Sepakbola adalah sebuah bahasa universal namun memiliki banyak logat tergantung di mana ia dimainkan.
Di cantegril (daerah kumuh) di Uruguay, sepakbola oleh anak-anak dimainkan dengan kegembiraan, tapi juga keras, berbumbu kecurangan, dan tanpa ampun. Harus ada keberanian, ketangguhan fisik, dan ketrampilan untuk terlibat di dalamnya.
Tetapi untuk menang dan selamat anda harus mempunyai picardia, kata 'El Pistolero' Luis Suarez, yang mengaku pertama kali belajar bermain sepakbola di jalanan cantegri, Montevideo.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi anak-anak tak hanya mengerti arti penting picardia dari lapangan bola. Kehidupan sesungguhnya yang keras di cantegril memaksa mereka bersikap seperti itu setiap saat. Tuntutan untuk sebuah kesinambungan hidup.
Kehidupan di daerah kumuh itu juga membentuk mentalitas yang khas: paranoid akut seolah dunia selalu memusuhi mereka. Mentalitas orang yang dikepung (siege mentality). Selalu curiga dan berpraduga. Melihat ketidakberuntungan hidup sebagai sesuatu yang dirancang --atau setidaknya disebabkan-- dan dilestarikan oleh dunia luar, mereka yang kaya, yang berkuasa, yang memerintah, yang lebih kuat, otoritas.
Ini bukan mentalitas khas daerah kumuh Uruguay saja, tetapi nyaris sama di daerah kumuh sentero Amerika Latin. Dan bukan semata-mata hanya disebabkan oleh keterpurukan hidup.

Ada sebuah narasi yang belum putus dari sejarah yang bermula lima ratusan tahun silam. Ketika bangsa Eropa datang, menjajah, dan mendatangkan bencana sosial di Amerika (Latin). Ketika bangsa Eropa memasifkan skala penindasan kelas sosial, eksploitasi terhadap sesama, dan ketamakan.
Lahir kelas pariah yang merata di wilayah-wilayah yang tercengkeram kekuasaan Eropa. Kelas sosial dari mereka yang tersingkirkan, tertindas, tak berdaya, residu dari segala mobilitas sosial, vertikal maupun horizontal, yang terjadi akibat datangnya penguasa baru.
Kelas pariah berlanjut ketika penindasan kelas, eksploitasi, maupun ketamakan lestari dalam sistem pemerintahan modern yang kapitalistik. Nasib kelas pariah modern dan yang telah lalu tak jauh berbeda.
Ketika Luis Suarez menggigit Giorgio Chiellini di pertandingan Uruguay vs Italia di babak grup Piala Dunia, ia secara simbolik mengangkat tangan. Putus asa. Menyerah. Meski Uruguay sebagai tim menang, sebagai pribadi Suarez kalah.
Di pertandingan itu Suarez seperti kembali menjadi anak-anak yang bermain di cantegril tetapi lupa akan prinsip picardia. Ketika semestinya mempermainkan emosi lawan untuk bisa meraih keuntungan, di tengah permainan yang ketat, justru ia yang kehilangan kendali. Picardia hanya bisa berhasil ketika yang bersangkutan bisa mengendalikan diri. Bukan sebaliknya.

