Sepakbola di Inggris dan Mimpi Anak-Anak

Sepakbola di Inggris dan Mimpi Anak-Anak

- Sepakbola
Jumat, 15 Mar 2013 15:00 WIB
(Ilustrasi: muscogeemoms.com)
London - Saya dan istri hanyalah satu dari dari sekian juta orang tua kalangan menengah ke bawah di Inggris yang sempat bermimpi mempunyai anak yang bisa menjadi pemain bola profesional di Inggris. Apakah anak kami berbakat? Itu persoalan lain. Namanya juga mimpi.

Mimpi itu kini sudah terkubur empat tahun lamanya. Setelah enam tahun lebih ia berlatih di beberapa klub yang berkompetisi di daerah London tenggara, ia memutuskan untuk berhenti. Klub terakhirnya berada di liga utama London tenggara walau terpuruk di papan bawah.

Sebenarnya ia tidak jelek-jelek amat. Ibunya selalu menganggap ia pemain tengah paling berbakat di Inggris setelah Paul Scholes (ya, namanya juga orang tua). Ketika berumur 10 tahun ia memang pernah dipanggil Charlton, klub di daerah tempat tinggal kami, yang saat itu masih bertanding di Liga Primer, untuk ujicoba masuk ke akademi klub tersebut. Ibunya tentu saja menganggap si anak tampil luar biasa dalam ujicoba itu dan layak dipilih, walau anaknya sendiri mengeluh tak cukup berbakat dan tak mampu bersaing dengan yang lain.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia bersama sekian puluh anak lain yang diujicoba tidak dipanggil lagi. Anak saya juga memutuskan untuk tidak lagi mau bermain sebagai striker atau pemain tengah, posisi kesukaannya, tetapi berpindah posisi menjadi kiper. Posisi itu belakangan ternyata memberi kebanggaan buat dirinya karena ia beberapa kali dinobatkan menjadi pemain terbaik untuk klubnya. Ia berhenti total setelah tingginya tersendat-sendat sementara teman-temannya rata-rata, dalam bahasa dia sendiri, "Bapak, mereka menjadi raksasa."

Anak saya kini lebih memilih untuk bermain bulutangkis dan kriket. Dua olahraga yang juga ia tekuni, lebih cocok, lebih ada bakat dan telah membawanya keliling Inggris. Ia juga lebih memilih konsentrasi bersekolah. Dengan penuh rasa syukur kami amini dan selalu kami tekankan sebagai prioritas, dan tahun depan sudah akan kuliah.

Enam tahun menemaninya bersuka duka bermain bola -- mengantar berlatih dan bertanding, mempersiapkan segala keperluan, mengorbankan hari libur, ikut mengurus kehidupan klub -- membuat kami cukup mengerti mengapa klub-klub profesional sepakbola Inggris sepertinya tidak pernah kekurangan pemain berbakat. Jasa itu ada di klub-klub amatiran tingkat akar rumput yang kehidupannya di topang oleh kocek dan pengorbanan waktu para orang tua semacam kami ini.

Utamanya, klub-klub amatiran yang jumlahnya ribuan di seluruh Inggris Raya itu, berdiri bukan untuk mewujudkan mimpi para orangtua agar anak mereka bisa menjadi pemain profesional. Sederhana saja, klub-klub itu berdiri lebih sebagai ajang untuk memberi kegiatan yang baik buat anak-anak. Biasanya klub-klub itu mempunyai tim sejak di bawah usia 7 tahun hingga 17 tahun. Klub yang cukup besar terkadang untuk satu kelompok umur bisa sampai mempunyai tiga tim, misal U-7A, U-7B, U-7C.

Biaya untuk menghidupi klub ini tidaklah sedikit. Bayangkan, biasanya klub-klub ini mempunyai lapangan sendiri, lengkap berbagai ukuran, dan sebuah bangunan dengan fasilitas ruang ganti pemain ala kadarnya, ruang pertemuan kecil, dan tidak ketinggalan tentunya pub alias tempat minum yang menyediakan alkohol. Biaya perawatan fasilitas itu tidak sedikit. Setiap pertandingan di kandang sendiri, klub harus menyewa wasit netral yang tentu saja harus dibayar. Seragam juga harus dibeli. Beruntung, untuk pengurus klub hingga pelatih sepengalaman saya, selalu pro bono alias suka rela. Saya tidak ingat pasti berapa ratus poundsterling harus saya keluarkan setiap tahunnya untuk mendukung kegiatan ini. Yang jelas kami sampai harus menganggarkan dalam daftar belanja bulanan.



Ribuan klub yang ada ini kemudian mengelompok berdasar daerah dan membuat kompetisi mereka sendiri berdasar lapis umur. Karena begitu banyaknya klub, jenjang dan lapisnya bisa dibuat persis seperti liga profesional. Terkadang bisa dari divisi A hingga F. Lengkap dengan sistem promosi dan degradasinya dan Piala Liga. Atau, kalau terlalu banyak klub yang terlibat bahkan bisa membuat kompetisi sub-wilayah. Misal kompetisi di London tenggara dipecah menjadi tiga kompetisi yang berbeda. Nanti juara masing-masing kompetisi dipertemukan untuk menjadi juara kompetisi seluruh London Tenggara.

