"Jika anda bermain melawan klub sebesar Manchester United, terutama lagi di Old Trafford, anda harus menerima kenyataan bahwa dalam situasi abu-abu, keputusan wasit kemungkinan besar akan menguntungkan mereka," kata Graeme Souness, sekitar tiga atau empat tahun lalu mengomentari sebuah pertandingan di Old Trafford.
Ia tidak sedang nyinyir. Souness yang bersama Kenny Dalglish dan Ian Rush menjadi "Trinitas Suci" Liverpool di tahun 1970an dan 1980an melanjutkan, "Itu biasa. Itu persoalan aura. Dulu ketika kami sedang jaya-jayanya, hal yang sama terjadi. Bila ada klub bermain melawan Liverpool di Anfield, kami akan banyak diuntungkan dalam situasi abu-abu itu."
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang berbahaya adalah ketika pengakuan itu membawa orang ke sikap yang konformis. Tunduk. Terpana kagum dengan prestasi mereka. Seolah segala sesuatu yang bersangkutan dengan klub itu hebat dan benar adanya.
Konformasi itu menjadi sebuah perwujudan dari sesuatu yang sulit untuk dirumuskan secara wadag (fisik, jasmaniah), tetapi bisa dirasakan. Inilah yang dimaksud Souness sebagai aura. Ia, aura itu, menyelinap ke dalam benak dan menjadi pembisik yang merepotkan.
Anda pasti mengerti, adil adalah sebuah kata sifat yang menunjukkan sikap yang sama berat, tidak memihak, sepatutnya, berpihak pada kebenaran. Keadilan adalah kata kerjanya, untuk mewujudkan apa yang disebut adil.
Lemparlah dua kata itu: adil dan keadilan, ke lapangan bola. Maka yang anda dapati adalah wasit—sang juru adil—yang tergagap-gagap. Wasit selalu berusaha adil dan mewujudkan keadilan, tetapi di benaknya, di alam bawah sadarnya, juga telah terselinapi bisik-bisik untuk melakukan konformasi.
Jangan kemudian menuduh wasit curang, berat sebelah atau tak layak. Itu miskin empati dan simpati. Ia manusia biasa yang seperti kita juga bisa termabukkan oleh aura sebuah kesebelasan yang hebat.
Sungguh patut dikasihani peran wasit ini. Bayangkan, rata-rata wasit hanya mempunyai waktu kurang dari satu detik untuk melihat sebuah kejadian, memprosesnya, lalu mengambil keputusan. Berapa kali ia harus melakukan itu dalam 90 menit pertandingan? Membutuhkan konsentrasi yang tanpa kendat (putus).
Pada saat bersamaan, ia juga harus berlari secepat para pemain, mengawasi pergerakan bola dan sebanyak mungkin aksi pemain dalam waktu bersamaan, dingin menghadapi provokasi, memilah aksi yang pura-pura dan yang jujur, dan melakukan catatan mental akan apa yang telah dilakukan para pemain sepanjang pertandingan. Percayalah, mengambil keputusan yang menguntungkan pihak tertentu tak akan terpikir oleh wasit. Mencegah kecenderungan konformasi dari alam bawah sadar itu persoalan lain.
Walau begitu berat secara fisik dan mental, yang sangat mengejutkan adalah angka rata-rata ketepatan pengambilan keputusan wasit di Inggris ini begitu tinggi. Sebuah penelitian statistik menyebutkan bahwa sedikit di atas angka 90 persen keputusan wasit di Liga Primer ternyata benar dan tepat. Hanya kurang dari sepuluh persen bisa disebut salah, bisa diperdebatkan atau yang disebut Souness sebagai "abu-abu".
Di angka yang kurang dari sepuluh persen itulah persoalan aura tim besar bermain. Sayang memang, tidak ada rincian apakah yang kurang dari sepuluh persen sangat krusial dalam pertandingan; apakah yang kurang dari sepuluh persen itu menentukan hasil akhir pertandingan? Para jagoan statistik mungkin ada baiknya mengkaji hal ini.
Yang jelas persoalan aura ini memainkan peran yang sama pentingnya, kalau tidak malah lebih dari persoalan formasi, gaya permainan maupun berbagai teknikalitas lain.

Kalau sebuah tim sudah berada pada tahap memancarkan aura, maka tim itu sudah mencapai puncak pencapaian tertinggi sebagai sebuah tim. Mereka sudah menebar teror sebelum menjejaki lapangan. Atau setidaknya tim itu sudah menjulur menyerang lawan jauh sebelum pertandingan dimulai.
Anda tahu, aura mempengaruhi bukan hanya wasit tetapi juga pemain lawan. Bahkan alam semesta pertandingan, termasuk sang dewi fortunanya sekalian, pun seakan bersekongkol untuk memenangkan mereka yang mempunyai aura ini.
Ini karena konformasi menyerang siapa saja. Ketika para pemain mengakui pemain lawan lebih dari diri mereka sendiri, mereka sedang melakukan konformasi itu. Tentu dalam bentuk yang berbeda dengan wasit.
Konformasi seperti efek pelatuk senapan. Dengan takaran mesiu yang tepat, ukuran peluru yang benar, presisi mekanisme manual yang sesuai; ketika pelatuk di tarik , semuanya bersinergi menjadi energi ledak yang bisa menghancurkan lawan.
Betapa sering kita mendengar satu kesebelasan yang membuat lawan selalu gentar duluan, nervous, dan inferior. Dalam situasi seperti ini, salahkan para pemain yang gentar duluan ini, jangan wasitnya.
Betapa sering kita menyaksikan kesebelasan yang sepertinya selalu bermain pas-pasan tetapi selalu mendulang hasil. Salahkanlah kesebelasan yang tak mampu mengalahkan mereka yang hanya bermain pas-pasan, jangan melihat wasit.
Betapa sering kita melihat satu kesebelasan yang sepertinya selalu mampu lolos dari kekalahan di tengah berbagai keterjepitan. Salahkan kesebelasan yang tak mampu menuntaskan tugas, jangan menuduh wasit macam-macam.
Kita pun sering jengkel, mengapa ada kesebelasan yang sepertinya selalu dirundung untung? Kita pun sering pesimistis ketika klub yang kita dukung bertemu dengan klub tertentu, bahkan ketika klub yang kita dukung sebetulnya sama kuat personelnya atau sedang dalam performa yang bagus menjelang pertemuan. Anda mengerti, aura itu bahkan mengguncang-guncang rasa percaya diri kita yang hanya sebagai penonton.
Beruntunglah aura itu tidak permanen dan tidak bisa diwariskan. Ia bukanlah sebuah privilege—keistimewaan yang bersifat given—yang di dapat begitu saja, buah dari takdir. Graeme Souness menyebut keistimewaan itu harus diraih, diupayakan—earned, lewat kerja keras, prestasi, reputasi, dan menumbangkan mereka yang sebelumnya mendapat keistimewaan itu.
Bahkan ketika aura sudah didapat, ia harus dijaga dan dirawat. Dengan kerja yang lebih keras lagi dan prestasi yang lebih gemilang lagi. Bukankah menjaga selalu lebih berat ketimbang meraih?
Artinya ia, aura itu, terbuka untuk diraih siapa saja. Ia akan menempel kepada yang berhak. Hanya yang berhak.
Kalau aura bersifat permanen, celakalah kita semua penggemar sepakbola. Permainan ini akan kehilangan sifat demokratis atau anarkisnya. Lalu menjadi sebuah permainan yang membosankan.
London, 18 November 2013.
===
* Akun Twitter penulis: @dalipin68
* Tentang 'Dalipin Story', baca di sini
(a2s/krs)