Layaknya anak kecil yang kalah ia merajuk. Kehilangan kendali diri. Seperti di masa kecilnya di cantegril, rasa frustasi harus diluncaskan. Mengapa ia memilih menggigit sebagai tindakan selanjutnya adalah sebuah misteri yang hanya bisa dijawab oleh Suarez sendiri.
Herman Pinkster, orang yang paling dekat dengan Suarez di Belanda sekaligus staf pelatih di Ajax saat ia bermain di sana, bercerita mengenai apa yang terjadi di benak Suarez ketika bermain.
"Tekadnya untuk menang seperti tentara dalam peperangan," kata Pinkster. "Tetapi menang saja tidak cukup.
"Di satu pertandingan melawan ADO Den Haag kami bermain buruk tapi menang 1-0. Ketika kami bergembira karena menang, Luis marah dan tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena bermain buruk. Kami tidak bisa mengerti mengapa ia tidak bisa menikmati kemenangan itu. Aneh sekali buat kami. Kami tidak bisa memahaminya."
Suarez memang menganggap permainan sepakbola bukan sekadar permainan tim tetapi persoalan pribadi. Kalau ia tidak berperan maka ia menganggap dirinya gagal dan kemenangan, apalagi kalau kalah, tidak ada artinya. Ia bisa gelap mata.
Suarez pernah menggigit pemain lawan dua kali sebelum yang terakhir ini. Dan kalau diperhatikan ketiganya mempunyai pola yang sangat mirip: permainan ketat, Suarez tidak bisa berbuat banyak di bawah kawalan ketat, dan terjadi menjelang akhir pertandingan dengan korban pemain yang ketat mengawalnya.
Yang pertama saat ia mati kutu dikawal habis pemain PSV Eindhoven Otman Bakkal dalam pertandingan melawan Ayax yang berkesudahan 0-0. Menjelang akhir pertandingan, saat pertandingan sedang terhenti, di kerumunan, tiba-tiba Suarez menggigit leher Bakkal.
Suarez melakukannya lagi ketika membela Liverpool. Dalam pertandingan yang berakhir 2-2 melawan Chelsea, Suarez bahkan jelas-jelas menarik tangan Branoslav Ivanovic untuk digigit. Lagi-lagi ia frustasi karena bermain buruk dan tak bisa berbuat banyak dijaga Ivanovic.

Dalam hitungan sepersekian detik, di pertandingan tertentu, seperti ada awan gelap yang menghadirkan lupa: bahwa ia tidak lagi bermain di jalanan Montevideo. Ketika ia tunduk dan terpuruk, insting jalanan hidup kembali: melakukan apa saja untuk meluncaskan rasa frustasi.
Menggigit hanyalah salah satu dari peluncasan rasa frustasi itu. Ia juga memukul, head butt (membenturkan kepala), dan memaki. Catatan kontroversi tindakannya sama panjang dengan decak kagum penggemar bola yang melihat kelihaiannya bermain bola.
Ada sebuah pepatah: Kita bisa membawa ke luar seseorang dari lingkungan mereka, tetapi kita tidak bisa melepas lingkungan itu dari benak mereka. Suarez ini mungkin salah satunya.
Berapa kali sanksi dijatuhkan, ia tak kunjung berubah. Justru meneguhkan mentalitas paranoid akut mereka yang datang dari kawasan kumuh itu, bahwa dunia bersekongkol memusuhi mereka.

Apalagi dengan hukuman terakhir dari FIFA, empat bulan tak boleh terlibat aktivitas bola dan larangan sembilan pertandingan internasional, yang terasa begitu berlebihan. Apalagi dengan melihat FIFA yang kebersihannnya patut dipertanyakan. Apalagi dengan melihat FIFA yang suka mengambil keputusan tebang pilih.
Bukan berarti kemudian Suarez tidak salah. Toh seperti yang sudah-sudah, Suarez sendiri akhirnya mengaku ia memang melakukan tindakan yang tidak pantas. Tetapi tak bisa disalahkan kalau Suarez melawan hingga tak bisa lagi mengelak seperti yang berulang kali terjadi.
Ia yang tidak belajar dari sejarah, harus belajar lagi, belajar lagi, belajar lagi ... hingga ia kemudian mengerti akan kesalahannya di masa lalu dan menjadi lebih baik. Entah ini berlaku untuk 'El Pistolero' Luis Suarez, FIFA, penggemar bola atau kita semua.
====
* Penulis pernah menjadi wartawan di sejumlah media dalam dan luar negeri. Sejak tahun 1997 tinggal di London dan sempat bekerja untuk BBC, Exclusive Analysis dan Manchester City. Setelah 17 tahun di London penggemar sepakbola dan kriket ini kini pulang ke tanah air dan menjadi Chief EditorΒ CNNIndonesia.com. AkunΒ twitter: @dalipin68
(cas/a2s)











































