“Setiap dongeng butuh penjahat yang bagus. Kau membutuhkanku, atau kau takkan berguna. Karena kita sama, kau dan aku.”
Kalimat di atas adalah ucapan perpisahan James Moriarty kepada Sherlock Holmes – dua musuh abadi yang saling membutuhkan—dalam novel detektif Sherlock Holmes ciptaan Sir Arthur Conan Doyle.
Apa yang diucapkan tokoh antagonis James Moriarty ini mirip-mirip seperti hubungan antara Real Madrid dan Barcelona. Meski sama-sama membenci, keduanya butuh satu sama lain. Meski senang melihat lawannya terpuruk, sebenarnya mereka butuh agar musuhnya kuat karena kisah persaingan yang sengit hanya bisa lahir dari lawan yang seimbang, sama-sama kuat, dan saling mengalahkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebencian Abstrak untuk Mendongkrak Keuntungan
Barca sering kali memposisikan diri mereka sebagai sesosok David yang sedang melawan Goliath. Sikap ini juga yang kerap diamini oleh para pemain Barca. "Catalunya adalah negara dan Barcelona adalah tentaranya. Real Madrid adalah musuh terbesar kami " ucap Sir Bobby Robson, eks Pelatih Barcelona.
Robson sebenarnya seorang Inggris yang disegani dan selalu berhati-hati saat berucap. Tapi komentarnya seolah membuktikan bahwa nasionalisme Catalunya memang telah menempel dalam diri setiap pemain, ofisial, ataupun pelatih Barcelona.
Ini juga yang terjadi dengan Hristo Stoichkov. Kepada Franklin Foer, sebagaimana diceritakan dalam buku “How Soccer Explains The World”, saat ditanyai tentang rivalitas antara Barcelona dan Madrid, Stoichkov malah memberikan jawaban lebih keras lagi. “Saya akan selalu membenci Real Madrid. Lebih baik bumi terbelah dan menelan saya, ketimbang harus menerima kerja dengan mereka. Membicarakan Real Madrid membuat diri saya ingin muntah,” ucapnya.
Stoichkov adalah pemain paling populer di Barcelona. Ketenarannya bukan hanya berkat permainannya di lapangan, tapi juga karena kelantangannya mengkampanyekan ideologi Katalunyaisme yang selalu ia banggakan.
Ya, saat membicarakan rivalitas itu, Barca selalu memposisikan diri mereka sebagai yang tertindas. Sejarah lama kekejaman Jenderal Franco pada kakek-nenek mereka juga sering diungkap-ungkap kembali.
Sikap dan ucapan-ucapan tersebut memang dapat dimengerti. Tindakan represif yang dilakukan Franco dengan membabat habis kebudayaan bangsa Catalunya tentu sebuah tindakan yang tak bisa ditolerir. Belum lagi jika bicara masalah perseteruan Catalunya dan Kastilia terkait pemerataan uang antara pusat dan daerah, serta bagaimana Catalunya yang diperah bagi kumpulan tuan tanah di kota Madrid (baca tulisan: Barcelona dan Pemberontakan yang Tak Pernah Selesai).
Tapi, pada saat zaman keditaktoran Franco telah usai dan Catalunya mendapatkan otonomi daerah dan bahkan selalu lebih dimanjakan ketimbang daerah lain, apakah yang dilakukan Barcelona ini masih relevan?
Franklin Foer, yang secara terang-terangan mengaku sebagai fans Barcelona dan menuliskan El Clasico pada bab khusus dalam buku "How Soccer Explains The World", pun mengakui kelemahan argumen ini.
Ia menuturkan bahwa dalam kemakmuran era demokratis zaman sekarang, orang Catalunya tak punya basis objektif untuk merasa ditindas. Kebencian mereka terhadap Madrid hanyalah kebencian berbentuk abstrak. Mereka hendak merasakan apa yang diderita ayah dan kakek mereka di bawah tirani Madrid -- tewas dalam perang saudara dan tak boleh menuturkan bahasanya sendiri. Tapi, kejadian itu tentu ada pada masa lalu.
Simon Kuper dalam buku “Football Against The Enemy” juga memapaparkan sedikit tentang fenomena ini.
Menurutnya, lewat sebuah derby bertajuk El Clasico cerita-cerita penindasan Franco terus diulang-ulang. Lewat itu juga paham “Katalunyanism” mulai menyebar ke seantero dunia. Panji-panji Estelada (bendera kemerdekaan Catalunya) berkibar di mana-mana sebagai bukti dukungan pada Barca. Laga El Clasico pun dijadikan sebagai alat propaganda efektif. Hal ini bahkan diakui oleh Joan Laporta, sang mantan presiden Barca.
Keuntungan dari El Clasico Untuk Membiayai Los Galacticos
Orang-orang di Madrid tak mau diam tentang sikap para Catalan ini. Mereka berpendapat bahwa orang Catalunya selalu sesumbar di mata dunia tentang Catalunya yang jadi tumbal. Ini dilakukan agar bisa memeras pemerintah pusat dan federasi sepakbola Spanyol untuk memberikan keuntungan kepada mereka.
