Argentina wajib menggelar Piala Dunia di tahun 1978. Keputusan itu sudah ditetapkan oleh FIFA sejak 1966, saat itu Argentina masih dipimpin Isabel Martinez de Peron, yang meneruskan jabatan suaminya, Juan Peron.
Tiba-tiba roda politik di Argentina berubah drastis, kekuasaan pun jatuh ke tangan Jenderal Jorge Rafael Videla (1976-1981). Rakyat Argentina tertekan dan dihantui teror. Mereka yang berani-berani menentang pemerintah bakal bermasalah atau berakhir hidupnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Kemegahan Stadion untuk Piala Dunia di Rusia |
Berdasarkan sumber dari kelompok pegiat HAM yang dimuat ulang oleh BBC pada 2013, ada 30.000 orang tewas dan dihilangkan. Rasa khawatir dengan suksesnya Piala Dunia pun perlahan mulai muncul.
Belanda berulang kali mengancam akan memboikot Piala Dunia. Sementara itu, Johan Cruijff menolak untuk memperkuat Belanda. Ada kabar pula yang menyebut bahwa dirinya sudah mendapat ancaman dari militer Argentina.
Tapi, Videla justru menggunakan Piala Dunia untuk mengubah citranya menjadi lebih baik. Dia ingin pesta sepakbola terbesar di dunia itu dibuat sesukses mungkin, bahkan jika perlu Argentina yang menjadi juaranya.
Di tengah hiruk-pikuk Piala Dunia, kelompok oposisi berusaha mencari cara agar sepakbola bisa menyampaikan pesan atas apa yang terjadi di Argentina, bukan suatu protes. Tapi, pesan yang ingin disampaikan kepada dunia tidak bisa secara terbuka demi meminimalisir risiko ancaman militer.
Ezequiel Valentini, yang terlibat dalam membuat lingkaran hitam di tiang gawang mengatakan bahwa itu adalah upaya pengingat.
"Itu bukan protes. Sebaliknya, mereka adalah bentuk pengingat. Semua orang tahu seseorang telah menghilang. Semua staf ingin protes. Sekarang para Ibu sedang berbaris di Plaza de Mayo dan kami tahu dunia sedang menyaksikan," kata Ezequiel seperti dikutip dari The Guardian.
"Kami berdiskusi untuk mengukir pesan di rumput, atau mengecat pesan di papan iklan, sesuatu yang bisa dilihat oleh kamera TV."
Baca juga: Serba Pertama di Piala Dunia Meksiko 1970 |
Pada akhirnya opsi-opsi tersebut tidak dijalankan. Semua aksi itu dianggap hal yang berisiko besar bisa diketahui dan tak menutup kemungkinan nyawa pelakunya akan melayang.
Tapi, pikiran untuk tetap menyampaikan pesan kepada dunia tak berhenti begitu saja. Seorang rekan Ezequiel mengemukakan gagasan untuk menggambarkan negara tersebut berduka cita.
Mereka memutuskan bahwa tiang gawang akan menjadi pengganti tempat terpasangnya ban hitam di lengan. Mereka pun harus mempresentasikan gagasan itu kepada para jenderal.
![]() |
"Mereka (jenderal-jenderal) bertanya apa gunanya ban hitam? Kami memberi tahu mereka bahwa itu tradisi. Mereka tidak mengerti tentang sepakbola," sambung Ezequiel, yang saat itu bersama rekannya membodoh-bodohi jenderal.
"Ribuan orang hilang, diduga tewas. Bahkan saat ini tidak mungkin untuk mengatakan secara pasti siapa dan berapa banyak yang dibunuh oleh junta. Itu (ban hitam) sudah cukup untuk diingat di depan umum," sambung Ezequiel.
Pada akhirnya semua sisi bawah gawang dicat hitam. Tak ada satupun gawang di seluruh stadion tuan rumah terlewatkan dari cat hitam di bagian bawah.
Di akhir perhelatan, Argentina keluar sebagai juara dunia untuk pertama kalinya. Tim Tango mengalahkan Belanda 3-1 di laga final lewat dua gol Mario Kempes dan Ricardo Daniel Bertoni. Sementara gol Belanda dicetak oleh Dirk Jacobus Willem Nanninga.
Tonton juga: Skuat Argentina di Piala Dunia 2018 tanpa Icardi
(ran/ran)