Rudy langsung menjadi juara dalam debutnya di All England 1968. Sejak itu, dia konsisten menjadi kampiun dalam enam tahun beruntun. Satu kali juara lepas, Rudy kembali menjadi jawara pada All England 1976.
Bagi Rudy, meraih gelar juara tiga kali beruntun yang pertama tak seberat keempat dan berikutnya. Selain mengalahkan kompetitor, Rudy juga harus melawan diri sendiri, mental, usia, dan godaan popularitas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya biasa mandiri kan, tiga tahun pertama tidak ada pelatih, jadi saya tahu mana yang harus dikerjakan," kata Rudy kepada detikSport.
"Tiga tahun pertama itu tidak terasa. Setelah itu, semua berharap kalau saya berangkat, saya juara," ujar dia.
Rudy menyadari tak bisa mengatur ekpekstasi orang lain. Dia hanya bisa mengontrol dirinya sendiri.
"Satu cara untuk menjadi juara dan mengurangi beban itu hanyalah persiapan yang baik sebab mempertahankan lebih sulit ketimbang merebut. Apalagi, mempertahankan berturut-turut. Banyak pemain yang pengen juara juga, ini juara tiga kali lho," ujar Rudy.
"Meskipun saya menjaga mental dan fisik sendiri, namun saat itu, Indonesia memiliki tunggal putra yang sangat banyak. Di delapan besar itu empat ketemu sesama pemain Indonesia, empat lainnya pemain dari negara lain,"kata dia.
Selain dibutuhkan rasa lapar juara, Rudy juga dituntut untuk bersedia mengorbankan turnamen lain. Nah, mengerem keinginan untuk menjadi juara di turnamen selain All England itu bukan perkara mudah.
"Namanya tidak mau kalah itu selalu ada. Apalagi, saat sudah sampai final, maunya juara. Nah, bagaimana mengontrol ini, apalagi sekarang ada hadiahnya," kata dia. (fem/din)