Jas Merah: Menyelamatkan Kisah-kisah Sepakbola Nasional yang Tercecer

Jas Merah: Menyelamatkan Kisah-kisah Sepakbola Nasional yang Tercecer

- Sepakbola
Minggu, 28 Sep 2014 13:42 WIB
Jas Merah: Menyelamatkan Kisah-kisah Sepakbola Nasional yang Tercecer
Jakarta -

Judul buku: Jas Merah, Sisi Lain Sepak Bola Nasional
Penulis: Dedi Rinaldi, Arief Natakusumah, Broto Happy, dkk.
Penerbit: PT Tunas Bola
Edisi: I, April 2014
Tebal: 242 halaman
Harga: Rp. 75.000

====

Buku Jas Merah: Sisi Lain Sejarah Sepak Bola Nasional dibuka dengan cara yang kurang meyakinkan: menyebut jurnal yang ditulis seorang pegawai Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) pada 1870 sebagai (bisa jadi) laporan pertama yang menyebut keberadaan sepakbola di Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti yang sudah saya tulis setahun lalu dalam esai berjudul "Nusantara Bermain Bola", keberadaan permainan yang menyerupai sepakbola sudah jauh lebih lama dari itu. Dan kesaksian tertulis tentang permainan macam itu pun sudah ada ratusan tahun sebelum 1870.

Marcopolo sudah mencatatkan kesaksiannya bahwa orang-orang di kawasan Asia Tenggara, juga di Nusantara, sudah banyak yang bermain sepakbola [atau sepakraga] dengan menggunakan rotan. Saat itu sepakraga dimainkan oleh sekelompok orang dalam posisi melingkar, satu sama lain menyepak sebuah benda [semacam bola] di udara.

2,5 abad sebelum pegawai NHM itu menuliskan kesaksiannya, naskah Sejarah Melayu yang kelar ditulis pada 1612 juga sudah mencatatkan keberadaan permainan ini. Pada naskah itu disebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sultan Alauddin pada abad 13 [1477-1488] termuat adegan di mana bangsawan Maluku mempertontonkan kebolehannya bermain sepakraga saat mengunjungi Malaka.

Referensi yang kurang kaya itu tertulis di halaman pembuka dan kekeliruan berlanjut di halaman berikutnya, lagi-lagi saat menguraikan kesaksian seseorang yang menyaksikan sepakbola. Dengan merujuk buku Gedenksriften van een Oud-Koloniaal, penyusun buku ini menyebutkan bagaimana sepakbola telah dimainkan para mahasiswa kedokteran asal pribumi di Waterloo Plein pada 1892. Penyusun menambahkan bahwa sudah tentu mahasiswa itu sekolah di School Ter Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA).

STOVIA belum ada pada 1892, tapi baru muncul pada 1898. Sebelumnya hanya ada School tot Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen atau masyhur disebut sebagai Sekolah Dokter Jawa. Sekolah Dokter Jawa ini belum menyediakan kurikulum yang memungkinkan sekolah itu disebut sebagai institusi pendidikan tinggi, dan karena belum meluluskan seorang dokter, melainkan masih setingkat paramedis.

Pola-pola kekeliruan macam ini terus berlanjut tiap kali para penyusun buku ini mencoba menceritakan konteks ekonomi, sosial dan politik. Buku ini bisa dibilang terbagi ke dalam dua bagian besar. Bagian pertama mengisahkan konteks bagaimana sepakbola muncul, dikenal dan akhirnya populer di Indonesia. Sementara pada bagian kedua menyodorkan beberapa episode yang dianggap penting dan menarik dalam sejarah sepakbola Indonesia.

Nah, pada bagian-bagian yang mencoba menyodorkan konteks inilah berbagai kekeliruan, dari kekeliruan konseptual sampai teknis mudah ditemukan. Saat merujuk data soal lapisan sosial para pemain sepakbola di Belanda (hal. 24), para penyusun membaginya (dengan mengutip begitu saja) ke dalam turunan borjouis, middle-class dan lower-class. Apa yang dimaksud dengan "turunan borjuis" di situ? Apa bedanya borjuasi sebagai sebuah kelas dengan middle-class? Andai menyempatkan diri untuk membuka kamus umum Marxisme, misalnya, maka kekaburan konseptual ini mudah saja dihindari.

Inilah yang menyebabkan bab berjudul "Karakter Di Tangan Poros Politik" terasa lebih banyak jargonnya ketimbang argumentasinya.

Bab yang menguraikan sepakbola di era Sukarno sebenarnya berpotensi menjadi bab paling menarik. Saya sangat menghargai upaya para penyusun untuk menghadirkan dinamika sepakbola di tahun 1950-1960an sebagai cerita yang tak bisa dipisahkan dari konteks sosial, ekonomi dan politik.

