Pemerintah Qatar Bantah Eksploitasi Pekerja Piala Dunia 2022

Pemerintah Qatar Bantah Eksploitasi Pekerja Piala Dunia 2022

Yanu Arifin - Sepakbola
Rabu, 17 Nov 2021 15:20 WIB
Jelang Piala Dunia 2022, Qatar Siapkan Deretan Stadion Mewah Ini
Kuli stadion Piala Dunia 2022. (Foto: Getty Images)
Doha -

Para pekerja imigran, yang mempersiapkan gelaran Piala Dunia 2022, dilaporkan tereksploitasi. Pemerintah Qatar membantahnya.

Laporan Amnesty International bertajuk Reality Check 2021, memaparkan kondisi para pekerja imigran di Qatar, yang sedang mempersiapkan gelaran Piala Dunia tahun depan, tepatnya mulai 21 November-18 Desember 2022. Dalam laporan setebal 48 halaman, menyebut para pekerja terperangkap dan tereksploitasi.

Dalam laporannya, para pekerja rupanya masih tidak bisa berganti pekerjaan, meski sistem perburuhan kafala terus direvisi. Sistem kafala atau sponsorship itu membuat posisi buruh berada di bawah majikan, yang bertanggung jawab atas visa dan status hukumnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sistem itu membuat para pekerja yang kurang terdidik harus mendapat izin dari majikannya jika ingin pindah kerja atau meninggalkan Qatar. Sistem yang mengekang betul kebebasan pekerja.

Dan menurut laporan Amnesty International, masih banyak pekerja yang tetap tak bisa meninggalkan Qatar, bahkan kena denda dari majikannya mencapai 6 ribu Riyal Qatar, atau sekitar Rp 23,5 juta. Laporan soal tewasnya kuli stadion juga masih ada.

ADVERTISEMENT

"Kepuasan diri yang jelas oleh pihak berwenang membuat ribuan pekerja terus menghadapi risiko eksploitasi oleh majikan yang tidak bermoral, dengan banyak yang tidak dapat berganti pekerjaan dan menghadapi pencurian upah," kata Mark Dummett, Direktur Program Masalah Global Amnesty, kepada Guardian.

"Mereka memiliki sedikit harapan untuk pemulihan, kompensasi atau keadilan. Setelah Piala Dunia, nasib para pekerja yang tetap di Qatar akan semakin tidak pasti," jelasnya.

Laporan itu kemudian dibantah keras Pemerintah Qatar. Dalam pernyataannya, Qatar menyebut banyak pekerja yang sukses berganti pekerjaan dan mendapat kompensasi yang lebih besar.

"Amnesty gagal mendokumentasikan satu cerita dari 242.870 pekerja yang telah berhasil berganti pekerjaan, sejak penghalang dihapus pada September 2020, atau dari lebih dari 400 ribu pekerja yang mendapat manfaat langsung dari upah minimum baru melalui kenaikan gaji dan insentif keuangan lainnya," kata pernyataannya.

"Qatar tidak pernah menghindar dari mengakui, bahwa sistem tenaga kerjanya masih dalam proses," tambahnya.

"Pemerintah berkomitmen untuk terlibat secara kolaboratif dan konstruktif dengan mitra dan kritikus internasional, untuk lebih meningkatkan standar bagi semua pekerja migran di Qatar," jelas Pemerintah Qatar, seperti dilansir Reuters.

(yna/krs)

Hide Ads