Manusia sepertinya ditakdirkan untuk dikutuk oleh siklus ilusi -βberhala-berhalaβ kehidupan ciptaan mereka sendiri.
Sepakbola tak terkecuali. Piala Dunia hampir pasti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana Rimet harus membawa sendiri piala untuk sang juara di dalam tas pakaiannya adalah gambaran yang sangat jauh dari gemerlap Piala Dunia modern.
Ia bahkan tak peduli kalau harus bekerja sama dengan pemimpin Italia Benito Mussolini yang fasis untuk Piala Dunia kedua. Mimpinya hanyalah menyatukan dunia lewat sepakbola. Pesta bersama lewat olahraga yang digemari oleh begitu banyak orang.
Tetapi sebagaimana kita gegap gempita membangun mall-mall sebagai kuil pemujaan konsumerisme dan kemudian memeras darah agar bisa "beribadah" di dalamnya, Piala Dunia juga demikian.
Tidak seperti Jules Rimet, FIFA atau pejabat FIFA tak perlu lagi berbujuk rayu atau mengemis. Terlalu banyak negara ingin berpartisipasi sehingga harus ada babak kualifikasi. Sebegitu banyak yang berlomba ingin menyelenggarakan sehingga harus ada tender.
Maklum, di sana kini ada gengsi. Ada mimpi. Ada uang berlimpah. Namun juga ada serakah. Ada pongah. Ada ketidakdilan.
Tak heran kalau Piala Dunia dan penyelenggaraannya semakin hari semakin berpotensi menimbulkan kontroversi.

Afrika Selatan begitu bergembira ketika mendapat hak menyelenggarakan Piala Dunia 2010. Mereka berhitung: 700 ribu lapangan pekerjaan akan tercipta, warisan infrastruktur yang bisa digunakan usai Piala Dunia, dampak raupan kotor (bruto) penghasilan negara akan meningkat sekitar 12 miliar dolar, dan dampak yang tak terlihat adalah persepsi positif para investor untuk mau menanamkan modal di Afrika Selatan. Belum berhitung tentang gengsi sebagai negara pertama Afrika penyelenggara Piala Dunia.
Tetapi perhitungan itu sungguh keterlaluan jauhnya dari kenyataan.
Ketika laporan akhir FIFA menyebut pemasukan penyelenggaraan Piala Dunia itu 3,6 miliar dolar, Afrika Selatan membutuhkan 3 milliar dolar untuk menyelenggarakannya. Dari sekitar 300 ribu pengunjung yang datang, hanya memberi pemasukan 500 juta dolar.
Pertumbuhan perekonomian mereka juga tak kunjung mengalami kenaikan. Bahkan melambat. Untuk sesaat angka pengangguran turun tetapi kemudian naik lagi ke angka semula. Persepsi bahwa Afrika Selatan adalah tempat yang sulit untuk berinvestasi tak berubah. Infrastruktur, yang tanpa Piala Dunia mestinya tetap dibangun, sedikit membantu kehidupan.
Lebih menyesakkan Afrika Selatan sekarang kesulitan biaya merawat lima stadion baru yang mereka bangun. Ironisnya lagi, tiga dari lima stadion berdiri megah ditengah kekumuhan lingkungan tempat tinggal yang untuk sekadar mendapat saluran air bersih dan listrik yang memadai saja sulit.