Ini memang tak terhindarkan. Malah aneh kalau tidak dilakukan. Hanya saja pemahaman yang terbatas mengenai konteks sejarah politik, sosial dan ekonomi membuat bab itu rentan mengalami "kebocoran" di mana-mana.

Istilah-istilah seperti sosialisme, komunisme, welfare state, atau blok Timur bertebaran di banyak paragraf untuk menjelaskan langgam politik dan ideologi kepemimpinan Sukarno, tapi rasa-rasanya seringkali diletakkan secara agak gampangan.

Simak paragraf ini (hal. 58): "Sebuah ciri yang khas dari sosialisme adalah pendekatan welfare-state di mana kapitalisme bisa dikontrol tanpa harus menghancurkannya. Indonesia kemudian tidak ragu mencontoh pada negara-negara 'satu pemikiran' seperti Uni Soviet dan Yugoslavia."

Jelas membingungkan mencoba memahami bagaimana Indonesia mencontoh soal welfare-state dari Soviet. Ada jarak yang tidak bisa dibilang dekat antara konsep welfare-state dengan komunisme (yang dipraktikkan secara keras di Soviet).

Jangan heran juga jika bab ini dibuka oleh paragraf yang sudah memuat kalimat bernada blasphemy seperti ini: "Sosialisme memiliki dua sisi. Buruk secara politik, namun bermanfaat bagi pengembangan visi sepakbola."

Boleh-boleh saja menyimpulkan "sosialisme itu buruk secara politik", tapi simpulan tanpa argumentasi itu menjadi sebentuk jargon untuk propaganda politik yang kanan. Dan itulah duduk soalnya: di situ tak ada argumentasi, tak ada penjelasan.

Hal-hal demikian itu relatif mudah ditemukan di buku ini, terutama pada bagian-bagian yang mencoba mengaitkan sepakbola dengan konteks sosial, ekonomi dan politik.

Secara acak bisa saya ambilkan contohnya: "Etnis Cina saat itu menjadi 'idola' Sang Praklamator" (hal. 55) atau "Penunjukan R. Maladi sebagai Ketua Umum PSSI pada 1950 juga dinilai untuk melicinkan kekuatan poros Jakarta-Beijing pasca Perang Dunia" (hal. 54).

Kalimat-kalimat itu ringkih benar (atau malah nyaris tanpa) argumentasi historisnya. Menganggap Maladi jadi Ketum PSSI pada 1950 terkait dengan poros Jakarta-Beijing juga hiperbola yang mengabaikan pasang surut dinamika Jakarta-Beijing di tahun 1950an, yang tak bisa dilepaskan dari posisi Moskow sebagai pemain politik yang lain.

Tak ada argumentasi kapan Jakarta mulai meninggalkan Moskow dan kapan poros Jakarta-Peking menguat. Jika itu dijelaskan, akan sulit mengaitkan Maladi jadi Ketum PSSI tahun 1950 dengan Poros Jakarta-Peking yang baru menguat di akhir 1950an.

Mengaitkan pilihan PSSI pada pelatih Choo Seng Que (atau Uncle Choo) dengan konteks Poros Jakarta-Peking atau Soekarno yang mengidolakan etnis Cina juga berlebihan. Uncle Choo dipilih karena kedekatan PSSI dengan seorang pengusaha Cina-Indonesia (bukan pengusaha dari Cina). Kedekatannya dengan pengusaha itu, bukan dengan Cina sebagai negara, yang membuat Choo terpilih.

Buku yang disusun dan diterbitkan oleh (para wartawan) tabloid Bola ini baru mulai lebih membaik saat memasuki halaman-halaman yang mengisahkan episode-episode atau sosok-sosok yang dianggap penting dalam sejarah sepakbola Indonesia.

Pada bagian inilah disusun cerita mengenai kiprah timnas Indonesia di Piala Dunia U-20 pada 1979, kegagalan dalam adu penalti vs Korea Utara di kualifikasi Olimpiade Montreal (1976), prestasi juara sub-grup dalam kualifikasi Piala Dunia 1986, hingga episode-episode yang lebih kontemporer seperti peristiwa gol bunuh diri Mursyid Effendi, gol salto Widodo Cahyono Putro atau insiden intervensi politik di balik gempita Piala AFF 2010.

Bab mengenai kiprah Wiel Coerver juga punya nilai penting yang pantas diacungi jempol. Juga bab penutup yang mengisahkan kiprah Frans Jo. Mengisahkan tentang pemain yang mencetak gol pertama kali di Stadion Utama Senayan ini terasa jadi penutup yang manis. Ini semacam le petite histoire, sejarah remeh temeh, renik, tapi memungkinkan buku ditutup bukan oleh slogan.

