak apa-apa. Besoknya, saya masih bisa lomba. Nah, sebulan kemudian baru ketahuan tulang punggung saya patah dan terlambat penanganan," kata Laura.
Ya, sebulan sejak terpeleset itu, Laura merasakan sakit luar biasa di tulang ekor saat hendak mencium lutut. Dia juga mendengar ada bunyi patah di saat yang bersamaan.
![]() |
"Barulah terasa sakit. Sakitnya luar biasa di bagian paha," ujar perenang yang baru saja berulang tahun ke-19 pada 22 September itu.
Sorenya, Laura dibawa ke rumah sakit. Dia dirontgen.
Dokter bilang paha Laura baik-baik saja. Tidak ada masalah.
Laura menangkap dokter bereaksi dengan menyatakan dia merespons rasa sakit terlalu berlebihan. Padahal saat itu, Laura sudah tak tahan lagi untuk duduk. Berjalanpun dia dibopong.
Pulang ke rumah, Laura terus menangis. Oleh seorang teman, Laura disarankan untuk memeriksakan tulang belakangnya. Benar saja, saat dirontgen, tulang belakangnya patah. Sebagian patahan itu menusuk paha.
"Itu yang bikin paha saya sangat sakit. Aku nangis terus," tutur Laura.
"Sampai di rumah sakit, dokter masih menyiratkan kalau saya lebay. Padahal transfer dari kamar ke mobil itu butuh waktu 40 menit sampai satu jam," ujar dia.
![]() |
Oleh kerabat, Laura kemudian disarankan menjalani pemeriksaan dengan MRI (magnetic resonance imaging). Barulah dengan cara ini, Laura divonis mengalami patah tulang belakang.
Waktu itu, Laura, yang masih duduk di bangku SMA, masih optimistis untuk pulih. Bahkan, dia sempat menyangkal kala diajak untuk bergabung bersama-sama atlet disabilitas. Dia marah.
"Saya marah-marah dong, karena saya bukan difabel. Saya bisa sembuh. Tapi, setelah sekian bulan terapi medis dan alternatif tak membuahkan hasil, mau enggak mau saya harus terima itu," kata dia.
![]() |
Ya mau tak mau Laura harus menerima kakinya tak lagi digerakkan. Dia lumpuh.
Sempat depresi, kini Laura kini bersyukur. Kendati lumpuh, dia tak perlu meninggalkan kolam renang, yang sudah menjadi habitatnya sejak kecil. Dia justru mendapatkan kesempatan demi kesempatan untuk mewakili Indonesia di ajang internasional.
Laura adalah pemilik dua medali emas ASEAN Para Games 2017 Kuala Lumpur. Dia juga pemilik rekor ASEAN Para Games untuk renang gaya bebas putri 100 meter kategori S6, Laura membukukan catatan waktu 1 menit dan 30,27 detik, lebih cepat dari rekor lama 1 menit 30,77 detik.
Urusan akademi juga bisa sejalan. Laura terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
"Sekarang, saya cuma ingin menyelaraskan kuliah dan renang. Saya ingin sosok mendampingi orang-orang yang sakit mental. Saya juga ingin terus berenang sampai tak mampu lagi," ujar dia.
Kini, Laura dan perenang disabilitas Indonesia lain ditunggu ajang yang lebih besar dari level Asia Tenggara. Mereka akan tampil sebagai tuan rumah di Asian Para Games 2018 ketiga di Jakarta mulai 6-13 Oktober.
(fem/fem)