Arianti lahir dengan kondisi tak normal. Mata kirinya dinyatakan buta.
Tapi, kedua orang tuanya tak pernah membedakan Arianti dengan anak-anak sebayanya dan kakaknya. Beberapa kali insiden, seperti salah berbelok atau kecemplung got, tak membuat Arianti mencurigai kemampuan penglihatannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Barulah di usia 8 tahun, Arianti, yang lahir di Denpasar pada 4 Februari 1996 itu, mendapatkan keterangan dari guru dan dokter mata. Itupun sempat disangkalnya.
"Saat pertama kali diberitahu, bahkan bisa dibilang, saya tak percaya kalau saya tunanetra. Saya bingung, saya marah," kata Arianti dalam One on One detikSport.
"Jadi, saya itu terlahir seperti ini, adanya seperti ini, saya kira teman-teman sepermainan saya sama seperti saya, cuma bisa melihat yang kanan saja. Saya tidak tahu kalau mata kiri saya tidak bisa melihat," Arianti menambahkan.
Apalagi, Arianti tak dimasukkan Sekolah Luar Biasa khusus untuk tunanetra saat sekolah dasar. Dia didaftarkan untuk bersekolah di sekolah dasar umum.
![]() |
"Jadi, saya waktu itu di sekolah normal. Memang benar saya di sekolah sering didiskriminasi, baju saya sering dicoret, saya dibilang buta. Tapi, saya tidak peduli. Sampai suatu hari guru saya bilang, kamu ini tunanetra loh. Saya benar-benar kaget," ujar Arianti.
"Saya kemudian tanya kepada ibu. "Bu, apakah saya benar tunanetra?" Waktu itu usia saya 8 tahun. Saya ngedrop dan marah. Saya dibawa ke dokter juga tak percaya. Saya bilang, "Dok, saya ini bisa melihat. Itu meja saya bisa lihat. Saya tak tunanetra kok, saya sama dengan teman lain. Kemudian saya disuruh menutup mata kanan saya. Di sana saya sadar bahwa saya tunanetra," Arianti mengenang.
Arianti baru dapat menerima kenyataan saat dokter merinci kondisinya. Dokter yang memeriksa matanya itu bilang Arianti bukan buta total, namun mengalami gangguan penglihatan. Yakni, pada mata kiri.
Sejak itu, keluarga memindahkan sekolah Arianti ke Sekolah Luar Biasa (SLB). Arianti, yang mendapatkan teman-teman baru, dari low vision hingga buta total, tak bisa langsung menerima.
"Pertama saya tak mau masuk, wah pergolakannya luar biasa, enggak mau sama sekali," ujar Arianti.
Dalam prosesnya, Arianti merasa klop bersekolah di sana. Di SLB itulah Arianti menekuni atletik dan membuka jalan ke pelatnas para-athletic. proses panjang itu membuahkan prestasi di level Asia Tenggara dan Asia.
Arianti baru saja mempersembahkan dua perak dari Asian Para Games 2018. yakni, dari lari 100 meter dan 400 meter T13.
Simak juga video 'Atlet Kharisma Evi Masih Fokus Berkarier di Dunia Olahraga'
(fem/fem)