Saat ini, Catalunya adalah salah satu daerah terkaya di Spanyol. Tahun 2012 lalu pun mereka menuntut untuk segera merdeka dari Spanyol karena uang pajak mereka digunakan untuk mensubsidi wilayah-wilayah lain yang miskin. Cerita tentang pemberontakan dan kesengsaraan Catalunya adalah alat politik untuk menekan Madrid sembari mencari simpati dunia agar mendukung kebijakan-kebijakan politik mereka.
Meski mengeluh tentang Barca yang cari simpati, Madrid pun sebenarnya senang membudayakan tentang rivalitas El Clasico. Mereka juga bangga dengan kearoganannya terhadap Barca. Tindak-tanduk Los Blancos yang menyalip pemain-pemain yang hendak berkostum Barca adalah buktinya. Muai dari zaman Alfredo Di Stefano hingga David Beckham.
Sampai saat ini, tak pernah ada ucapan maaf secara tertulis yang terlontar dari pihak Madrid atas segala tindak tanduk kelicikan yang mereka lakukan pada era Franco.
Richard Fitzpatrick dalam buku “El Clasico": Barcelona v Real Madrid: Football's Greatest Rivalry” menjelaskan sebuah analisa menarik tentang rivalitas El Clasico, yang sebenarnya hanyalah rekaan kedua pihak. Kebencian yang dimanipulasi.
Fitzpatrick mengatakan bahwa panasnya El Clasico baru terasa pada tahun 1990-an, atau saat John Cruyff melatih Barcelona dan menjadikannya sebagai salah satu kekuatan di Eropa. Sebelum itu, Madrid lebih merasa musuh terberat adalah rival sekota mereka Atlético Madrid.
Fitzpatrick juga menemukan data menarik tentang rivalitas El Clasico yang terus dipupuk Madrid. Hal itu terjadi karena persaingan Barca-Madrid malah membuat jumlah pendukung El Real meningkat. Perseteruan itu dibuat sengit sehingga membuat Spanyol terbagi menjadi dua. Dan hal itu cukup sukses untuk meningkatkan jumlah suporter baik untuk Madrid ataupun Barca.
“Penggemar sepak bola di seluruh Spanyol akan mendukung tim lokal mereka, tapi juga akan mendukung hanya salah satu dari Barcelona atau Real Madrid. Saya bahkan keheranan ketika saya menemukan bahwa lebih banyak orang mendukung Real Madrid di Sevilla ketimbang mendukung Sevilla atau Real Betis,” tulisnya.
Begitu pula dengan Blaugrana yang meraup keuntungan. Siapa bilang Barcelona merepresentasikan Barca? Ada banyak penggemar sepakbola di daerah sana yang tidak mendukung Barca. Para pendukung Espanyol, misalnya. Hal yang mengagetkan dari 7,5 juta jiwa penduduk Catalunya, satu juta diantaranya adalah fans Madrid.
Tapi, ketika pasar yang bernilai puluhan juta euro itu tercipta dan terbelah jadi dua, maka dengan mudah klub, media dan tv melakukan propaganda karena mengeksplotasi emosi suporter memang lebih mudah dilakukan dengan menjual rivalitas.
Elliot Turner dalam buku “Real Madrid and Barcelona The Making Of Rivalry” menegaskan bahwa televisi adalah urat nadi kedua tim saat ini. Televisi pula yang mengontrol sedemikian rupa agar drama ini benar-benar dinikmati dan dikhayati oleh penonton. Terbukti, dengan rivalitas Barca-Madrid sebagai salah satu faktor utama, keduanya pada musim 2012-13 mampu meraup uang senilai 188 juta euro dari hak siar televisi.
Coba bayangkan jika salah satu dari Madrid atau Barca tergelincir ke divisi bawah. Akankah mereka mampu menarik uang televisi sedemikian banyak? Akankah banyak yang mau menonton liga yang isinya hanya tentang satu tim besar mengalahkan tim-tim kecil setiap minggunya?.
Maka dijual-lah drama berlatar belakang politik, sosial, dan ekonomi, dalam laga bertajuk El Clasico. Padahal, pertandingan yang konon katanya panas ini kadang mirip seperti Pseudo Derby – jarang didengar kedua fans terlibat bentrok seperti derbi-derbi lainnya.
Oleh karena itu, membicarakan El Clasico sebenarnya kita seolah menceritakan tentang sebuah klise yang berbentuk ilusi. Sebuah drama rekaan yang dibuat sedramatis mungkin hingga kini menjelma jadi salah satu rivalitas terbesar dalam sepakbola, bahkan dalam dunia olahraga. Bertindak sebagai pusat drama ini adalah Madrid dan Barcelona, yang masing-masing telah dipaksa mengambil peran sebagai hero dan anti-hero.
Tapi, apapun perannya, James Moriarty sesungguhnya benar. Bahwa setiap dongeng membutuhkan penjahat dan pahlawan yang bagus. Barca membutuhkan Madrid, dan Madrid pun membutuhkan Barca. Atau, drama ini tak akan berguna.
(rin/a2s)