Walau sifatnya hanya amatir dan anak-anak, percayalah, intensitas emosi yang terlibat tidak kalah dengan pertandingan profesional. Bahkan mungkin lebih, karena anak kita sendiri yang bermain. Bukan sekali dua kali saya melihat orangtua hampir berbaku hantam dan saling memaki karena apa yang terjadi di lapangan. Bukan sekali dua kali pula pertandingan dihentikan karena orangtua bersitegang dengan wasit yang dianggap menjatuhkan keputusan yang merugikan.

Tapi banyak juga kejadian lucu, terutama untuk pertandingan di bawah 10 tahun, dengan ukuran lapangan lebih kecil dan jumlah pemain hanya tujuh orang per tim. Ibu-ibu yang menonton, termasuk istri saya, seringkali lebih emosional ketimbang bapak-bapak. Mereka ini bukan sekadar menyemangati tetapi juga ikut memberi perintah pada anak mereka sendiri-sendiri. Anak-anak itu malahan jadi bingung karena seperti ada belasan pelatih di pinggir lapangan yang memberi perintah pada saat bersamaan. Sering kali permainan pun menjadi kacau balau. Tetapi untuk yang satu ini, bahkan sang pelatih pun tak berani meminta ibu-ibu untuk diam. Tidak juga kami bapak-bapak ini, demi stabilitas kehidupan domestik, bisa menghentikan aksi istri-istri kami.

Terlepas variasi mutu pertandingannya, banyaknya kompetisi amatiran ini memudahkan klub-klub profesional untuk memantau anak-anak berbakat. Mata elang pemandu bakat dari klub profesional itu selalu bertebaran. Terkadang reputasi pemain berbakat menyebar lewat getok tular atau dengan bantuan koran lokal gratisan milik "kecamatan". Koran lokal mingguan yang gratis diantar ke rumah itu rajin mengikutsertakan hasil pertandingan klub lokal dan menulis profil mereka yang dianggap berprestasi. Tak mengherankan jika terkadang seorang pemain berbakat tiba-tiba mendapat panggilan dari klub besar dari kota yang berbeda.

Setidaknya ada dua orang rekan satu tim anak saya saat di bawah umur 10 tahun yang saya tahu dipanggil dua klub profesional yang ada di London. Istilahnya under the club's book, secara resmi menjadi bagian dari klub tapi belum diberi kontrak. Satu adalah gelandang menyerang keturunan imigran Turki yang diminta untuk berlatih di Millwall. Seorang lagi warga Inggris asli pendukung Arsenal dengan tato lambang klub Arsenal dipunggungnya, yang dengan gembira tapi berat hati melepas anaknya ke Tottenham Hotspur. Mereka hanya diminta sekali dalam satu minggu berlatih di klub tersebut, tetapi belum masuk dalam akademi sepakbola klub yang bersangkutan.

Klub-klub sepakbola profesional mempunyai kompetisi mereka sendiri. Tetapi tak jarang mereka melakukan pertandingan persahabatan melawan klub-klub amatir. Bahkan mereka juga ikut Piala Liga amatir di daerah mereka berada.

Dari ratusan ribu anak [atau malah jutaan], yang bermain sepakbola di seluruh negeri ini sebagian besar seperti anak saya kemudian akan berhenti. Sedikit yang kemudian akan terus bermain bola di tingkat amatir hingga tua. Lebih sedikit yang kemudian bermain di tingkat semi profesional. Hanya beberapa gelintir saja yang akan bisa menapak di jenjang profesional.

Mereka yang gagal masuk dunia sepakbola profesional biasanya tidak akan kemudian lepas sama sekali dari dunia bola. Mereka setidaknya akan menjadi konsumen setia dunia persepakbolaan profesional, bergabung dengan penggemar bola yang mungkin bahkan tidak pernah menendang bola sama sekali.

Ambillah contoh anak saya (dan juga teman-temannya) yang sudah berhenti bermain bola. Di kamar, bendera klub pujaannya masih menghiasi dinding. Setiap tahun mereka masih membeli kaus klub. Pembicaraan tentang bola tetap menghiasi perbincangan mereka. Mereka tetap mengakses berita bola baik dari televisi, online maupun radio. Kalau ada sedikit luang uang dan waktu mereka masih berusaha untuk menonton ke stadion. Hampir setiap minggu mereka masih bermain bola, walau hanya untuk sekadar sarana bersosialisasi dengan teman yang lain.

Sepakbola telah dan akan tetap menjadi bagian penting dari kehidupan mereka. Kemungkinan akan menjadi seperti itu hingga mereka beranak pinak sendiri.

==

* Akun twitter penulis: @dalipin68





(a2s/roz)

Hide Ads