Perlu juga dihargai upaya para penyusun membuat garis-waktu atau kronik sepakbola Indonesia (hal 98-143). Ini akan membantu pembaca yang hendak membentangkan episode sejarah sepakbola Indonesia secara kronologis, setidaknya bisa berperan sebagai peta dasar. Akan menjadi karya intelektual yang sangat berharga jika di lain waktu para penyusun ini menerbitkan kronik pertandingan-pertandingan tim nasional, lengkap dengan susunan pemain hingga nama pencetak golnya.

Hanya saja, sayang sekali, para penyusun mengabaikan episode atau momen-momen lain yang sebenarnya lebih relevan untuk dibicarakan ketimbang mengisahkan ulang epos-epos kejayaan sepakbola nasional.

Agak disayangkan para penyusun mengabaikan bagaimana kisah lahir, tumbuh, berkembang dan matinya Galatama. Cerita tentang Galatama sebenarnya adalah upaya dini untuk membangun sepakbola yang sehat secara industri, sesuatu yang kini sedang menjadi isu utama sepakbola Indonesia.

Menguraikan sejarah Galatama menjadi relevan untuk memperlihatkan betapa wacana industri sepakbola sebagai aktivitas (dengan mengutip baitnya Amir Hamzah) β€œbertukar tangkap dengan lepas”, mengejar tapi tak pernah dapat, menuju tapi tak jua sampai.

Juga tak ada uraian yang memadai mengenai Tony Pogacnik. Dibandingkan berlembar-lembar halaman yang dihabiskan untuk mengabadikan Coerver, porsi untuk Pogacnik bisa terbilang amat sedikit. Padahal, fondasi sepakbola Indonesia tak bisa diabaikan dari peran Pogacnik yang hampir selama satu dekade melakukan segala hal yang dia bisa untuk membangun tim nasional yang kuat dan disegani.

Menyajikan sebuah bab khusus tentang peranan klub dalam pembinaan pemain di era kejayaan sepakbola tanpa mengisahkan bagaimana Pogacnik bertungkus-lumus keliling kota mencari dan melatih pemain (yang belakangan dilakukan Indra Sjafri) menjadi ilustrasi betapa buku ini seringkali kelewat berlebihan dalam hal yang kurang pokok tapi sering kelewat sedikit menyediakan halaman pada hal-hal yang sekarang justru masih relevan.

Bab tentang posisi dan peranan warga Cina peranakan di bulutangkis mau tak mau membuat pembaca mengernyitkan kening. Bukannya tak berguna, tapi bab tentang bulutangkis di sebuah buku tentang sejarah sepakbola membuat bab itu seperti β€œbarang selundupan” yang muzabir, mengingat ada banyak kisah lain yang perlu mendapat tempat.

Misalnya, isu suap dan judi dalam sepakbola. Ini bab hitam yang salah satu puncaknya terjadi pada persiapan Asian Games 1962, yang hanya disebut selintas saja. Keberadaan suap dan judi dalam sepakbola hampir setua usia PSSI sendiri. Ada banyak sekali iklan-iklan judi sepakbola yang dengan mudah ditemukan di koran-koran tahun 1950an-1960an. Isu ini sungguh relevan karena persoalan ini masih terus menggelayuti atmosfir sepakbola Indonesia.

Saya masih ingat bagaimana laporan M. Nigara tentang Lo Bie Tek, seorang pengusaha otomotif yang ruang pamernya ada di Jl. Gajah Mada, yang diisukan menjadi tukang suap. Nigara saat itu bahkan menceritakan detail bagaimana dia masuk ke ruangan kerja si pengusaha tersebut.

Saya juga ingat bagaimana Dr. Witarsa mengusulkan agar para para penyuap dilemparkan di tengah laut dan hanya dibekali pelampung . Laporan tentang bagaimana Kaslan Rasidi, pemilik klub Cahaya Kita, menceritakan kode-kode yang diberikan para penyuap itu juga kelewat menarik untuk saya lupakan. Sebelum saya mengetahui berbagai kode di kalangan para penyuap berdasar buku The Fix karya Declan Hill, saya sudah lebih dulu tahu dari kisah yang dituturkan Kaslan.

Semua itu saya baca dari laporan yang pernah ditampilkan Tabloid Bola – baik yang saya baca langsung di saat edisi itu terbit maupun dibaca belakangan saat sedang melakukan riset.

Saya bayangkan betapa sedapnya jika buku ini mengisahkan dilema Bosman ala Indonesia, misalnya. Saya masih ingat laporan Bola perihal bagaimana Zulkarnaen Lubis disandera Mercubuana atau Heri Kiswanto disandera TD Pardede walau kontraknya sudah habis dan bahkan Pardedetex saat itu sudah dibubarkan.

