Halim, 33 tahun, menggenggam selembar uang Rp 500. Dia sedang lapar berat.
Tapi, dia tak bisa mengabaikan teman di satu asrama di Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna Bandung, yang juga tengah kelaparan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Waktu itu, Halim memang sering tak punya uang. Dia masih berprofesi sebagai tukang pijat. Pijat tunanetra. Pemasukan pun cuma mengandalkan panggilan.
![]() |
Masa-masa berat itu tak akan luntur dari ingatannya. Tapi, justru dengan pengalaman melewati periode berat itu, Halim merintis jalan menjadi atlet. Dia menyadari penghasilan sebagai tukang pijat pas-pasan.
Halim ingat, saat belum buta total, pernah melihat kantor National Paralympic Committee (NPC) Jawa Barat di seberang asrama tempatnya tinggal. Dari cerita seorang teman, dia pun tahu kalau NPC menjadi tempet menggembleng orang-orang disabilitas menjadi seorang atlet tangguh.
Halim, yang memang doyan berolahraga, pernah berlatih sepakbola di Sekolah Sepakbola (SSB), mendaftar. Dia diarahkan untuk berlatih lari. Pelatih menilai Halim memiliki kemampuan lari yang menjanjikan.
"Saat itu, saya masih jadi tukang pijat. Pagi dan sore latihan, di antara waktu itu saya memijat," kata Halim.
Mendekati Pekan Paralimpiade Daerah 2010, dia pun makin giat berlatih. Mati-matian. Apalagi, statusnya juga sudah tak lajang lagi.
Halim menikahi Komala Sari pada 28 September 2009. Malah, tak lama kemudian istrinya hamil.
Tapi, karena status menikah itu pula, Halim tak bisa meninggalkan profesinya. Agar dapur pengantin baru itu tetap ngepul, Halim tetap menerima order memijat.
"Waktu itu ekonomi dari pijat kurang, gali lubang tutup lubang. Saya terus jalani pijat dan latihan. Setiap habis mijat ke stadion dengan buru-buru sampai hampir tertabrak saat menyeberang jalan, nabrak tiang, nyebur got, semua sudah saya alami. Saya cuma berpikir, yang penting saya harus lolos seleksi," ujar dia.
Perjuangan Halim membuahkan hasil. Dia lolos seleksi dan layak dinilai layak bergabung dengan tim Kota Bandung. Dia turun di lari 100 meter, 200 meter dan lompat jauh. Halim jadi nomor satu di nomor-nomor itu. Prestasinya diganjar bonus Rp 30 juta.
Melihat nominal bonus dan apresiasi masyarakat kepada dirinya yang difabel, yang dulu bahkan pernah dianggap 'kamu bisa apa sebagai tunanetra', Halim pun bertekad untuk bisa menembus persaingan nasional. Hasratnya terwujud.
Halim menjadi bagian atlet disabilitas Jawa Barat, kemudian membuka jalan ke pelatnas. Berada di pelatnas membuat Halim tak bisa menjalani dua profesi. Dia harus memilih salah satu, tukang pijat atau menjadi atlet.
"Dari sisi ekonomi, saya memilih menjadi atlet. Pengalaman yang luar biasa juga saya dapatkan dari sini," ujar Halim.
![]() |
Faktanya, Halim mendapatkan kesempatan membela Indonesia di ASEAN Para Games 2013 di Myanmar. Halim mendapatkan dua emas.
"Tak disangka-sangka saya bisa mewakili Indonesia ke ajang olahraga tertinggi di olimpiade, saya mendapatkan wildcard ke Paralimpiade 2016 Rio de Janeiro. Itu luar biasa," kata Halim yang mengoleksi perunggu Asian Para Games 2014 dan dua emas ASEAN Para Games 2017 Kuala Lumpur itu.
Kini, Halim akan menuju satu ajang prestise lain. Dia menjadi salah satu jagoan Indonesia untuk meraih medali di Asian Para Games 2018 di Jakarta mulai 6-13 Oktober.
Bukan sekadar untuk memperbaiki ekonomi, kini Halim berlari untuk nama Indonesia. Latihan pagi dan sore dijalani dengan penuh semangat. Lari sprint 100 meter, 200 meter, 400 meter menjadi menu sehari-harinya.
"Saya ingin membuktikan difabel itu bisa. Salah satunya, bisa mengharumkan nama Indonesia, meski saya harus berlari dalam gelap," ujar dia.
Baca juga: Jokowi Lepas Kontingen Asian Para Games 2018 |
(fem/fem)