Piala Dunia Brasil sudah dari jauh timbul persoalan. Di tengah keharusan mereka membelanjakan 13,6 miliar dolar untuk menyelenggarakannya, Brasil dilanda kekurangan tenaga dokter dan perawat yang kronis, infrastruktur yang buruk, sistem pendidikan yang amburadul.
Ditimpali oleh korupsi, ketidakadilan sosial, dan kenyataan mereka harus melakukan berbagai penggusuran untuk membangun enam stadion baru, tak mengherankan kalau ada gerakan protes menentang Piala Dunia di negara yang menganggap sepakbola sebagai agama kedua mereka.
Argumen penentang Piala Dunia tentu saja, tidakkah anggaran 13,6 miliar dolar lebih baik digunakan untuk menanggulangi berbagai persoalan sosial yang ada. Dan kalau Brasil berharap pembelanjaan itu merupakan investasi yang secara tidak langsung akan juga menyumbang penanggulangan permasalahan sosial, berkaca pada apa yang terjadi di Afrika Selatan bukankah pada akhirnya yang terjadi adalah besar pasak dari tiang.
Dua Piala Dunia mendatang, Rusia 2018 dan Qatar 2022, menghadirkan dimensi persoalan yang berbeda.
Rusia mempunyai persoalan rasisme yang akut dan homofobik yang parah. Terutama sekali penggemar bolanya. Bukan sebuah lingkungan ideal untuk menerima penggemar bola dari berbagai penjuru dunia.
Celakanya, pemerintah Rusia tidak mau mengakui adanya persoalan ini. Sehingga perbaikan apa yang bisa diharapkan kalau mengakui adanya persoalan saja tidak. Lebih parah lagi, mereka justru menuduh banyak negara lain yang bersikap homofobik terhadap Rusia.
Belum lagi ancaman keamanan dari berbagai elemen seperti dari kelompok perlawanan Chechnya. Dengan pertandingan akan digelar dari ujung ke ujung negara terbesar dunia ini, persoalan logistik keamanan akan menjadi sebuah kerumitan tersendiri dan mahal.
Sementara Qatar adalah sebuah "kesialan geografis" dalam konteks sepakbola. Sangat tidak memungkinkan untuk bermain sepakbola ketika panas mencapai 50 derajat Celcius.
Untuk mengatasinya Qatar akan membelanjakan sekitar 120 miliar dolar guna membangun stadion berpendingin dan fasilitas transportasi yang nyaman. Uang bukanlah masalah untuk salah satu negara termakmur di dunia ini. Tetapi pembangunan fasilitas Piala Dunia Qatar yang menjadi masalah.
Dalam sebuah penelitian terbitan Maret 2014 yang dilakukan International Trade Union Confederation menyebutkan kondisi kerja sebagian pekerja di Qatar layaknya perbudakan modern. Diperkirakan kalau tidak ada perbaikan kondisi kerja maka setidaknya empat ribu orang akan meninggal demi memuaskan syahwat penyelenggaraan Piala Dunia.

Tak cukup makanan dan air untuk para pekerja, serta mereka hidup di perkampungan yang tak lebih baik dari kandang kuda, tulis laporan tersebut.
Qatar tentu saja berjanji akan memperbaiki semuanya. Tetapi akankah itu benar-benar dilakukan? Dengan beban kerja yang begitu berat dan kondisi yang begitu buruk, masih saja orang berdatangan untuk bekerja ke Qatar karena proyek itu.
Tentu saja hak Qatar untuk mengajukan diri sebagai tuan rumah Piala Dunia. Tetapi banyak yang tak habis mengerti mengapa Qatar melakukannya.
Mereka tak perlu insentif pertumbuhan ekonomi kalau itu tujuannya. Mendorong pembangunan infrastruktur? Mereka lebih dari cukup. Mendorong kemajuan persepakbolaan? Terlalu besar dananya dan tentu saja ada cara lain yang amat sangat lebih murah. Mencantumkan Qatar di peta dunia? Mungkin ada sedikit pengaruhnya.
Mungkin pangeran dan raja di Qatar sedang ingin berpesta. Dan tentu bukan tanggung jawab dan salah Qatar yang ingin berpesta kalau dunia mempunyai sebegitu banyak persoalan kemiskinan, kesehatan, kekurangan pangan, maupun berbagai masalah kemanusiaan lainnya. Tetapi 120 miliar dolar rasanya agak menggangu rasa kemanusiaan kalau hanya untuk menggelar Piala Dunia.
Semakin hari ritual empat tahunan ini semakin menyesakkan dada. Terlalu banyak persoalan yang membuat hati harus berpaling. Ini belum berbicara tentang korupsi dan suap yang konon selalu mengintai penunjukkan tuan rumah Piala Dunia.
Tetapi saat kemuakan sedang memuncak, ingatan tiba-tiba melayang ke sebuah ketika: musim panas dan sebuah turnamen sepakbola di pojok selatan Eropa.
Menikmati malam musim panas yang hangat dengan berbincang-bincang, santai berbagi cerita usai pertandingan, berpesta, dan berkenalan-bercengekrama dengan gadis-gadis latin yang cantik atau sesama penggemar bola memang sangat menyenangkan. Sungguh sangat menyenangkan.

===
* Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Setelah 17 tahun di London penggemar sepakbola dan kriket ini kini pulang ke tanah air dan menjadi Chief EditorΒ CNNIndonesia.com. AkunΒ twitter: @dalipin68
(a2s/din)











































