Terjemahan bebasnya kira-kira seperti ini: "Jika kamu bisa menghadapi kejayaan dan bencana | dan menyapa kedua cobaan dengan sama tabahnya."
Kita tahu, kalimat itu adalah cukilan dari sajak If karya Rudyard Kipling yang ditulis tahun 1909. Sebuah sajak yang dimaksudkan oleh pemenang Nobel Kesusastraan 1907 sebagai sebuah nasehat untuk anaknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sajak If ini, atau berbagai cukilan dari sajak ini, bukan hanya ada di lapangan tenis Wimbledon, tetapi juga di ruang ganti-ruang ganti di seantero negeri, tergantung di ruang-ruang kelas, menempel di kamar anak-anak, terselip di lipatan buku dan dibacakan di banyak kesempatan.
Saya tidak akan pernah lupa Piala Dunia 1998 di Prancis karena sajak ini.
Seperti biasa setiap kali ke Piala Dunia, Inggris saat itu datang dengan optimisme berlebihan. Namun untuk yang kali itu saya ikut setuju, optimistis walau tak berlebihan, dan tak kemudian berharap menjadi juara.
Ya, Inggris datang dengan bintang-bintang muda yang bergairah dan polos. Bermain menawan dengan selip senyum dan kegembiraan,
Namun seperti kita tahu Inggris tersingkir prematur di babak 16 besar. Permainan yang indah, bergairah dan senyum tidaklah cukup. Anda juga memerlukan keberuntungan dan pengalaman. Dan yang kedua terakhir ini milik para veteran dari Argentina yang mengalahkan mereka.
Kita ingat akan gol indah Michael Owen tetapi juga kartu merah David Beckham. Kita ingat akan kegigihan 10 pemain Inggris di lapangan tetapi juga kegagalan di adu penalti.

Inggris pulang gigit jari. Seperti biasa pula, sumpah serapah lalu ditumpahkan oleh media dan rakyat Inggris ke siapa saja. Wasit pertandingan yang dianggap memimpin pertandingan dengan buruk, ke tim yang mereka sebut rapuh di bawah tekanan, pemain Argentina yang dinilai tidak jujur, dan yang paling kejam tentu saja disisakan khusus untuk Beckham yang mereka anggap sebagai biang kerok semuanya.
Kartu merah yang ia dapat karena "menendang"’ Diego Simeone dianggap penyebab dari segala sebab kegagalan Inggris untuk melangkah lebih jauh. Sepanjang berlangsungnya Piala Dunia perhatian media dan publik Inggris bukan lagi ke Piala Dunia, tetapi perlombaan untuk siapa yang paling bisa kejam mencerca Beckham. Boneka Beckham bahkan digantung di sebuah tiang lampu jalanan Inggris.
Tetapi di sela-sela kemarahan dan kekecewaan masih ada kepala dingin. Di akhir penutupan liputan BBC, setelah Prancis untuk pertama kalinya menjadi juara dunia, Des Lynam—anchor tua untuk liputan sepakbola BBC—dengan datar membacakan If. Tanpa berpretensi menggurui, tanpa harus mengelok-elokkan suaranya, tanpa bermaksud menjadi deklamator. Tapi sungguh syahdu.
Ia sekadar mengingatkan bahwa yang baru saja selesai ditonton oleh dunia selama satu bulan terakhir hanyalah sebuah permainan. Bahkan lebih ringan lagi, sebuah hiburan. Kalaulah kemudian ada segala macam tumpahan emosi dan perasaan di dalamnya, seperti isi sajak If yang ia bacakan, adalah panggung agar kita manusia bisa belajar menjadi manusia seutuhnya, be a man. Kemenangan bukanlah segalanya.
Anda mungkin menganggap, "Orang Inggris sok filosofis karena tidak pernah menang dalam olahraga apapun". Saya tak akan membantah. Faktanya orang Inggris memang kalahan dalam olahraga.
Tetapi pada saat bersamaan lihatlah olahraga-olahraga khas Inggris yang juga populer: rugby dan kriket. Kedua olahraga ini relatif masih menekankan arti pentingnya menjadi gentleman -- beradab dalam permainan.
Karenanya, walau rugby adalah olahraga yang kasar dan brutal tetapi jarang sekali terjadi perkelahian antarpemain. Tidak pernah ada makian ataupun protes terhadap keputusan wasit. Sebegitu hormatnya kepada wasit, mereka memanggil dengan sebutan kehormatan: Sir (tuan). Tak heran kalau orang menyebut rugby sebagai permainan primitif yang dimainkan oleh para gentleman.
Dalam kriket juga sama. Keputusan "wasit" misalnya, bahkan walau jelas-jelas salah anda harus menerima dengan lapang dada. Bahkan dulu, sekarang semakin jarang terjadi, para pemain akan dengan suka rela keluar dari lapangan kalau ia berbuat kesalahan sebelum wasit mengambil keputusan dan lawan juga tidak tahu yang bersangkutan berbuat kesalahan [penjelasannya lebih rumit sebetulnya, tetapi untuk gampangnya ya seperti itulah].

Kalau anda menganggap hal semacam ini hanyalah khayal atau isapan jempol dalam olahraga di Inggris; Pernahkah anda mendengar klub Inggris bernama Corinthians?
Inilah klub misionaris (mungkin satu-satunya) sepakbola. Dibentuk tahun 1882 oleh beberapa lulusan Oxford dan Cambride, klub ini menjadi klub yang super amatir, menolak bertanding bila berkait dengan hadiah uang atau piala. Tujuan mereka bertanding adalah untuk memberi hiburan, mempertontonkan permainan yang benar dan memberi pelajaran agar penonton dan lawan menjadi beradab (gentleman).
Mereka selalu ingin menang -- namanya juga permainan, tetapi pantang mengejek dan selalu menghormati lawan. Kalau lawan terlalu lemah, maka kemudian mereka akan memberi pelatihan agar bila ada kesempatan bertemu lagi lawan akan menjadi lebih kuat dan seimbang. Agar tontonan menjadi lebih menarik dan menghibur.
Corinthians menggelar pertandingan eksebisi di Inggris sendiri dan juga berkeliling dunia. Pada tahun 1900-an mereka melawat ke Eropa dan bertanding melawan klub-klub besar setempat. Afrika Selatan, Kanada dan Amerika mereka kunjungi. Mereka ke Brasil tahun 1910 dan 1913 bermain melawan diantaranya kumpulan pemain terbaik Brasil di Rio de Janeiro dan menang 5-2.
Sebegitu hebatnya klub ini, Real Madrid mengadopsi kaos putih agar ketularan tuahnya. Swedia pernah mengadakan turnamen tahunan dengan nama Corinthians untuk menghormati lawatan mereka. Dan tentu saja klub Corinthians Paulista di Brasil lahir terinspirasi kehebatan Corinthians itu saat mengalahkan "tim nasional Brasil".
Percayalah, saya sedang tidak hendak berpretensi menjelaskan mengapa prestasi olahraga Inggris, terutama sepakbolanya, karena hanya sebegitu-sebegitu saja. Apalagi hendak hendak membela Inggris. Juga tidak untuk mengatakan mereka yang jagoan atau mengutamakan kemenangan kemudian tidak beradab. Tidak sama sekali.
Saya hanya ingin berbagi, tentang ketertegunan yang sering saya alami selama hidup di negeri ini.
London, 19 September 2013
====
* Foto-foto: Getty Images
* Akun Twitter penulis: @dalipin68
* Tentang 'Dalipin Story', baca di sini
(nds/a2s)