Cerita Pedih Seorang Edgar Davids
Sabtu, 26 Mar 2005 22:43 WIB
Den Haag - Edgar Davids, gelandang tengah nan memukau itu, seperti hilang ditelan bumi. Marco van Basten juga tak merasa membutuhkannya di Oranje. Inikah akhir karir Davids?Bertahun-tahun ia menjadi diesel lini tengah Oranje. Menjelajah tak kenal lelah, bertahan, merebut bola, lalu tancap gas melakukan akselerasi, menyerang. Kibasan rambut gimbalnya, kacamatanya yang tiada dua, ledakan emosinya. Kemanakah ia?Davids (32) seperti muksa, hilang dari panggung perhatian dunia. Petaka ini berawal dari kepergiannya ke Internazionale. Seandainya Tuhan berkenan memutar ulang bola waktu dunia, Davids barangkali ingin memintanya, untuk melesat keluar dari klub derby AC Milan, yang telah menenggelamkan dirinya seperti misteri segitiga Bermuda. Orang tahu Davids ke Inter, tapi setelah itu... wush, hilang ia.Masih hidupkah Davids? Fisik mungkin iya, namun mental ia telah mati. Bayangkan, umurnya kini telah 32, termasuk uzur di dunia sepakbola, namun kesempatan berlaga tak kunjung diberikan. Bos Inter, Massimo Moratti, dikabarkan belum lama ini menghibur Davids, "Edgar, kamu tahu hidup memang misteri. Bisa jadi saat ini kamu tidak pas dalam perencanaan pelatih, namun selanjutnya kamu setelah dua kali duel bisa menjadi amat penting."Pada laga Inter di Liga Kampiun lawan Porto (15/3/2005), pelatih Roberto Mancini nampaknya hendak memberi kesempatan kepadanya. Ia dipanggil, namun dalam latihan terakhir kakinya terkilir. Davids mengutuk dan Mancini kembali menendangnya ke jurang anonimitas. Minggu lalu dalam duel Seri A lawan Fiorentina, Davids malah tidak nampak dalam deretan pemain. Inikah ajal Davids di dunia sepakbola?Tak mudah memang mengurai apa yang sedang dihadapi pemain yang dibaptis Louis van Gaal, pelatih yang membesarkannya di Ajax, dengan julukan Pitbull, ras anjing berbahaya yang dilarang dipiara dan dibiakkan di Belanda. Dengan julukan itu Van Gaal hendak mendekatkan karakter permainan Davids yang membahayakan bagi tim lawan. Davids sendiri memiliki karakter cukup temperamental dan memiliki memori buruk dengan kota Milan. Pada 1996, dirangsang oleh kisah sukses trisula Gullit-Rijkaard-Van Basten, Davids menukar Ajax dengan AC Milan. Namun yang didapat justru pengalaman menyakitkan pertama dalam karirnya. Milan saat itu sedang didera instabilitas. Klub tersebut sedang morat-marit dari dalam. Davids lalu terlibat dua kali adu jotos dengan Alessandro Costacurta, satu kali di kamar ganti, lainnya di jalan, disaksikan Paolo Maldini. Bahkan dengan pelatih Fabio Capello ia hampir meledakkan perang.Akhirnya atas advis Capello, klubnya Berlusconi itu memutuskan menjual si Pitbull Davids pada Desember 1997. Van Gaal yang ketika itu menukangi Barcelona ingin memilikinya kembali, namun ia kalah cepat dari Juventus. Sejak itu Davids merasa menemukan dirinya kembali dan merasa tenang dalam dekapan Sang Nyonya Tua dari Turin tersebut. Ia merajalela dan menyumbang 3 titel kampiun Italia bagi Juve dan berulang kali membawa Juve masuk final dan juara Liga Kampiun. Di Juve, Davids berteman akrab dengan Zinedine Zidane, play maker yang saat itu disembah gibol sedunia, dan itu terefleksi pula di lapangan. Menurut analisa komputer Pro Zone, 90 persen umpan Davids mencapai kapten timnas Prancis itu. Duo mereka di lini tengah tidak tertaklukkan. Kenyataan itu membuat Capello menyesal tak kepalang, "Setiap orang kadang membuat perhitungan yang keliru. Satu dari kesalahan saya adalah menyarankan untuk menjual Davids. Davids mekar menjadi kampiun dunia. Dalam posisinya dia adalah pemain terbaik dunia," sesal Capello.Bos pabrik mobil Fiat dan pemiara Nyonya Tua, Gianni Agnelli, adalah salah satu pengagum berat Davids dan selalu menyebutnya dengan Ksatria Berkacamata. Sementara pers Italia banjir ungkapan memuja Davids, "Dia pemain universal', 'Maestro penekan yang tak kenal lelah', 'Protagonis dari akselerasi nan menghancurkan', dll.Hingga... datanglah Carlo Ancelotti menggantikan Marcello Lippi. Juve guncang, hingga akhirnya Ancelotti dipecat dan Lippi dipanggil kembali. Zidane dibajak Real Madrid. Perubahan besar terjadi di rumah Nyonya Tua ini. Davids memasang taktik hendak menghabiskan kontraknya hingga 2004, kemudian dia bebas transfer dan bisa memilih klub mana suka. Juve mencium siasat ini. Dia lalu disewakan ke Barcelona. Rijkaard dengan senang hati menerima Davids untuk lini tengah Barca. Berkat rutinitas di Katalunya itu pula, Davids tetap perkasa menempati posisinya di Oranje. Selalu di basis, bahkan selama Euro 2004 di Portugal. Tempatnya tak tergantikan, kecuali cedera atau sanksi menghalanginya.Davids ingin menghabiskan sisa karirnya di bawah asuhan Rijkaard di Barca. Sayangnya klub itu hanya berani memberi bayaran yang bagi Davids kurang menarik. Pilihan akhirnya jatuh ke Inter. Namun langkah itulah yang justru menenggelamkan dirinya. Ia seperti masuk kubur dan mungkin tak akan pernah bangkit lagi.Bahkan Marco van Basten tak memanggilnya ke timnas. Alasannya simpel: tak pernah main, tak punya ritme. Tempatnya di Oranje kini ditongkrongi Danny Landzaat. Jika Davids ingin hidup lagi dan berpeluang dipercaya Van Basten untuk Piala Dunia 2006, dia harus secepatnya hengkang dari Inter. Agar ritmenya bisa kembali, selincah dan segarang seekor Pitbull lagi. (es/)