Pembaca generasi terbaru tiba-tiba disodori kisah betapa Bosman adalah fenomena yang juga terjadi di Indonesia. Dari sinilah cerita bisa bergulir pada apa yang dulu dibayangkan sebagai Dewan Pemain -- sesuatu yang kini sudah direalisasikan lewat APPI atau APSI.

Sejak awal saya memang tidak berharap buku ini akan menjangkau peristiwa luar biasa seperti baku tembak di Lapangan Sidolig pada 1950 atau baku tembak di Stadion Utama Senayan pasca G30S pada laga Persib vs Persebaya.

Kelewat berlebihan juga jika saya berharap akan ada kisah tentang orang-orang komunis bawah tanah yang di masa pendudukan Jepang ternyata aktif sebagai pemain bola. Tidak juga saya berharap akan ada cerita mengenai larinya Dominggus ke Belanda saat timnas melawat ke Eropa yang sampai membuat PKI mengeluarkan pernyataan sikap menuntut dikembalikannya pemain tersebut ke Indonesia.

Saya hanya berharap ada kisah-kisah menarik yang ada dalam jangkauan waktu mulai terbitnya Tabloid Bola. Akan sungguh menarik jika laporan-laporan tabloid Bola itu (yang sebagiannya sudah saya sebut di atas dengan memanggil ingatan sendiri) dihadirkan kembali dengan cita rasa kontemporer, karena cerita-cerita itu kelewat menarik untuk tertimbun di bawah epos-epos yang sesungguhnya tak bisa juga disebut prestasi jika hanya "level babak kualifikasi".

Dengan dibimbing oleh perspektif dan analisis yang memperhitungkan situasi dan tantangan zaman sekarang, cerita-cerita renik macam itu, semacam le petite histoire, bisa menyodorkan sebuah perspektif yang segar. Ada hari ini yang bisa diterangi oleh kekayaan cerita masa silam.

Misalnya, soal judi bola. Daripada berlelah-lelah debat soal moral, akan menjadi tawaran yang segar jika soal judi ini ditarik ke konteks yang lebih konstruktif dengan menghadirkan cerita mengenai Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB).

Ini bisa menghadirkan pengertian baru betapa judi sepakbola itu tak terhindarkan dalam industri sepakbola dan olahraga, persoalannya tinggal bagaimana kemudian mengelolanya. Sejak SDSB dihapus, sepakbola kita sebenarnya menurun drastis. Terakhir kita meraih prestasi di level senior, Sea Games 1991, juga saat masih ada SDSB. Ini akan menjadi tulisan yang berani dan tajam.

Cerita-cerita macam itu yang sebenarnya saya harapkan bisa muncul di buku yang dengan yakin melabeli dirinya dengan kalimat "sisi lain sejarah sepakbola nasional".

Kekayaan dokumentasi, foto, dan berita mengenai sepakbola Indonesia memang hanya tersimpan dalam teks-teks yang diterbitkan surat kabar. Terlalu sedikit dokumen sepakbola resmi yang bisa kita akses, karena tahulah kita bagaimana para kerani institusi di negara ini memperlakukan arsip dan dokumentasi. Entahlah macam apa arsip dan dokumentasi PSSI pasca dualisme beberapa waktu lalu.

Sayang sekali para penyusun lebih memilih bertungkus-lumus menyajikan epos-epos yang dibayangkan sebagai prestasi (kualifikasi Olimpiade Montreal, mengalahkan Korea Selatan atau juara sub-grup kualifikasi Piala Dunia 1986).

Cerita-cerita itu relatif sudah banyak diceritakan ulang oleh penulis-penulis mutakhir dan tidak bisa lagi dilabeli sebagai "sisi lain" karena modus-historis itulah yang menjangkiti ingatan sepakbola kita: melulu bicara tentang apa yang dibayangkan sebagai prestasi, Macan Asia, dan lain-lain, dan lain sebagainya, dan kawan-kawan.

Sedikit sekali bagian-bagian yang bisa dianggap sebagai "sisi lain" sebagaimana yang dijanjikan dalam judul buku. Padahal akses pada dokumen, arsip dan berita itu tersedia di "perusahaan" para penyusun. Sebagai orang yang juga menikmati berburu dokumen dan arsip, saya merasakan sulit dan mahalnya mengakses arsip-arsip sepakbola yang tersimpan --misalnya-- dalam halaman-halaman Kompas atau Tempo.

Saat "kemewahan mengakses" itu tersedia, sayang benar ternyata itu dilewatkan begitu saja dan memilih selonjoran di bawah epos-epos yang -- buat saya -- sudah kelewat membosankan untuk dimamah terus menerus.

=====

*penulis adalah Chief Editor dari @panditfootball. Selain menulis tentang sepakbola, aktif juga menulis esai-esai sejarah, politik, dan budaya. Biasa beredar di dunia maya dengan akun @zenrs

(roz/mrp)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads